Khittah Pers Indonesia

DARI sejarah pergerakan nasional, para perintis kemerdekaan umumnya berlatar belakang intelektual cum-jurnalis. Kaum elite terpelajar ini mengubah peta gerakan perlawanan terhadap rezim kolonial, dari medan pertempuran fisik ke era baru persabungan gagasan dan pemikiran, dengan membangunkan kesadaran rakyat melalui medium paling efektif di masanya yakni media cetak.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, sang pelopor pers nasional menerbitkan surat kabar Soenda Berita 7 Februari 1903 di Cianjur, setelah keluar dari sekolah kedokteran Stovia 1902. Pada 1 Januari 1907 Tirto mendirikan surat kabar Medan Prijaji di Batavia disusul koran khusus untuk perempuan, Poetri Hindia, 1 Juli 1908. Ketiga media ini sepenuhnya dikelola dan dimodali kaum bumiputera.
Pendiri Sjarekat Dagang Islam 5 April 1909 yang berpusat di Bogor ini dua kali diasingkan pemerintah kolonial ke Lampung dan Maluku, akibat aktivitasnya sebagai jurnalis yang berani memberitakan dan melaporkan kesewenang-wenangan aparat pemerintah.
Tidak cukup dibuang, perusahaan penerbitannya dipailitkan. Namun inisiasi dan kiprah Tirto menjadi inspirasi aktivis pergerakan lain. Pramoedya Ananta Toer (Rumah Kaca, 1988) melukiskan peran Tirto sebagai berikut, “Dialah Sang Pemula, orang pertama yang menyuluhi bangsanya…Belum pernah dalam seratus tahun terakhir ini seorang pribumi karena kepribadiannya, kemauan baik, dan pengetahuannya, dapat mempersatukan ribuan orang tanpa mengatasnamakan raja, nabi, wali…”
Tiga serangkai pendiri Indische Partij 1911 yaitu Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (selanjutnya berganti nama Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo menerbitkan koran De Express 1 Maret 1912 sebagai saluran untuk menumbuhkan kesadaran nasional pada kaum terdidik. Kecuali Douwes Dekker, kedua tokoh tersebut juga menempuh pendidikan di sekolah kedokteran untuk bumiputera (Stovia) di Batavia.
Baca Juga: Krisis Air Bersih dan Hilangnya Kawasan Hutan Tangkapan Air di Kota AmbonTulisan Ki Hadjar yang mengkritik pemerintah karena membebani rakyat Hindia Belanda dalam perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda lewat Als Ik Nederlander Was (Seandainya Aku Orang Belanda) yang dimuat De Express 13 Juni 1913, berakibat pembuangan ketiganya ke Belanda.
Pendiri Boedi Oetomo, Dokter Soetomo (tamat Stovia 1911) menerbitkan majalah Goeroe Desa tahun 1910, membawa misi pentingnya peran guru dalam mendidik rakyat. Soetomo mendirikan grup diskusi Indonesische Sudieclub Soerabaja (ISC), menerbitkan koran Soeloeh Indonesia 1924 dan Soeara Oemoem 1931. Salah satu media warisannya, Panjebar Semangat (koran berbahasa Jawa) yang terbit pertama kali tahun 1936, masih bertahan (berganti format majalah) sampai sekarang.
Haji Oemar Said Tjokroaminoto, lulusan sekolah pangreh praja (OSVIA) Semarang tahun 1902 yang kemudian menjadi pemimpin Sjarekat Islam (SI), juga menerbitkan koran Oetoesan Hindia 15 April 1921 guna menyebarkan pandangan dan misi organisasi ke khalayak.
Bung Karno meneruskan rintisan Soetomo dengan menjalin kerja sama antara ISC Soerabaja dan ISC Bandung dengan menerbitkan majalah Soeloeh Indonesia Moeda tahun 1927 dan surat kabar Persatoean Indonesia (corong PNI= Partai Nasional Indonesia) tahun 1927.
Selepas menjalani hukuman di penjara Sukamiskin, Bung Karno melahirkan Fikiran Ra’jat tahun 1932 dengan slogan, Kaoem Marhaen, Inilah Madjalah Kamoe!. SI dan PNI dalam waktu singkat berhasil menjaring puluhan ribu anggota dari berbagai daerah, menunjukkan kesadaran nasional mulai meningkat dan mengkhawatirkan penguasa kolonial.
Bung Hatta selama studi, aktif terlibat dan kemudian memimpin Perhimpunan Indonesia (1926-1930) di Belanda. Perhimpunan mengelola Daulat Ra’jat (terbit perdana 20 September 1931). Media ini sebelumnya bernama Hindia Putra (terbit 1916), lantas berubah menjadi Indonesia Merdeka sejak 1924.
Selain menulis di media sendiri, kedua proklamator sedari belia aktif menuliskan sikap dan pandangannya, baik berupa ajakan menggalang persatuan dan cita-cita meraih kemerdekaan, maupun melancarkan kritik tajam kepada pemerintah jajahan melalui tulisan di berbagai media pada eranya.
George McTurnan Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952) menerangkan, pemerintah kolonial tidak siap menghadapi siasat perlawanan generasi baru kaum terdidik ini. Langkah represif ditempuh dengan mengenakan tuduhan subversif sebagai dalih untuk memenjarakan dan mengasingkan tokoh-tokoh penggeraknya. Partai beserta media corong organisasi ikut diberangus.
Inspirasi keteladanan
Dari generasi avant-garde ini dapat dipetik keteladanan yang menginspirasi. Pertama, para aktivis pergerakan sukarela menanggalkan segenap privilege (gelar bangsawan, pendidikan tinggi, jaminan beroleh jabatan dan hidup sejahtera) demi perjuangan dan cita-cita meraih kemerdekaan.
Berbeda dengan kebanyakan anak-anak priyayi amtenar (pegawai gubernemen) yang tunduk pada tekanan dari penguasa kolonial dengan fokus belajar dan menjauhi kegiatan politik, sebagian kecil pelajar dan mahasiswa mengabaikan dan siap menanggung risiko perjuangan (Deliar Noor: Mohammad Hatta, Biografi Politik, 1990).
Kedua, para perintis pergerakan gigih membangun dan membangkitkan kesadaran berbangsa dengan membentuk organisasi, partai, mendirikan, dan mengelola media untuk memupuk dan mengobarkan gerakan perlawanan. Kekayaan literasi, ketangguhan, dan ketajaman visi para tokoh teruji melalui benturan pemikiran, juga represi fisik dan mental.
Ketiga, curahan pemikiran para aktivis di media menumbuhkan resonansi gerakan di antara sesama aktivis, sekaligus reperkusi kepada pemerintah kolonial, bahkan langsung ke pusatnya, di negeri Belanda.
Respons politisi dan berbagai kalangan di Belanda yang bersimpati dengan perjuangan anak bangsa, menjadi serangan balik atas kebijakan eksploitatif dan diskriminatif pemerintah kolonial. Bung Karno dalam pledoi Indonesia Menggugat, 1930, banyak mengutip pendapat politisi dan intelektual asing untuk mengungkapkan fakta kesengsaraan dan penderitaan rakyat Indonesia.
Medan perlawanan kaum pergerakan tidak lagi terbatas di Hindia-Belanda, tetapi diperluas menjadi kebutuhan bersama bangsa-bangsa terjajah. Keterlibatan aktif Bung Hatta pada Kongres Demokrasi Internasional di Perancis 1926 dan Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial di Brussel, 1927, (John Ingleson, 1975: Perhimpunan Indonesia and the Indonesian Nationalist Movement 1923-1928) dapat disebut sebagai upaya membangun solidaritas antarbangsa.
Keempat, kesediaan memanggul tugas dan panggilan sejarah mencerminkan ketokohan sejati bersendikan head (pikiran besar), heart (pengorbanan mulia), dan guts (keberanian mengambil tindakan untuk tujuan besar). Dalam khasanah manajemen, karakteristik pemimpin otentik merupakan perpaduan vision (visi menjulang), value (gigih memperjuangkan nilai-nilai kebajikan), dan courage (berani terlibat penuh pada momen penting).
Relevansi sejarah
Semangat intelektual asketik yang menjadi roh penggerak kebangkitan bangsa menunjukkan berseminya melek akal-budi di kalangan elite terdidik saat menyaksikan dan menghayati kepedihan nasib bangsanya di era penjajahan. Ignas Kleden dalam pengantar buku Jakob Oetama (Perspektif Pers Indonesia, 1987) menerangkan, perkaitan erat dunia pergerakan dan jurnalistik yang khas–altruisme generasi pendiri republik–bukan sekadar koinsidensi sejarah belaka. Tingginya kualitas intelektual dan kepekaan nurani menuntun lahirnya konsepsi besar dan kesabaran terukur menghadapi tirani kolonial.
Insan pers perlu merenungkan kembali jejak awal, asal-mula kelahiran pers yang berimpit dengan perjuangan meraih kemerdekaan. Profesi pers bukan hanya menjunjung misi profetik, melainkan misi pengabdian dan pemihakan yang diperjuangkan terus-menerus untuk mengangkat martabat, memuliakan kemanusiaan. Inilah khittah pers nasional sejak era kelahirannya.
Ignas juga menyebut profesi wartawan adalah pekerjaan intelektual yang sesungguhnya. Akurasi, verifikasi, kekayaan referensi, keleluasaan berhubungan dengan sumber-sumber informasi, merupakan wahana dan penerapan metode kerja intelektual. Moralitas dan etika membimbing jurnalis hanya bersetia pada kejujuran dan kebenaran, melawan tirani kebohongan dan kepalsuan.
Dunia saat ini digambarkan sedang bergerak menapaki era baru yang didefinisikan Jamais Cascio (2020) sebagai era BANI (Brittle= ringkih, Anxiety= mengkhawatirkan, Non-linier= tidak lurus, dan Incomprehensible= sukar dipahami).
Disrupsi teknologi dan perubahan cepat geopolitik ekonomi dunia menghadirkan kecamuk persoalan tak lagi berdimensi tunggal. Akan tetapi, dimensi kemanusiaan, keadilan, dan kesetaraan, tidak selayaknya terpinggirkan dalam pergumulan meniti arus perubahan zaman.
oleh: Suwidi Tono (Mantan wartawan, Koordinator Forum Menjadi Indonesia)
Tinggalkan Balasan