PEROMBAKAN pejabat di lingkup Pemerintah Kota Ambon akan dilakukan oleh Bodewin Wattimena selaku Walikota Ambon, dalam waktu dekat. Perombakan itu dilakukan demi terwujudnya totalitas kerja birokrasi.

Gaya kepemimpinan Bodewin Wattimena yang merakyat dan menekankan aspek gerak cepat membutuhkan postur birokrasi yang andal dan suka melayani. Sayangnya, postur birokrasi saat ini tampak lemah karena sejumlah organisasi perangkat daerah ternyata tidak maksimal dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Hal ini terbukti dengan tidak mencapai target pendapatan asli daerah di tahun 2024, sehingga mempengaruhi keterlambatan TPP dan sebagainya.

Birokrasi yang adalah pegawai negeri sipil itu juga harus dihadapkan sanksi yang keras dan tanpa pandang bulu jika kinerjanya buruk. Dengan demikian tindakan mutasi hingga sanksi pemecatan atau pemutusan hubungan kerja sangat dimungkinkan bagi jajaran birokrasi. Betapa konyolnya jika negara terus menggaji tinggi kepada birokrasi yang pemalas dan kerja seenaknya.

Salah satu tantangan utama adalah budaya kerja birokrasi yang masih kental dengan pola pikir feodal dan resistensi terhadap perubahan. Banyak pejabat publik yang enggan keluar dari zona nyaman mereka, terutama jika perubahan tersebut berpotensi mengurangi “keistimewaan” atau peluang korupsi.

Korupsi tetap menjadi masalah besar. Berdasarkan laporan Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada pada skor 34, yang menunjukkan korupsi masih merajalela. Praktik pungutan liar, mark-up anggaran, hingga jual beli jabatan masih kerap ditemukan.

Baca Juga: Bawang Merah Bisa Picu Kenaikan Inflasi

Selain itu, masih ada kesenjangan dalam penerapan teknologi di daerah-daerah terpencil. Ketergantungan pada teknologi tanpa adanya infrastruktur yang memadai membuat reformasi birokrasi tidak merata. Hal ini menyebabkan sebagian masyarakat di daerah tidak merasakan dampak positif dari reformasi yang digadang-gadang.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, langkah konkret perlu diambil di berbagai level pemerintahan. Pertama, penguatan pengawasan internal dan eksternal harus menjadi prioritas.

Kedua, pendidikan dan pelatihan bagi ASN harus difokuskan pada perubahan pola pikir. Program pelatihan tidak hanya harus meningkatkan kompetensi teknis, tetapi juga membangun integritas, etika, dan komitmen untuk melayani masyarakat. ASN harus dipahami sebagai pelayan rakyat, bukan penguasa rakyat.

Ketiga, mempercepat digitalisasi layanan publik secara merata hingga ke daerah-daerah terpencil. Pemerintah harus meng­alokasikan anggaran untuk pembangunan infrastruktur teknologi di daerah tertinggal agar semua masyarakat dapat menikmati layanan yang setara.

Keempat, menciptakan insentif bagi ASN yang berprestasi dan ber­integritas. Dengan memberikan penghargaan yang layak, para pegawai akan lebih termotivasi untuk bekerja secara profesional dan bersih.

Kelima, membangun keterlibatan masyarakat dalam pengawasan birokrasi. Pelibatan masyarakat dalam sistem whistleblowing dapat menjadi langkah penting untuk mengungkap praktik-praktik korupsi di tingkat akar rumput. Dengan kemudahan melapor dan perlindungan terhadap pelapor, masyarakat akan lebih berani untuk melaporkan penyimpangan.

Reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan yang selesai dalam se­malam. Ini adalah proses berkelanjutan yang membutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, dukungan masyarakat, dan integritas para birokrat itu sendiri. Transparansi, efisiensi, dan bebas korupsi bukan hanya slogan, tetapi cita-cita yang harus diwujudkan demi kesejahteraan rakyat.

Jika Pemkot Ambon berhasil menciptakan birokrasi yang ideal, dampaknya akan sangat besar. Layanan publik yang lebih baik akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, memperkuat daya saing nasional, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, reformasi birokrasi harus terus menjadi prioritas yang tidak boleh diabaikan. Dengan kerja sama semua pihak, harapan akan birokrasi di tubuh Pem­kot Ambon yang transparan, efisien, dan bebas korupsi bukanlah angan-angan belaka, melainkan sebuah realitas yang dapat dicapai. (*)