AMBON, Siwalimanews – Sidang kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang pada BNI 46 Cabang Ambon kembali dilanjutkan di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (12/5).

JPU menghadirkan mantan Kepala Cabang BNI KCU Ambon, Ferry Siahainenia sebagai saksi. Sidang dipimpin majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan, didampingi Berhard Panjaitan dan Jefry S Sinaga selaku hakim anggota.

Dalam keterangannya  Ferry mengakui, tahu adanya transaksi mencurigakan di sistem BNI. Transaksi itu dilakukan oleh BNI cabang pembantu Tual, Dobo, dan Masohi ke sejumlah ke rekening tertentu. Namun ia tidak mempertanyakan hal tersebut. Ketika hakim menanyakan alasannya, Ferry hanya diam.

Feryy juga mengakui, ia berwenang untuk memberikan otorisasi peningkatan level pencairan dana. Sedangkan, baik Faradiba maupun kepala KCP tidak memiliki otoritas untuk itu.

Ketika ditanyai hakim soal sistem pengamanan yang selama ini diterapkan oleh pihak perbankan, ia mengakui melakukan kontrol setiap hari. “Setiap kali uang kelebihan, atau melebihi diketahui secara langsung,” ujarnya.

Baca Juga: Tiga Terdakwa Illegal Logging Dituntut 2 Tahun Penjara

Saksi juga mengakui, mereka memiliki grup whatsapp. Dimana lewat grup ini KCP-KCP dapat meminta peningkatan level untuk pencairan dana hingga Rp.5 miliar sesuai otorisasi yang dimiliki saksi. Namun, grup itu tidak diakui sebagai mekanisme perbankan untuk menaikkan level. “Kenaikan itu tidak diakui hanya sebagai fungsi kontrol,” kata Ferry.

Jika merujuk pada SOP BNI, kata Ferry, maka untuk kepentingan permintaan peningkatan level pencairan dana haruslah melalui beberapa mekanisme. Seperti permintaan tersebut harusnya teregistrasi. Selain itu, untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening tertentu, harus melalui registrasi agar sistematis.

Dalam persidangan juga terungkap, saksi menandatangani 5 voucher milik Jonny De Quelju senilai Rp. 125 miliar yang harusnya ditandatangani KCP Mardika. Namun ditandatangani olehnya, ketika Faradiba Yusuf mendatanginya.

Persidangan tersebut digelar secara online melalui sarana video conference. Majelis hakim dan enam penasehat hukum para terdakwa bersidang di ruang sidang Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Ambon. Begitu juga Penuntut Umum dalam kasus ini.

Sedangkan, terdakwa Faradiba Yusuf dan  terdakwa Soraya Pelu alias Aya berada di Lapas Perempuan. Terdakwa lainnya, Marce Muskita alias Ace selaku pemimpin BNI Cabang Pembantu Masohi, terdakwa Krestiantus Rumahlewang alias Kres selaku pengganti sementara pemimpin Kantor Cabang Pembantu Tual, terdakwa Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku pemimpin Kantor Cabang Pembantu Kepulauan Aru, terdakwa Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku Pemimpin BNI Kantor Kas Mardika berada di Rutan Kelas II A Ambon.

Kejahatan Faradiba

Jaksa Penuntut Umum Ahmad Attamimi membeberkan peran Faradiba Cs dalam membobol uang nasabah di BNI Ambon.

Dalam dakwaannya Jaksa Penuntut Umum Ahmad Attamimi membeberkan peran Faradiba Yusuf. Pembobolan dana nasabah yang dilakukan Faradiba ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2012. Namun baru pada 9 September hingga 4 Oktober 2019 kejahatan yang dia lakukan terendus.

JPU menyebut, Faradiba menerapkan modus mencari nasabah berduit. Faradiba secara aktif telah menawarkan ke beberapa orang nasabah yang dianggap sebagai nasabah BNI prioritas. Ia menawarkan investasi dalam bentuk program cashback, yaitu penempatan dana pada produk tabungan dan deposito di BNI dengan menjanjikan pemberian imbal hasil dan bonus hingga mencapai 20% per bulan dari nominal penempatan dana.

Faradiba juga menawarkan investasi pada perdagangan hasil bumi (cengkeh) dengan persentase keuntungan tertentu yang ia janjikan. Program tersebut seolah-olah adalah produk resmi dari PT. BNI. Padahal BNI tidak pernah mengeluarkan program tersebut. Melainkan hanya program yang dibuat-buat untuk kepentingan pribadi Faradiba.

Namun karena Faradiba saat itu adalah salah satu pejabat di PT BNI, beberapa orang tertarik dan percaya dengannya. Terhitung sepanjang 2012 hingga 2015, sebanyak 37 orang menjadi nasabah Faradiba.

Pada 2012, Faradiba juga menjaring lima orang untuk melakukan investasi. Pada tahun tersebut, ia menggelapkan uang nasabah sebesar Rp. 7,310 miliar.

Kemudian pada 2013 hingga 2015, setidaknya 32 orang menginvestasikan uang kepada Faradiba berturut-turut sebesar Rp. 50,750 miliar, Rp 28,560 miliar, dan Rp. 28,650 miliar.

Selain itu, Faradiba juga meli-batkan tiga kepala cabang BNI. Ia melakukan setoran uang tanpa disertai dengan fisik (fiktif) pada PT. BNI KCP Tual,  PT BNI KCP Masohi, dan PT. BNI KCP Aru.

Dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, BNI KCP Tual menyetor uang senilai Rp. 19,8 miliar. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jonny De Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.

Kemudian pada 9 September 2019 hingga 4 Oktober 2019, dari BNI KCP Masohi mentransfer uang senilai Rp. 9,5 miliar  ke rekening terdakwa Soraya Pelu sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi pembayaran hasil bumi.

Transaksi juga terjadi di BNI KCP Aru sebanyak 19 kali pada pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 sebesar Rp. 29,65 miliar.

Uang itu dikirim dari M. Alief Fiqry sebanyak 5 kali, Abd Karim Gazali sebanyak 5 kali, Jonny De Quelju 3 kali, Soraya Pelu 3 kali, dan Aryani sebanyak 3 kali. Keterangan transaksi tersebut untuk pembayaran kapal, pembelian hasil laut, pembayaran ruko, pembayaran tanah, dan pembelian barang toko.

Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 58,950 miliar, sebagaimana tertuang dalam audit BPK tanggal 11 Februari 2020. Diketahui, Fara-diba menggunakan uang senilai Rp. 45, 326 miliar untuk memperkaya dirinya sendiri.  (Mg-2)