AMBON, Siwalimanews – Sobo Makatita saat men­jabat Kepala SMP  Negeri 8 Leihitu, bukan hanya me­ngelola sendiri dana bantuan operasional sekolah (BOS) tanpa melibatkan guru. Dia juga memalsukan tanda ta­ngan guru dalam setiap la­poran pertanggungjawaban.

Hal ini terungkap dalam sidang lanjutan kasus ko­rupsi dana BOS tahun 2015-2017 di Pengadilan Negeri Ambon, Kamis (3/12).

Karmin Saulatu, Guru di SMK Negeri 4 Ambon yang pernah menjadi tenaga honorer di SMPN 8 Leihitu me­ngatakan, dirinya pernah melaporkan terdakwa ke po­lisi. Laporan itu berkaitan dengan tanda tangannya yang dipalsukan.

Dia menceritakan, namanya dalam laporan pertanggungjawaban tertu­lis sebagai bendahara. Dalam se­jum­lah laporan ada tanda tangan milik­nya. Padahal, dia sama sekali tidak menandatangani laporan tersebut.

“Nama saya jadi bendahara, tan­da­tangan saya juga dipakai. Saya pernah lapor ke polisi soal pemal­suan tanda tangan. Jadi kalau ada tanda tangan itu tidak benar,” ujar Karmin.

Baca Juga: Setahun Lebih Korupsi ADD Akoon Mandek di Polisi

Karmin yang masih memiliki hu­bungan keluarga dengan terdakwa itu juga mengaku selama mengajar, dia tidak pernah digaji. Padahal, ter­dakwa yang memanggilnya ke sekolah. Hal itu membuatnya hanya bertahan selama enam bulan di tahun 2013. Sehingga dia tidak tahu-menahu soal dana yang masuk ke SMPN 8 Leihitu.

“Saya tidak dapat gaji. Jadi saya langsung keluar. Saya hanya dengar mereka mendapat dana alokasi khu­sus. Rehab kelas dan perpustakaan, saya tidak tahu,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, selama ter­dakwa menjabat kepala sekolah, para guru tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan atau pembangunan apa­pun. Malah, terdakwa pernah dalam suatu rapat mengatakan tugas guru di sekolah hanyalah mengajar.

“Setahu saya, anggarannya cu­kup besar tapi yang direhab cuma cat dinding dan ganti seng. Kepala sekolah sendiri yang belanjakan.  Tidak semua ruangan di rehab.  Dana bos juga tidak pernah diumum­kan di sekolah,” kata Karmin.

Dia menambahkan, tidak semua ruangan sekolah direhab. Dana apapun tidak pernah dikelola secara transparan. Juga, tidak ada pembe­rian seragam gratis ke siswa.

“Pemberian seragam memang ada. Tapi mereka bayar sendiri. Termasuk ponakan saya juga,” tuturnya.

Selain Karmin, salah satu guru yang turut memberikan kesaksian juga pernah melaporkan pemalsuan tanda tangan. Namanya tercantum dalam laporan pertanggungjawaban saat dia sudah tidak menjabat seba­gai bendahara sekolah.

“Di laporan pakai tanda tangan saya. Saya sudah lapor polisi, tapi tidak ditindaklanjuti. Katanya, karena saat ini penyidik sedang menyelidiki hal ini,” kata  Abubakar Latukau, guru SMPN 8 Leihitu.

Abubakar tidak menampik dirinya pernah menjadi bendahara sekolah. Hanya saja, dia sudah tidak lagi menjabat saat pengelolaan dana yang menjadi masalah, yakni sejak 2013.

“Saya memang pernah jadi ben­dahara. Tapi itu saya dapat SK Juni 2010 sampai dengan Juni 2011,” jelasnya.

Dia juga membeberkan, anak ter­dakwalah yang menjadi bendahara. Nama Nona Makatita disebut-sebut mengelola uang bersama ayahnya. “Bendahara dana bos, anaknya juga bendahara dana bos dari 2015-2017,” katanya.

Sementara empat guru lainnya mengaku tidak tahu soal penggu­naan anggaran di sekolah. Bahkan, sekadar belanja keperluan minum teh di sekolah.

“Saya tidak tahu semua dana yang ada. Terdakwa juga tidak per­nah membentuk kelompok atau mem­buat rapat. Saya tidak tahu siapa yang mengelola. Konsumsi makan minum, ada memang. Tapi tidak sampai 20 kilogram gulana setiap bulan,” kata Abdul Gani Amet.

Senada, Wa Lala juga mengaku tidak tahu. Dia juga tidak pernah menanyakan perihal dana. Meskipun dia perempuan yang biasa mengurus konsumsi pun, tidak tahu soal dana untuk makan dan minum. “Pembelian gula saya tidak tahu. Minum teh saja seperti hujan panas,” katanya.

Maksud hujan panas, katanya ada­lah kadang ada, juga kadang tidak ada. Terdakwa saja yang me­ngetahui semua pengelolaan dana.

Ridwan Haulussy,  bahkan menga­ku, para guru hanya diberikan kain, lalu disuruh menjahitnya sendiri untuk celana. Tanpa diberikan uang sepeserpun. Selain itu, mereka tidak pernah diberikan insentif apapun, termasuk uang les sejumlah Rp 400 ribu per guru yang tertulis dalam la­poran pertanggungjawaban. “Kami hanya dapat kain, nanti jahit sen­diri,” ujarnya.

Sebelumnya, kejahatan mantan Ke­pala SMP Negeri 8 Leihitu, Sobo Ma­katita (59) dibeberkan Jaksa Penuntut Umum Ruslan Marasa­bessy, dalam sidang perdana yang digelar di Peng­adilan Tipikor Ambon, Rabu (18/11).

Menurut JPU, terdakwa melaku­kan pembelanjaan hingga penge­lua­ran keuangan sendiri tanpa meli­batkan komite sekolah dan panitia pembangunan sekolah.

Terdakwa secara sengaja mema­sukan kegiatan-kegiatan sesuai rab. Kegiatan tersebut ada yang benar dilaksanakan namun terdakwa tidak membayar. Ada juga item kegiatan yang pembelanjaanya tidak ada sama sekali. Selain itu, ada beberapa item yang anggarannya sengaja dilebihkan alias mark up.

Namun terdakwa membuat kwi­tansi dan nota belanja seolah-olah kegiatan tersebut dilaksanakan dan dibayar sesuai kegiatan, dan jumlah biaya yang tercantum di dalam RAB. Terdakwa membuat laporan dengan lampiran bukti pengeluaran yang tidak sah dan lengkap.

Dalam kurung waktu 2013 hingga 2014, SMP Negeri 8 Leihitu mene­rima dana DAK untuk rehabilitasi tiga kelas sebesar Rp. 365,5 juta, dana untuk pembangunan perpusta­kaan sebesar Rp. 227 juta, serta rehab tiga kelas sedang senilai Rp 189 juta. Sementara uang dana BOS yang diterima dari tahun 2015 hingga 2017 berturut-turut senilai Rp. 198 juta, Rp. 200 juta, dan Rp. 179,4 juta.

Dalam dana BOS itu, ada sejumlah kegiatan fiktif yang dilakukan de­ngan selisih hingga Rp. 275 juta selama tiga tahun itu.

Sedangkan, SMPN 8 Leihitu juga menerima dana untuk sejumlah siswa miskin selama tiga tahun berturut-turut, sebesar Rp 86,65 juta untuk 163 siswa. Uang itu diperuntukkan untuk pembelian buku, seragam hingga peralatan lainnya bahkan sumber untuk seragam dan buku berasal dari orang tua se­besar Rp. 250 ribu.  SMP 8 Negeri Leihitu juga menerima dana bansos senilai Rp. 242.681.113. Makatita telah menyalahgunakan ke­wenangannya hingga mengakibatkan muncul kerugian negara. (S-49)