Pada Minggu (21/7/2024) siang waktu Amerika Serikat, Joe Biden mengumumkan mundur dari pencalonannya sebagai presiden pada pilpres yang digelar 3 November, dan mendukung wapres Kamala Harris sebagai capres baru. Mundurnya Biden tidak terlalu mengejutkan karena sudah diprediksi banyak pihak. Meskipun hingga beberapa jam sebelumnya, presiden AS ke-46 ini masih bersikukuh untuk terus maju.

Indikasi akan akan mundurnya Biden dimulai pada 19 Juli. Saat itu, Polymarket, situs prediksi berbasis taruhan, menampilkan prediksi yang tidak biasa tentang siapa yang akan memenangkan pilpres 2024. Meskipun mantan Presiden Donald Trump masih berada di urutan teratas dengan peluang kemenangan sebesar 66 persen, Wakil Presiden Kamala Harris berada di urutan kedua dengan peluang sebesar 22 persen. Presiden Joe Biden anjlok ke posisi keempat dengan peluang 6 persen. Posisi ketiga ditempati Other Democratic Politician dengan peluang 7 persen.

Dalam Silver Bulletin, Nate Silver, tokoh terkemuka di bidang prediksi pemilu, mengatakan bahwa Polymarket bukan alat prediksi pemilu yang bisa diandalkan. Namun, angka prediksi Polymarket menunjukkan respons masyarakat terhadap peristiwa politik besar baru-baru ini (kegagalan Biden dalam debat, percobaan pembunuhan Trump, dan JD Vence menjadi calon wakil presiden Partai Republik) yang lebih cepat dari hasil poling.

Naiknya Kamala Harris dan jatuhnya Biden di pasar taruhan memang mencerminkan realitas politik terkini di AS. Banyak orang dan kalangan dunia usaha di AS khawatir dengan ketidakpastian yang ditimbulkan oleh terpilihnya kembali Trump. Pada saat yang sama, mereka tidak dapat mempercayai Biden yang kini berusia 81 tahun untuk terus menjadi nakhoda negara dengan ekonomi terbesar di dunia tersebut, sehingga diharapkan akan ada kandidat lain yang lebih kompetitif untuk melawan Trump di bulan November.

Blunder serius Biden pada konferensi pers NATO dan meningkatnya masyarakat terhadap Trump yang selamat dari upaya pembunuhan membuat sebagian besar pakar politik percaya bahwa Biden sudah tidak punya peluang untuk terpilih kembali.

Baca Juga: Pemberhentian Guru Honorer Sekolah Negeri di Jakarta

Data poling memberkuat keyakinan ini. Biden yang pada akhir Juni masih kompetitif, kini tertinggal dari Donald Trump -3,2 persen (40,3% vs. 43,5%) secara nasional, -2,2 persen di Michigan, -2,4 persen di Wisconsin, dan -4,4 persen di Pennsylvania, menurut poling rata-rata Five Thirty Eight. Ini berarti skakmat bagi Biden karena tanpa peluang memenangkan Michigan, Wisconsin, dan Pennsylvania, pencalonan Biden sudah tamat.

Sebelumnya, poling Washington Post-ABC-Ipsos pada awal Juli mengungkapkan bahwa dua pertiga warga Amerika, termasuk 56 persen anggota Partai Demokrat, mengatakan Biden harus mundur. Poling AP-NORC baru-baru ini juga menunjukkan bahwa 65 persen anggota Partai Demokrat memperkirakan Biden akan mundur.

Lobi-Lobi Barack Obama

Hingga Minggu (21/7) waktu setempat, menurut catatan The Washington Post, 37 anggota Kongres Partai Demokrat, termasuk Senator John Tester dari Montana dan Sherrod Brown dari Ohio, serta tokoh terkemuka Partai Demokrat di DPR, Rep. Adam Schiff dari New York, telah mendesak Biden untuk mengakhiri kampanyenya. Di belakang layar, tokoh-tokoh Partai Demokrat—Pemimpin Mayoritas Senat Chuck Schumer, Pemimpin Minoritas DPR Hakeem Jeffries, Mantan Ketua DPR Nancy Pelosi dan Mantan Presiden Barack Obama—dikabarkan aktif melobi Biden agar tidak melanjutkan kampanyenya.

Poling Biden yang buruk di tingkat negara bagian ditambah aksi boikot para donor dan tindakan Nancy Pelosi yang meminta agar Biden mempertimbangkan kembali pencalonannya, membuat Biden mengambil keputusan mengakhiri kampanyenya yang disampaikan melalui X. Biden mengatakan bahwa keputusan tersebut adalah demi kebaikan partai dan negara dan dia sendiri akan fokus memenuhi tugasnya sebagai presiden hingga akhir masa jabatan.

Dalam pernyataannya pasca-pengunduran diri Biden, Obama menyebut Partai Demokrat saat ini “mengarungi lautan politik yang penuh ketidakpastian”, namun yakin bahwa partai akan menciptakan proses yang mendorong munculnya calon-calon potensial.

Meskipun demikian, karena Biden mendukung Harris untuk menjadi capres baru, yang kemudian diikuti oleh 178 Anggota DPR, Senator dan Gubernur, maka politisi perempuan keturunan Kulit Hitam dan India ini secara de facto menjadi pesaing baru Trump di pilpres 2024.

Bagaimana Daya Saing Harris Dibandingkan Biden?

Berdasarkan 42 poling yang dihimpun RealClearPolitics pada September 2023 hingga Juli 2024, Harris hanya unggul dari Trump dalam lima poling. Namun, dari semua poling yang diterbitkan dari tanggal 28 Juni hingga 18 Juli 2024, poling rata-rata RealClearPolitics menunjukkan bahwa Harris tertinggal -1,9 persen dibandingkan Trump secara nasional sementara Biden tertinggal -3,0 persen!

Selain itu, keputusan Trump memilih Senator Ohio JD Vance sebagai calon wakil presidennya memberi harapan baru bagi Partai Demokrat. Sebagai pria kulit putih dengan konservatif garis keras yang berasal dari negara bagian Ohio yang sekarang termasuk ‘red state’, Vance memiliki karakter dan garis politik yang mirip dengan Trump. Hal ini, menurut Silver, membuat Vance “tidak memberikan banyak keseimbangan ideologis atau demografis dengan Trump.” Oleh karena itu, Vance bukanlah mitra yang dapat diandalkan bagi Trump untuk memperluas segmen pemilih di pilpres 2024 di luar pemilih loyal Partai Republik yang utamanya kaum Kulit Putih konservatif.

Ceritanya akan berbeda jika Trump memilih Glenn Youngkin, Gubernur popular di negara bagian Virginia, Tim Scott, Senator Kulit Hitam dari South Carolina atau Marco Rubio, Senator Hispanik dari Florida sebagai cawapres. Youngkin akan membuat Virginia bergeser dari condong Demokrat menjadi swing state. Scott akan membuat Blue Wall ambrol karena suara pemilih kaum Kulit Hitam di Pennsylvania, Michigan dan Wisconsin tidak lagi solid mendukung capres Partai Demo­-krat, serta membantu menga­man­kan Georgia dan North Carolina sebagai swing state dengan prosentasi pemilih Kulit Hitam terbesar. Rubio akan mem­bantu memperkuat duku­ngan kelompok Hispanik di Blue Wall dan mengamankan Nevada dan Arizona yang jumlah pemilih Hispaniknya cukup signifikan.

Simon Rosenberg, ahli strategi Partai Demokrat, mengatakan dalam Hopium Chronicles, bahwa Trump memilih JD Vance sebagai cawapres adalah sebuah kesalahan. Merujuk pada artikel-artikel di berbagai media, Rosenberg menegaskan bahwa Vance mendukung larangan aborsi secara nasional dan menentang pengecualian untuk korban pemerkosaan dan inses, menentang Affordable Care Act atau Obamacare, dan menyebut Jaminan Sosial. dan Medicare “hambatan terbesar menuju kewarasan fiskal yang nyata.”

Kamala Harris Sosok yang Tepat

Jadi, aborsi sepertinya, sekali lagi, akan menjadi tema sentral yang akan diangkat oleh Partai Demokrat pada pemilu 2024 setelah mereka berhasil menggunakan isu tersebut untuk mencegah ‘red wave’ pada mid-terme elections atau pemilu sela tahun 2022 di tengah rapor pemerintahan Biden yang buruk.

Harris adalah sosok yang tepat untuk mengatasi masalah ini: Dia adalah seorang perempuan berusia  50-an akhir yang lebih connect dengan kaum perempuan dan kalangan Muda Amerika, yang sebagian besar pro-aborsi. Menurut survei opini publik mengenai yang dilakukan oleh Pew Research Center baru-baru ini, 64 persen perempuan dan 76 persen remaja berusia 18-29 tahun di AS mengatakan aborsi harus dilegalkan di semua atau sebagian besar kasus.

Lebih dari itu, sebagai keturunan Kulit Hitam dan India, Harris bisa memobilisasi para pemilih Kulit Hitam dan Asia di negara-negara bagian terpenting yang tidak antusias mendukung Biden. Dengan demikian, Partai Demokrat kembali kompetitif di Georgia dan North Carolina, yang pemilih Kulit Hitamnya masing-masing mencapai 29 persen dan 23 persen dari total suara pada pemilu 2020 berdasarakan Exit Poll CNN. Tidak hanya itu, menurut data Indian American Impact, terdapat 600.000 warga keturunan Asia di Georgia dan 440.000 di North Carolina, mayoritasnya adalah warga keturunan India.

Mari kita tunggu apakah pencalonan resmi Kamala Harris di Konvensi Nasional Partai Demokrat akan lancar atau akan banyak drama terjadi. Namun yang pasti, mundurnya Biden dari pencalonan membuat pilpres AS 2024 tidak lagi membosankan. Oleh: Didin Nasirudin, Managing Director Bening Communication dan Pemerhati Politik Amerika Serikat. (*)