Kajati Tantang Tanaya Buka-bukaan
Soal Korupsi Pembelian Lahan PLTG Namlea
AMBON, Siwalimanews – Kepala Kejati Maluku, Rorogo Zega menantang Ferry Tanaya buka-bukaan soal kasus korupsi pembelian lahan untuk pembangunan PLTG 10 megawatt di Namlea, Kabupaten Buru. Ferry Tanaya dinilai tak jujur. Tanaya terkesan melindungi pihak PLN Maluku. Ia tak mau transparan menyangkut uang Rp 6 miliar lebih yang dibayar oleh perusahaan berplat merah itu.
“Saya memang baca di koran-koran terkait pernyataan Ferry Tanaya soal pihak PLN. Kan yang dicurigai begini, setelah uang diterima Ferry ada pengembalian ke PLN. Harusnya Ferry ngomong dong, uang saya terima itu tidak sebesar itu,” kata Zega kepada wartawan, di Kantor Gubernur Maluku, Rabu (9/9).
Zega tak terima jika pihak Ferry Tanaya menuding jaksa merekayasa kasusnya. Ia menegaskan, jaksa memiliki bukti-bukti yang cukup untuk menetapkannya sebagai tersangka.
Soal permintaan pihak Ferry Tanaya agar PLN juga dijerat, Zega mengatakan, jaksa tidak memiliki bukti-bukti yang cukup.
Apabila Ferry Tanaya bersikukuh bahwa pihak PLN yang bersalah, kata Zega, harusnya Tanaya membantah soal uang yang diterima dari hasil penjualan lahan.
Baca Juga: Kepala Inspektorat Diduga Lindungi Rumaloak“Tapi tidak ada tanda-tanda dari pihak PLN. Artinya kan begini, PLN itu membeli tanah dia membayar selesai disitu. Sedangkan, Ferry terima uang yang bukan haknya. Itu milik negara,” tandas Zega.
Zega menegaskan, pihaknya akan menuntaskan kasus pembelian lahan untuk pembangunan PLTG Namlea, karena merugikan negara Rp. 6 miliar lebih. “Kita tetap akan tangani,” tandasnya lagi.
Lengkapi Berkas
Penyidik Kejati Maluku sementara melengkapi berkas Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa sebagai tersangka korupsi pembelian lahan pembangunan PLTG 10 Megawatt di Namlea, Kabupaten Buru.
Ferry merupakan pengusaha di Kabupaten Buru. Sedangkan Laitupa, mantan Kasi Pengadaan BPN Kabupaten Buru.
Hal ini disampaikan Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku. Samy Sapulette, Selasa, (8/9). “Berkas tersangka masih dilengkapi,” jelasnya.
Sapulette mengatakan, penyidik masih mempelajari dan mengevaluasi lagi keterangan para tersangka, apakah akan ada pemeriksaan tambahan lagi ataukah tidak.
Selain itu, penyidik juga akan melengkapi resume berkas perkara berdasarkan berita acara pemeriksaan tersangka, dan akan menyusun berkas perkara yang nantinya dilakukan penyerahan berkas perkara tahap pertama ke penuntut umum.
“Jadi pasca pemeriksaan dan penahanan terhadap para tersangka banyak hal yang dilakukan oleh penyidik sebelum sampai pada penyerahan berkas perkara tahap pertama,” jelasnya.
Terkait beberapa pihak yang mempertanyakan mengapa pihak kejaksaan hanya menetapkan dua tersangka, Sapulette mengatakan, semua fakta akan terungkap dalam persidangan.
“Kenapa pihak lain tidak dijadikan tersangka selain F.T dan A.G.L, tentu hal tersebut akan secara terang benderang terungkap di persidangan yang terbuka untuk umum nanti,” tuturnya.
“Jadi silakan dikawal dan diikuti saja proses penanganan perkara ini sampai di persidangan,” imbuhnya.
Untuk diketahui, Kejati Maluku Senin (31/8), resmi menahan dua tersangka kasus dugaan korupsi pembelian lahan pembangunan PLTG di Namlea.
“Dua tersangka sudah ditahan setelah keduanya diperiksa dalam status sebagai tersangka,” kata Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette, di Kantor Kejati Maluku, Senin, (31/8).
Tanaya dan Laitupa ditahan di Rutan Polda Maluku Tantui. Penahanan dilakukan selama 20 hari sejak 31 Agustus 2020 sampai 19 September 2020.
Penahanan terhadap kedua tersangka dilakukan setelah penyidik melakukan pemeriksaan terhadap kedua tersangka sejak pukul 09.30 sampai pukul 16.00 WIT dengan didampingi tim penasehat hukum masing-masing.
Ferry Tanaya didampingi penasehat hukumnya, Herman Koedoeboen, Firel Sahetapy dan Fileo Pistos Noija. Sedangkan, Laitupa didampingi penasehat hukumnya Syukur Kaliky.
Seperti diberitakan, Ferry Tanaya telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-749/Q.1/Fd.1/05/ 2020, tanggal 08 Mei 2020. Sedangkan Abdur Gafur Laitupa, ditetapkan sebagai tersangka, berdasarkan Surat Penetapan Tersangka Nomor: B-750/Q.1/Fd.1/05/2020, tanggal 08 Mei 2020, dalam kasus yang merugikan negara lebih dari Rp 6 miliar itu.
Lahan seluas 48.645, 50 hektar di kawasan Jikubesar, Desa Namlea, Kecamatan Namlea, Kabupaten Buru milik Ferry Tanaya dibeli oleh PLN untuk pembangunan PLTG 10 megawatt.
Sesuai nilai jual objek pajak (NJOP), harga lahan itu hanya Rp 36.000 per meter2. Namun diduga ada kongkalikong antara Ferry Tanaya, pihak PLN Wilayah Maluku dan Maluku Utara yang saat itu dipimpin Didik Sumardi dan oknum BPN Kabupaten Buru untuk menggelembungkan harganya. Alhasil, uang negara sebesar Rp.6.401.813.600 berhasil digerogoti.
Hal ini juga diperkuat dengan hasil audit BPKP Maluku yang diserahkan kepada Kejati Maluku.
“Hasil penghitungan kerugian negara enam miliar lebih dalam perkara dugaan Tipikor pelaksanaan pengadaan tanah untuk pembangunan PLTG Namlea,” kata Kasi Penkum Kejati Maluku, Samy Sapulette.
Sapulette mengatakan, Ferry Tanaya dan Abdul Gafur Laitupa ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan bukti-bukti yang dikantongi jaksa.
“Berdasarkan rangkaian hasil penyidikan yang dilakukan oleh penyidik ditemukan bukti permulaan yang mengarah dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka tersebut yaitu FT dan A.G.L,” ujarnya.
Loloskan Pihak PLN
Langkah pihak kejaksaan yang tidak menetapkan pihak pembeli lahan sebagai tersangka diprotes tersangka Abdul Gafur Laitupa.
Lewat kuasa hukumnya, Syukur Kaliky, tersangka dalam kasus korupsi pembelian lahan PLTG di Namlea itu mengatakan pihak kejaksaan keliru menetapkan tersangka.
Dia menuturkan, mestinya pihak PLN Unit Induk Pembangunan (UIP) Maluku menjadi salah satu pihak yang harusnya paling terlibat dan bertanggung jawab pada kasus tersebut. “Jaksa seharusnya tidak menetapkan Laitupa sebagai tersangka,” ujar Kaliky.
Dijelaskan, Abdul Gafur Laitupa yang saat itu menjabat sebagai Kepala Seksi Pengukuran di Kantor BPN Kabupaten Namlea, hanya melakukan pengukuran lahan berdasarkan surat permintaan Fery Tanaya.
Setelah melakukan pengukuran, dia lalu menyerahkan data hasil pengukuran itu. Tapi data yang diserahkan bersifat sementara, karena belum lengkap. “Jadi dia minta pihak PLN koordinasi langsung dengan Kepala BPN Namlea yang sudah almarhum,” tutur Kaliky.
Namun, pihak PLN tetap mengambil data tersebut. Mereka menyebut hal itu dijadikan pegangan untuk melakukan proses jual beli dengan pemilik lahan. Kaliky juga mempertanyakan biro hukum di bagian PLN.
Menurutnya, tidak mungkin lembaga sebesar PLN bisa melakukan kesalahan dengan tetap mengambil gambar yang masih bersifat sementara, lalu dijadikan acuan. Kaliky menduga pihak kejaksaan tebang pilih dalam pengusutan kasus tersebut.
Pasalnya, pihak PLN yang melakukan pembelian lahan, tidak dijadikan tersangka. Sementara, Laitupa tidak melakukan kesalahan apa-apa terkait proses pembelian lahan itu, dijadikan tersangka.
“Pihak PLN harus diperiksa, dan dijadikan sebagai tersangka. Bagi saya, jaksa tidak boleh tebang pilih dalam pengusutan kasus ini,” ujarnya.
Selain itu, Kaliky juga mengaku bingung dengan hasil audit kerugian negara dalam kasus tersebut.
“Saya tanya, kerugian berapa? Jaksa bilang Rp 6 miliar sekian. Tapi mereka tidak tahu, berapa yang disalahgunakan. Ini saya anggap tebang pilih,” katanya.
Dia berujar, jika memang uang pembelian lahan itu berasal dari pihak PLN, mestinya jaksa harus menanyakan uang tersebut sudah dipakai untuk membelikan apa. Pertanggungjawabannnya seperti apa.
“Klien saya itu kan bawakan dokumen tanah untuk ukur, tapi dia dijerat dengan pasal 55 sebagai orang yang turut berlibat dalam kasus ini. Makanya saya juga merasa tidak adil, mengapa dia itu dijadikan tersangka,” katanya.
Kaliky meminta Kejati Maluku juga harus menetapkan pihak PLN sebagai tersangka dalam perkara pembelian lahan tersebut. “Saya mau jaksa tidak boleh tabang pilih. Posisi kasus ini jelas-jelas ada peran pihak PLN yang begitu besar, sehingga terjadilah proses pembayaran ini,” ujarnya. (Cr-1)
Tinggalkan Balasan