AMBON, Siwalimanews – Percuma miliaran rupiah dikucurkan hanya untuk membuat lapak yang mubasir, bahkan dijadikan kos-kosan bahkan penampungan sampah.

Hasil evaluasi tim di lapangan yang dipimpin Asisten II Pemkot Ambon, Fahmi Salattalohy, dari sekitar 200 lapak yang dibangun awal tahun 2022 lalu itu ternyata hampir semua tidak ditempati pedagang pasca revitalisasi Pasar Mardika.

Asisten II Pemkot Ambon, Fahmi Salatalohy disela-sela tinjauan, Selasa (4/10) memastikan kedatangan tim merujuk dari instruksi Walikota Ambon untuk meninjau lapak tak tepat peruntukannya.

“Temuan kita sebagian lapak yang tidak digunakan beralih fungsi sebagai tempat tinggal,” terang Salatalohy.

Miliaran rupiah yang disedot dari APBD yang dikelola oleh Dinas Perindag dibawa pimpinan Sirjhon Slarmanat ini lanjutnya bahkan dijadikan tempat penampungan sampah.

Baca Juga: Awasi Penyaluran BLT, DPRD akan Panggil Dinsos

“Lapak ada yang dijadikan tempat penampungan sampah-sampah pedagang, urainnya.

Para pedagang mengaku kepada tim yang turun ke lokasi bahwa sebagian lapak telah dibayar, namun urung untuk ditempati pedagang.

Pedagang juga menggunakan lapak yang dibangun tersebut untuk menjual pakaian bakas alis cakbor.

“Ada lapak yang jualan akbor disini. Itu bukan tempatnya, mereka itu di Pasar Apung, nah itu yang akan ditertibkan juga,” kesalnya.

Olehnya itu, Salatalohy berjanji besok tim akan melakukan pe­ner­tiban terhadap semua lapak yang ada baik yang tidak bertuan, beralih fungsi hingga penggunaan tidak sesuai peruntukan.

“Paling lambat besok (Kamis-red),” ujarmya

Selain itu, sambungmua, ada beberapa lapak yang berlokasi disekitar Pasar Arumbai Batu Merah juga ikut di evaluasi.

Pihaknya mengaku ada pedagang yang masih berjualan melewati batas  hingga memasuki bahu jalan.

“Itu kita amankan semuanya, barang-barangnya, payung-payung semua, ikan-ikan, sayur-sayur kita angkat. Harus ada tindakan yang lebih keras sedikit supaya ada titik jera,” tegasnya.

Guna menertibkan pedagang, timnya sudah menempakan petu­gas penertiban di lapangan namun tidak membuat pedagang takut untuk melanggar aturan. Lebihnya lagi, ada pos, namun tidak ada peyugas­nya dan itu yang nantinya dikoor­dinasikan dengan OPD-OPD terkait.

“Kelihatannya tidak efektif,  ada pos tapi tidak ada petugas,  itu kami tetap koordinasikan supaya tidak terjadi miskomunikasi antara dinas-dinas terkait termasuk asosiasi,” ungkapnya.

Ditambahkan pedagang-peda­gang yang bandel diduga karena telah membayar pada oknum-oknum tertentu, sehingga walaupun diter­tibkan, ada saja pedagang yang berulah. (S-25)