AMBON, Siwalimanews – Tim penyidik Kejaksaan Tinggi Maluku masih menelusuri tiga terpidana korupsi Bank Maluku Malut. Mereka dinyatakan sebagai buronan. Namun, sampai sekarang pencarian tersebut tidak membuah­kan hasil.

“Kami masih melakukan pengeja­ran terhadap ketiga terpidana yang hingga saat ini belum berhasil di­tangkap,” ujar Kepala Seksi Pene­rangan Hukum dan Humas Kejati Maluku, Samy Sapulette kepada Siwalima, Kamis (6/8).

Tiga terpidana itu adalah Direktur Utama CV Harves Heintje Abraham Toisuta,  mantan Kepala Devisi Ren­stra dan Korsec Bank Maluku Petro Tentua, dan Direktur PT Nusa Ina Pratama, Yusuf Rumatoras. Mereka bebas berkeliaran, sementara ko­ruptor lain meringkuk di penjara.

Sapulette mengatakan, tim penyi­dik telah menyebar ke sejumlah lokasi untuk mengendus keberada­an ketiganya. Namun, belum ter­tangkap. Padahal, pihak kejaksaan telah melibatkan segala unsur ter­kait untuk menelusuri keberadaan ketiga narapidana tersebut.

Dikatakan, kejaksaan telah melaku­kan segala upaya. Tapi penang­kapan terhadap para terpidana itu adalah persoalan waktu.

Baca Juga: Jaksa Tolak Pembelaan Faradiba Cs

“Kalau sudah ditangkap, pasti langsung dieksekusi. Saya kira ini hanya soal waktu saja,” ujarnya.

Sapulette berharap, masyarakat ikut membantu kejaksaan dalam menangkap tiga orang itu dengan langsung menginformasikan kepada pihak kejaksaan atau melalui Call Center Kejaksaan Tinggi Maluku 081344114002.

“Apabila masyarakat ada infor­masi terkait keberadaan para ter­pidana dapat disampaikan kepada pihak kejaksaan,” himbaunya.

Masuk Daftar DPO

Kurang lebih tiga tahun, tiga terpidana korupsi di Bank Maluku Malut masuk daftar pencarian orang (DPO) Kejati Maluku. Namun hingga kini, mereka belum juga berhasil ditangkap.

Alasan Kejati Maluku belum bisa melacak keberadaan ketiga terpi­dana menunjukan lemahnya pene­gakan hukum di kejaksaan. Penilaian ini disampaikan Praktisi Hukum, Munir Kairoti. Menurutnya, kejak­saan tidak serius dan bersungguh-sungguh dalam menangkap tiga terpidana korupsi tersebut.

“Kalau memang sampai sekarang tidak tersentuh, apa kerja mereka?,” katanya melalui telepon seluler, Rabu (5/8).

Dia menyebut, kejaksaan seperti bermain dengan hukum. Seperti kata orang, hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Harusnya, ketiga terpidana tersebut segera ditang­kap.

“Harus dikejar. Apalagi sudah putusan. Sebagai warga negara, mereka harus menjalani hukuman. Mereka harus taat dan tunduk pada hukum,” ujarnya lagi.

Munir mempertanyakan bagai­mana orang mau menaati hukum, sedangkan penegak hukum saja tidak becus. Padahal, persoalan korupsi merugikan rakyat.

“Penegak hukum ini kan juga digaji dari rakyat. Kenapa tidak bisa tangkap koruptor?,” tuturnya.

Munir meminta kejaksaan serius dan tidak main-main dalam mela­kukan penegakan hukum. Pasalnya, kejaksaan terkesan tebang pilih dalam menuntaskan kasus korupsi.

“Ini bisa jadi tanda tanya, ada apa?. Kok sampai mereka tidak bisa tersentuh. Sudah putusan tapi tidak dieksekusi jaksa, ada apa,” ucapnya.

Sebelumnya, praktisi hukum Marnix Salmon menyebut, kejaksaan adalah institusi penegak hukum yang besar, dan berada di seluruh wilayah NKRI. Harusnya, kejaksaan mampu meringkus ketiga terpidana korupsi itu.

“Kejaksaan itu institusi besar. Artinya, saling koordinasi antar wilayah pasti ada. Jangan jadikan itu sebagai alasan klasik yang tidak masuk akal,” ujar Marnix kepa­da Siwalima, Kamis (18/6).

Marnix meminta kejaksaan trans­paran, dan jangan melindungi terpi­dana. Ia menilai, kejaksaan terkesan tebang pilih serta menutup mata terhadap keberadaan mereka.

“Jangan menimbulkan persepsi buruk dari masyarakat tentang ki­nerja kejaksaan,” kata Marnix.

Yusuf Rumatoras adalah terpidana kasus kredit macet Bank Maluku ta­hun 2006 senilai Rp 4 miliar. Ia dihu­kum 5 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA), dan hingga kini menghirup udara bebas. Sementara tiga terpidana lainnya mendekam di penjara.

Sedangkan Heintje dan Petro, adalah terpidana korupsi dan TPPU pembelian lahan dan bangunan bagi pembukaan Kantor Cabang Bank Maluku dan Maluku Utara di Sura­baya tahun 2014, yang merugikan negara Rp 7,6 miliar.

Heintje dihukum 12 tahun penjara, membayar denda Rp 800 juta subsider tujuh bulan kurungan serta membayar uang pengganti Rp 7,2 miliar subsider 4 tahun penjara.

Sedangkan Petro dihukum 6 tahun penjara, dan membayar denda Rp 500 juta subsider 3 bulan kurungan oleh Pengadilan Tinggi Ambon. (Cr-1)