Kompleksitas dan Transformasi Ekonomi
PANDEMI covid-19 mulai terkendali dan bahkan beberapa negara menurunkan statusnya menjadi endemi. Namun, dampaknya masih terasa di beragam sektor. Pada ekonomi, tantangan peningkatan daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi terkendala dengan peningkatan harga bahan baku, khususnya energi dan pangan. Selain gangguan rantai pasok yang belum pulih, perang Rusia-Ukraina memberikan tekanan tambahan secara global. Indonesia, dengan kekayaan alamnya, tentu mendapatkan berkah. Godaan jangka pendek untuk memanfaatkan windfall menjadi tantangan tersendiri. Terbukti dengan surplus perdagangan Indonesia yang ke-23 kali secara berturut-turt hingga Maret 2022. Dalam beragam kesempatan, Presiden Joko Widodo menyampaikan Indonesia berfokus menghasilkan produk yang bernilai tambah tinggi–transformasi ekonomi. Hal itu membutuhkan industri dengan kompleksitas tinggi untuk nilai tambah yang tinggi. Dalam beragam seremoni lepas ekspor awal tahun ini oleh Presiden, terlihat kompleksitas produk masih menjadi tantangan Indonesia.
Transformasi ekonomi Dalam RPJMN 2019-2024, program strategis Kabinet Indonesia Maju ialah transformasi ekonomi. Secara umum merupakan proses berkesinambungan memindahkan perekonomian ke sektor yang bernilai tambah tinggi (struktural) dengan penggunaan teknologi yang menyertainya. Data dari World Bank dan United Nations Industrial Development Organization (UNIDO) menunjukkan perekonomian negara maju pada 2016-2019 didominasi sektor jasa (69,76%), diikuti agrikultur (16,23%), dan industri hanya 14,01%. Struktur ekonomi Indonesia dikontribusikan sektor jasa 43,72%, diikuti agrikultur (36,21%), dan industri (20,06%). Pertumbuhan sektor dengan teknologi untuk efisiensi juga menarik untuk dicermati.
Data UNIDO menunjukkan industri manufaktur Korea Selatan (+US$507 miliar) lebih dari seperempatnya berasal dari teknologi informasi. Teknologi informasi memiliki kompleksitas produk yang tinggi dan tentunya bernilai tambah tinggi. Kontribusi teknologi informasi Tiongkok memiliki total output naik tiga kali lipat jika dibandingkan dengan 2005. Amerika Serikat (AS), kontribusi teknologi informasi sebesar 7,41% (2018) dengan total output industrinya sebesar +US$2,61 triliun. Bagaimana dengan Indonesia? Industri makanan dan minuman (19,86%), petrokimia (12,37%), dan otomotif (10,43%) ialah tiga besar kontributor utama dengan total output industrinya sebesar +US$163 miliar. Kompleksitas ekonomi Ekonom Harvard Ricardo Hausmann berargumentasi bahwa kompleksitas ekonomi negara menentukan prospek pertumbuhan ekonomi yang dimiliki. Ketika sebuah negara memiliki ekspor dengan kompleksitas produk yang tinggi, pengetahuan dan kapabilitas yang dimilikinya luas dan kompleks. Hal itulah yang menjadikan pertumbuhan ekonominya lebih cepat karena nilai tambah yang dihasilkan lebih tinggi.
Dalam Economic Complexity Index (ECI) yang dikeluarkan Growth Lab dari Harvard, terlihat posisi Jepang tidak tergoyahkan sebagai pemuncak dalam 2 dekade terakhir (data terbaru 2019). Posisi selanjutnya, diikuti Swiss dan Jerman. Keberhasilan sektor industri Korea Selatan dalam mendiversifikasi industrinya terlihat pada #4 yang diraihnya tahun 2019. Sementara itu, Amerika Serikat turun 6 peringkat menjadi #11. Tiongkok dengan program Made in China 2025 menduduki #16, naik 24 peringkat jika dibandingkan dengan 2000. Indonesia konsisten pada #61 dalam 2 tahun terakhir. Posisi Indonesia juga tidak berubah banyak jika dibandingkan dengan 2000 (#59). Ekspor Indonesia (net) didominasi batu bara, minyak kelapa sawit, dan minyak bumi. Adapun pariwisata menyumbang 4,65% dan otomotif 2,39%.
Rekomendasi Tidak banyak perubahan kompleksitas industri Indonesia dalam 2 dekade terakhir, dengan stabilnya #55 (2002) hingga #67 (2010) pada ECI. Hal itu menunjukkan transformasi struktural ekonomi Indonesia, khususnya industri belum terjadi, karena kompleksitas output industrinya rendah. Mengingat Indonesia masih memiliki 24 tahun menjadi negara maju, meningkatkan kompleksitas output industrinya menjadi salah satu cara untuk lepas dari middle income trap. Indonesia perlu mendiversifikasi industri yang ada untuk barang atau jasa yang lebih kompleks. Besarnya proporsi industri dengan kompleksitas tinggi, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan GDP per kapita. Kesuksesan negara dalam mendiversifikasi industrinya menjadi lebih kompleks bila dibangun dari sumber daya, pengetahuan, dan kapabilitas yang telah dimiliki (light touch approach strategy). Tentunya perlu dilihat besaran dari pasar global maupun potensi pertumbuhan akan industri tersebut di masa depan. Misalnya, industri baterai mobil listrik memiliki kompleksitas tinggi, potensi tumbuh dan besaran ukuran pasar tinggi, dengan kedekatan yang tinggi pada sumber daya maupun kapabilitas pada industri yang telah ada di Indonesia. Atau industri hardware peralatan kantor (termasuk komputer) dengan ukuran pasar global yang besar dan pertumbuhan tinggi di atas 100%.
Baca Juga: Jelang Musim Timur, Pemda Jangan Lupakan KariuUntuk menjadi negara maju, Indonesia memerlukan industri yang memiliki kompleksitas ekonomi tinggi. Keberhasilannya, tergantung pada integrasi sumber daya dan kapabilitas yang telah ada pada industri saat ini. Roadmap industri strategis perlu dirancang agar arahnya jelas. UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Pasal 84 ayat 2 butir b memerlukan roadmap industri strategis Indonesia. Roadmap yang menjadi acuan bagi pengembangan industri dan investasi yang diperlukan, arah bagi riset nasional, maupun pengembangan SDM (khususnya dari pendidikan tinggi, baik dari vokasi maupun akademik), dan isu-isu strategis lain guna menyukseskan transformasi ekonomi menuju Maju 2045. Oleh: Badri Munir Sukoco Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Airlangga
Tinggalkan Balasan