Bahasa sangat terkait dengan budaya. Belajar tentang budaya dari bahasa yang dipelajari ibarat memiliki kunci untuk membuka pemahaman yang lebih dalam, komunikasi yang lebih efektif, dan apresiasi yang lebih kaya terhadap bahasa itu sendiri. Kata-kata dan frasa sering kali memiliki konotasi budaya yang tidak dapat dipahami hanya melalui terjemahan. Dengan memahami referensi budaya, makna sebenarnya dan bobot emosional di balik apa yang dikatakan dapat dipahami.

Hal ini sejalan dengan penjelasan Kramsch dalam bukunya Language and Culture (2014), yaitu memiliki wawasan budaya, seperti penutur asli yang mempunyai tujuan penting dalam pembelajaran bahasa. Ali, Kazemian, & Mahar dalam artikel mereka “The Importance of Culture in Second and Foreign Language Learning” (2015) menjelaskan bahwa peningkatan kemampuan komunikasi dalam bahasa target membutuhkan pemahaman budaya yang mendalam dan dapat dicapai dengan memaparkan pemelajar pada konteks budaya melalui berbagai aktivitas interaktif dan teks yang kaya akan pengetahuan budaya. Hal ini menunjukkan bahwa pembelajaran bahasa yang efektif tidak hanya berfokus pada struktur dan tata bahasa, tetapi juga pada konteks budaya di tempat bahasa tersebut digunakan. Selain bisa berbicara dengan lancar, pemelajar dapat menjadi lebih peka terhadap penggunaan bahasa yang tepat dalam komunikasi antarbudaya. Dalam bukunya An Intercultural Approach to English Language Teaching, Corbett (2022) menjelaskan bahwa pendidikan bahasa lintas budaya juga menekankan pentingnya pengetahuan tentang budaya target sebagai bentuk literasi budaya sehingga guru atau perancang materi harus memilih fakta budaya yang relevan dan diperlukan oleh pemelajar untuk mencapai pemahaman yang komprehensif.

Dalam mengenalkan budaya Indonesia kepada orang asing, program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA) memiliki pendekatan unik. Alih-alih berfokus langsung pada muatan budaya subjektif, program ini mengedepankan penggunaan budaya objektif. Pemanfaatan budaya objektif, seperti tarian tradisional dan kuliner khas daerah menjadi strategi efektif untuk menarik minat dan memberikan gambaran konkret tentang kekayaan budaya Indonesia. Orang asing diajak secara langsung mengamati, merasakan, dan mempelajari berbagai aspek budaya melalui interaksi dengan objek-objek tersebut.

Program BIPA di Maluku tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia, tetapi juga membawa orang asing menyelami kekayaan budaya dan potensi Maluku. Maluku dengan kekayaan budayanya yang beragam dari tarian tradisional, seperti Tari Cakalele, hingga kuliner khas, seperti enbal, menjadi harta karun yang perlu dibagikan kepada dunia. Program BIPA di Maluku berperan sebagai jembatan untuk memperkenalkan harta karun ini kepada penutur asing.

Meskipun pendekatan ini tidak secara eksplisit membahas norma, nilai, dan kepercayaan yang mendasari budaya subjektif, program BIPA tetap memberikan wawasan keindonesiaan. Program tersebut diberikan melalui paparan budaya objektif sehingga pemelajar BIPA dapat memahami keragaman budaya Indonesia, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Pendekatan ini juga memberikan kesempatan bagi orang asing untuk membangun koneksi emosional dengan budaya Indonesia. Pengalaman langsung berinteraksi dengan budaya objektif dapat menumbuhkan rasa cinta dan penghargaan terhadap kekayaan budaya Indonesia. Walaupun pendekatan budaya objektif sering digunakan dalam program BIPA, perlu disadari bahwa pendekatan ini mungkin tidak sepenuhnya menangkap nuansa budaya subjektif. Budaya subjektif tetap memegang peranan penting dalam komunikasi dan pemahaman antarbudaya. Oleh karena itu, perlu juga integrasi budaya objektif dan subjektif dalam pembelajaran BIPA.

Menilik teori pragmatik eksplanatori dalam buku Teaching and Learning Pragmatics: Where Language and Culture Meet yang ditulis Ishihara & Cohen (2014), budaya yang biasanya ditekankan dalam pembelajaran bahasa kedua atau bahasa asing adalah pada sisi subjektif (kepercayaan, nilai) yang menjelaskan bagaimana norma asumsi budaya memengaruhi penyampaian makna di suatu komunitas bahasa. Secara sederhana, untuk menghindari kesalahpahaman, pelajar perlu memahami norma sosial dalam penggunaan bahasa, alasan budaya di baliknya, dan potensi konsekuensi dari kata-kata mereka. Ini termasuk mempertimbangkan faktor-faktor, seperti usia, kelas sosial, dan nilai-nilai budaya dalam situasi yang berbeda.

Dengan mengintegrasikan budaya objektif dan subjektif, program BIPA memberikan pengalaman belajar yang lebih dari sekadar penguasaan bahasa. Program ini membuka pintu bagi pemelajar BIPA untuk memahami budaya Indonesia secara lebih mendalam, membangun jembatan budaya, dan menumbuhkan rasa cinta dan penghargaan terhadap kekayaan budaya Indonesia. Sebagai contoh, melalui kosakata, ungkapan, dan cerita rakyat, program BIPA membuka jendela bagi para pemelajar BIPA untuk memahami cara hidup, nilai-nilai, dan kepercayaan masyarakat setempat. Di sisi lain, cerita rakyat menjadi wadah untuk menyampaikan nilai-nilai moral, tradisi, dan sejarah yang memberikan gambaran tentang identitas dan jati diri masyarakatnya.

Integrasi budaya objektif dan subjektif ini tidak hanya memperkaya pembelajaran bahasa, tetapi juga menumbuhkan rasa hormat dan penghargaan terhadap budaya Indonesia. Pemelajar BIPA diajak untuk melihat budaya bukan hanya sebagai benda-benda mati, melainkan sebagai sistem pengetahuan dan nilai-nilai yang hidup dan dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Sebagai contoh, program BIPA di Maluku dapat memperkenalkan kosakata Maluku, seperti pela gandong. Ungkapan seperti ale rasa, beta rasa memberikan wawasan tentang nilai-nilai kekeluargaan masyarakat Maluku. Cerita rakyat, seperti Asal Mula Pohon Kayu Putih dan Buaya Tembaga, dapat menceritakan sejarah dan geografi Maluku serta nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi.

Adji, Rijati, & Permadi (2020) dalam penelitian berjudul What is the Local Culture Teaching Strategy in BIPA Learning? dalam jurnal KEBIPAAN 2019 menyebutkan, “BIPA tidak hanya menjadi ujung tombak bagi kebijakan Indonesia terkait dengan kebijakan internasionalisasi bahasa, tetapi juga menjadi pintu masuk bagi orang asing untuk mengenal dan memahami budaya Indonesia.” Lebih dari sekadar belajar bahasa, program BIPA menawarkan wawasan tentang adat istiadat, tradisi, dan norma-norma sosial yang bisa menumbuhkan apresiasi budaya dan mengurangi risiko kesalahpahaman. Program BIPA juga memberikan pajanan budaya, keindahan alam, dan potensi ekonomi Indonesia yang bisa menarik minat orang asing untuk datang ke Indonesia, baik untuk mengikuti program ini maupun untuk berwisata dan berbisnis. Dengan membina komunikasi dan pertukaran budaya, program BIPA membuka jalan untuk kerja sama internasional yang lebih kuat. Program BIPA juga berkontribusi pada kekuatan lunak Indonesia. Dengan mempromosikan citra positif Indonesia di panggung global, program BIPA dapat memperkuat posisi Indonesia di kancah internasional. Oleh: Eka Julianty Saimima, M.A. Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku.(*)