AMBON, Siwalimanews – Jaksa Penuntut Umum Kejari Ambon menuntut eks bendahara Balai Latihan Kerja Ambon, Leuwaradja Hendrik Marthin Ferdinandus dengan pidana 7,6 tahun penjara.

Tuntutan JPU Endang Anakoda dan Novie Temmar itu disampaikan dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Ambon, Kamis (14/9).

Dalam sidang yang dipimpin majelis hakim yang diketuai Rahmat Selang, didampingi dua hakim anggota, JPU me­nyatakan terdakwa ter­bukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai­mana dibuah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana da­lam dakwaan subsidair.

Selain pidana badan, terdakwa juga dituntut JPU membayar denda sebesar Rp300.000.000 subsider 6 bulan kurungan serta membayar uang pengganti sebesar Rp2.030. 873.555,-

“Dengan ketentuan dalam waktu 1 bulan jika terdakwa tidak me­ngganti sesudah putusan penga­dilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan jikalau harta benda terdakwa tidak men­cukupi untuk menutupi uang pengganti dimaksud maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 tahun penjara,” Tandas JPU.

Baca Juga: Remunerasi Salahi Aturan, Jaksa Segera Usut

Menurut JPU, berdasarkan fakta hukum yang diperoleh dengan didukung oleh alat bukti berupa ke­terangan saksi-saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa, alat bukti surat dan barang bukti dari total anggaran sebesar Rp27,840, 050.000 dengan rincian enam pembelanjaan yang diduga fiktif, sehingga terjadi kerugian negara dimana pada kegiatan rutin BLK Ambon Tahun Anggaran 2021 mengakibatkan, adanya kerugian keuangan negara yang atas ke­rugian keuangan negara tersebut telah memperkaya terdakwa sen­diri atau orang lain sebesar Rp2. 030.873.555,00 sebagaimana La­poran hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas perkara dugaan tindak pidana korupsi anggaran rutin pada BLK Ambon Tahun Anggaran 2021 nomor PE.03.03/R/SP-1032/PW25/5/2023 tanggal 31 Mei 2023. Oleh­nya itu terdakwa harus memper­tanggungjawabkan perbuatannya.

Sebelumnya itu, JPU memper­tim­bangkan hal-hal yang membe­ratkan yakni tindakan terdakwa bertentangan dengan program pemerintah untuk pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Bahwa akibat tindakan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara sebe­sar Rp2.030.873.555,00

Sedangan hal-hal yang meri­ngankan yaitu, terdakwa berlaku sopan dalam persidangan, terdak­wa menyesali perbuatannya dan merasalah bersalah. Terdakwa belum pernah dihukum dalam suatu perkara pidana; Terdakwa me­miliki tanggungan keluarga yaitu memiliki istri dan anak-anak serta terdakwa masih ada kesem­patan untuk memperbaiki dirinya.

Diketahui, pada Tahun 2021 BLK Ambon menerima anggaran rutin dari Kementerian Ketenagakerjaan yang masuk dalam DIPA BLK Ambon sesuai revisi terakhir Nomor: 026.13.2.219228/2021 tanggal 28 Desember 2021 sebesar Rp. 27,840,050.000. Namun sesuai realisasi belanja pada BLK Ambon Tahun Anggaran 2021 adalah sebesar Rp27.593.662.761.

Dalam perjalanannya ditemukan fakta hukum bahwa perbuatan terdakwa membuat sendiri dan memalsukan bukti-bukti pengelua­ran, tidak melampirkan bukti pertanggungjawaban yang sah dan membuat bukti-bukti penge­luaran dengan menaikan harga pembelanjaan tidak sesuai dengan yang sebenarnya.

Terdakwa yang diangkat sebagai bendahara pengeluaran pada  BLK Ambon sesuai dengan Surat Ke­putusan Menteri Ketenaga­kerjaan Nomor 378 Tahun 2020 Tentang Pengangkatan Pejabat Perbenda­haraan Negara Selaku Bendahara Penerimaan, Bendahara Pengelu­aran dan Pelaksana Pengelolaan Barang Milik Negara DIPA Bidang Ketenagakerjaan pada Kantor Upt-Pusat Kementrian Ketenagaker­jaan Tahun 2021.

Dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa yakni, pembelanjaan fiktif sebesar Rp123.459.400 dimana terhadap pembelajaran fiktif ini, terdakwa membuat sendiri dan memalsu­kan bukti-bukti penge­luaran terhadap 40 transaksi belanja dengan total belanja pengeluaran sebesar Rp123. 459.400, untuk dimasukkan dalam pertanggung­jawaban belanja bahan yang dapat didapat dari transaksi belanja bahan pada beberapa penyedia.

Selain itu, tanpa bukti atau tidak ada dokumen pertanggungjawa­ban dimana terdapat 140 transaksi belanja sebesar Rp.564.581 855. 00 yang tidak dapat diperta­nggungjawabkan, atau tidak ada bukti-bukti pengeluarannya oleh terdakwa ada juga pertang­gungjawaban melebihi harga yang sebenarnya alias mark up.

Hal ini terbukti, di mana terdapat transaksi belanja bahan pada penyedia dengan total sebanyak 462 transaksi dengan nilai total belanja sebesar Rp8.032.762.800 dimana atas transaksi pembelan­jaan tersebut terdakwa selaku bendahara pengeluaran secara sengaja membuat sendiri atau memalsukan bukti-bukti pengelua­ran, sehingga belanjanya tidak se­suai dengan belanja yang sebe­narnya dan berdasarkan peme­riksaan bukti pertanggungjawab belanja yang ada dan keterangan diperoleh nilai pembayaran be­lanja yang sebenarnya dengan total belanja sebesar Rp6 689. 930.500.

Usai mendengarkan Tuntutan JPU, Endang Anakoda Cs, Hakim kemudian menutup sidang dan akan dilanjutkan pekan depan dengan agenda mendengarkan pembelaan/ pledoi terdakwa dan kuasa hukumnya. (S-26)