KURIKULUM berbasis cinta mengarusutamakan bagaimana cinta menjadi spirit dalam dunia pendidikan di Indonesia, dapat tumbuh dengan pola pikir yang inklusif dan mampu memandang perbedaan sebagai bagian dari keragaman dan kekayaan bangsa yang harus dijaga dan dirawat. Kurikulum berbasis cinta merupakan sebuah gagasan inovatif dalam dunia pendidikan yang digagas Menteri Agama Nasaruddin Umar. Konsep itu menyoroti pentingnya nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan kedamaian dalam proses pembelajaran.

Kurikulum cinta bertujuan menumbuhkembang­kan atau melahirkan generasi muda yang memiliki karakter mulia, mampu menghargai sebuah perbedaan berdasarkan cinta, dan berkontribusi positif bagi masyarakat yang plural atau yang beragam.

KONSEP PENDIDIKAN TRANSFORMATIF ALA NASARUDDIN UMAR

Dalam era kepemimpinannya, Prof Dr KH Nasaruddin Umar MA sebagai menteri agama menyampaikan konsep baru kurikulum yang akan digagas pada pendidikan di lingkup Kementerian Agama, yakni mempromosikan dan mengarusutamakan bagaimana cinta menjadi spirit dalam sebuah kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya di dunia pendidikan.

Nasaruddin Umar meyakini bahwa semua agama mengajarkan cinta kasih dan kebaikan bagi umat mereka. Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Dalam berbagai kesempatan Imam Besar Masjid Negara Istiqlal itu meyakini betul bahwa semakin dekat dan sadar penganut agama terhadap ajaran agama masing-masing maka dunia ini akan damai dan sejuk, yang boleh jadi mungkin negara tidak memerlukan lagi polisi.

Baca Juga: Merkuri Bisa Masuk ke Gunung Botak

Tantangan ke depan ialah bagaimana mengonsolidasi ajaran agama kepada masyarakat secara mendalam. Gagasan berlian itu lahir dari pengalaman hidup sebagai ulama, tokoh agama, Imam Besar Masjid Istiqlal, dan sebagai akademisi. Kegelisahan Rektor PTIQ itu terhadap dua fenomena global yang melilit serta merusak tatanan cinta dan kasih. Cinta adalah sebuah emosi dari kasih sayang yang kuat dan ketertarikan pribadi.

Dalam konteks filosofi, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih, dan kasih sayang maka pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri mereka untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, dan akhlak mulia.

Nasaruddin Umar yang merupakan anak kampung dari Desa Ujung, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, yang saat ini bagian dari Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto menjabat sebagai menteri agama, terdengar serius mengampanyekan ide kurikulum berbasis cintanya untuk memberikan warna kesejukan di muka bumi Indonesia tercinta.

Yang paling fenomenal dan tidak akan terlupakan oleh sejarah peradaban dunia adalah ciuman Nasaruddin Umar selaku Imam Besar Masjid Istiqlal pada kening Paus Fransikus yang berbalas dengan ciuman Paus pada tangannya. Dua lakon tokoh dunia agama itu yang kalau dihayati dan dikaji secara mendalam dapat diyakini setara menuju dan mengalir pada satu muara yang disebut ‘Cinta’.

Mencium kening seseorang sudah pasti dilatari motif kasih dan mencium tangan orang lain ialah lambang sebuah kepedulian. Kasih dan kepedulian merupakan dua penopang utama untuk dapat merasakan ketulusan akan cinta kasih. Tidak ada cinta tanpa rasa mengasihi dan tidak ada cinta sejati tanpa mencontohkan kepedulian pada siapa yang dicintai.

Lahirnya Deklarasi Istiqlal yang sangat bersejarah itu didasari kegelisahan seorang anak manusia bernama Nasaruddin Umar terhadap dua fenomena global yang mencabit-cabit dan merusak tatanan cinta kasih. Gagasan besar itu hadir dideklarasikan di Masjid Istiqlal Jakarta. Masjid terbesar kelima dunia yang menjadi visi sang ulama karismatik Anre Gurutta Kiai Haji Nasaruddin Umar yang saat ini sebagai menteri agama. Ditandai dengan ragam kekerasan dan konflik yang mencabit-cabit harkat dan martabat kemanusiaan mengdistorsi agama menjadi sebuah alat kekerasan dan permusuhan.

CINTA DAN ROH PENDIDIKAN

Nasaruddin Umar menjadikan kurikulum berbasis cinta sebagai ‘kendaraan’ dalam mewujudkan ajaran cinta yang mana merupakan pilihan yang sangat tepat karena kurikulum ialah roh utama dalam sistem pendidikan. Dalam penanaman nilai-nilai agama, kurikulum semacam ini menekankan pentingnya nilai-nilai agama dalam membentuk karakter peserta didik.

Namun, bukan berarti memaksakan satu agama tertentu, melainkan mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang universal. Karena itu, pengembangan empati peserta didik diajak untuk memahami dan merasakan perasaan orang lain sehingga mampu membangun relasi yang harmonis dan peningkatan toleransi. Kurikulum berbasis cinta mendorong peserta didik untuk menghargai perbedaan agama, suku, bahasa, dan budaya, serta dapat menyelesaikan konflik secara damai yang didasari dengan cinta.

Saya mengakhiri tulisan saya ini, insya Allah semoga tidak keliru dengan penuh keyakinan bahwa ketulusan Nasaruddin Umar ini dalam memberikan sebuah terobosan gagasan-gagasan besarnya dalam memaknai kurikulum berbasis cinta dari kita untuk belajar memaknai pentingnya ketulusan cinta dalam konteks ini.

 

Harapan besar kurikulum berbasis cinta ini hadir memiliki potensi besar untuk mengubah wajah manis pendidikan yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dari semua pihak anak bangsa untuk mewujudkan kurikulum yang berbasis cinta.

Kesimpulan saya, kurikulum cinta ini merupakan sebuah konsep pendidikan yang begitu relevan dengan tantangan zaman saat ini. Dengan menanamkan nilai-nilai cinta dan kasih sayang dan menjunjung tinggi nilai toleransi sejak dini, diharapkan generasi muda dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia Indonesia yang berkarakter mulia dan cinta kasih mampu membangun masa depan bangsa dan negara yang lebih cemerlang dan dapat dikagumi negara-negara besar dunia lainnya. (*)

oleh: Andi Salman Maggalatung (Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Tenaga Ahli Menteri Agama RI)