AMBON, Siwalimanews – Faradiba Yusuf terdakwa kasus korupsi dana nasabah BNI ternyata menawarkan program cashback  ke nasabah dengan bunga yang sangat tinggi.

Padahal BNI Ambon tidak pernah menawarkan bunga cash­back de­ngan nilai yang ditawarkan Faradiba ke nasabah.

Hal itu terungkap dalam sidang lan­jutan kasus tersebut yang digelar di Pengadilan Tipikor Ambon, Jumat (17/1). Sidang dengan agenda men­dengarkan keterangan terdakwa di­gelar secara virtual dipimpin majelis hakim yang diketuai Pasti Tarigan dan dua hakim anggota masing-masing Jefri S Sinaga dan Berhard Panjaitan.

Dalam keterangannya, Faradiba menjelaskan, program cashback yang ia tawarkan ke nasabah prio­ritas sama dengan program di bank. Hanya saja berbeda, lantaran bunga yang ditawarkan lebih tinggi dari program bank.

Maksud program yang ditawarkan sama dengan bank berupa penem­pa­tan dana pada produk tabungan, de­ngan menjanjikan pemberian im­bal hasil  dan bonus, hingga per bu­lan dari nominal penempatan dana.

Baca Juga: Kapolresta: Pengusutan Kasus SPPD Fiktif Tergantung BPK

Sementara bedanya, Faradiba dengan berani menawarkan cash­back dengan bonus lebih tinggi. “Pro­gram cashback versi saya sama saja dengan bank. Tapi bunganya jauh lebih tinggi dari bank,” ujar Faradiba.

Faradiba mengaku ia harus mela­kukan itu untuk mendapatkan nasa­bah. Alasannya, setiap kali mena­war­kan program cashback,  calon nasabah selalu mengomentari program di BNI. “Majelis hakim yang terhormat, banyak yang mengatakan bahwa program kami (BNI Red) tidak sama dengan bank lainnya. Ka­tanya, bunga rendah dan tidak per­nah beri hadiah,” ungkap Faradiba.

Karena alasan tersebut, Faradiba lalu menawarkan program cashback dengan bunga lebih tinggi kepada nasabah. Bunga yang seharusnya hanya lima persen dinaikkan menjadi lebih tinggi.

“Saya naikin bunganya. Saya biasa memakai uang pribadi. Kalau sudah banyak sekali, saya ambil dari salah satu dari nasabah yang ada,” beber Faradiba.

Dikatakan, program cashback dita­warkan secara aktif ke beberapa orang nasabah yang dianggap nasa­bah prioritas dengan menjanjikan pemberian imbal hasil dan bonus hingga mencapai 20 per bulannya dari nominal penempatan dana.

Menurutnya, semua nasabah yang tergabung dan tercover melalui program cashback itu tercatat di sistem ikon. Sayangnya Faradiba kerap menggunakan uang nasabah untuk menutupi pembayaran bunga. Alhasil saldo nasabah menjadi berkurang.

“Jadi, untuk uang nasabah itu, masuk ke sistem bank. Contohnya bunga yang seharusnya empat sam­pai lima persen, tapi karena permin­taan, jadi saya pakai bunga yang lebih besar. Lalu, saya pakai uang dari salah satu nasabah untuk menu­tupi,” jelasnya.

Perempuan 40 tahun itu mengaku perbuatannya sudah dilakoni  sejak 2012. Namun, terendus pada 9 September hingga 4 Oktober 2019. Di­akuinya, ada 60 nasabah yang ter­giur dengan penawaran cashback­nya.

Hal itu yang mendorong puluhan nasabah mau menempatkan  se­jumlah uang mereka di bank termsuk Johnny de Quelju alias Sion

Faradiba menuturkan, Siong adalah nasabah emerald sejak lama. Sion bahkan menempatkan dana dengan jumlah yang paling besar senilai Rp. 125 miliar.

“Dia memang nasabah emerald kami sudah lama. Dia menabung lebih dari Rp. 5 miliar.

Dia malah bisa dibilang lebih dari nasabah emerald,” kata Faradiba.

Jawaban Faradiba tersebut mem­bantah pernyataan auditor internal BNI yang dalam sidang sebelumnya memberikan keterangan kepada hakim kalau Siong bukanlah nasa­bah emerald.

Masih kata Faradiba, sejak 2012  terdapat 60 nasabah menempatkan dana mereka hingga saat ini di BNI Ambon. Namun kini tersisa 32 nasabah yang kemudian menjadi korban perbuatannya. “Saat ini tersisa 32 nasabah dan  uang mereka belum digantikan,” akuinya.

Mendengar penuturan Faradiba, jaksa lalu menanyakan soal perbe­daan uang nasabah di sistem dan uang yang diberikan ke Faradiba secara cash, dimana selaku nasabah prioritas mempercayakan Faradiba untuk memproses seluruh tabungan nasabah tersebut termasuk mem­proses buku tabungan.

Kepada hakim Faradiba menjelas­kan semua transaksi baik cash maupun transfer antar bank tercatat sama dalam sistem. Tapi ia  tidak tahu soal perbedaan huruf maupun font di buku tabungan nasabah.

Posisinya selaku wakil pimpinan bank bidang pemasaran, Faradiba memimpin enam kepala cabang. Diantaranya cabang Masohi, Wai­haong, Tual, Maluku Tenggara, Passo, dan Seram Bagian Barat.

Aktivitas Faradiba diawasi atau disupervisi rekannya Nolly Sahu­mena. Untuk memuluskan aksi bu­suknya, Faradiba melibatkan empat kepala cabang. Kepada majelis ha­kim Faradiba selalu memerintahkan kepala-kepala cabang itu untuk mentransfer sejumlah uang ke reke­ning tertentu.

Para kepala cabang yang dimak­sud­kan yakni Marce Muskita alias Ace selaku pemimpin BNI Cabang Pembantu Masohi, Krestiantus Rumahlewang alias Kres selaku pengganti sementara pemimpin Kantor Cabang Pembantu Tual, Joseph Resley Maitimu alias Ocep selaku pemimpin Kantor Cabang Pembantu Kepulauan Aru dan Andi Yahrizal Yahya alias Callu selaku Pemimpin BNI Kantor Kas Mardika.

Para kepala cabang ini seangkatan dengan Faradiba saat masuk di BNI. Faradiba bahkan mengiyakan ketika majelis hakim menanyakan apakah mereka bersahabat. “Ya, seangka­tan. Kami bersahabat,” ujarnya.

Meski demikian kata Faradiba, dirinya juga pernah meminta tolong ke kepala cabang lainnya, tapi mereka menolak membantu. “Saya minta tolong itu bukan ke mereka saja. Saya juga pernah minta tolong ke kepala cabang di SBB. Tapj dia tidak mau,” ungkapnya dengan raut wajah tanpa salah.

Menariknya tambah Faradiba, bantuan yang dimintakan ke empat kepala cabang itu tidak gratis. Sebab ada sejumlah uang diberikan seba­gai imbalan. Seperti diberikan Rp. 25 juta kepada Marce dan Rp 45 juta kepada Kres. Ada juga Rp.100 juta kepada Yosep Maitimu dan Rp.15 juta ke Andi Rizal.

Selain ke empat kepala cabang itu. Dia juga mengaku memberikan uang Rp. 900 juta ke Natalia Kilikily saat Siong melakukan deposit. Sedang­kan, kepada terdakwa Soraya Pellu yang adalah tempat Faradiba menem­patkan dana, diberi sesuka hatinya.

“Kalau ada saya berikan, kalau tidak saya tidak berikan. Palingan saya berikan Rp. 1 juta sampai Rp. 2 juta,” ungkapnya.

Anehnya, dalam keterangan ke­pada hakim Faradiba mengaku tidak memberikan sepeser pun kepada suaminya Dani Nirahua. Termasuk aset-aset yang disita polisi seperti usaha kos-kosan di Makassar dan punya sejumlah rumah dan tanah.

“DN saya tidak berikan apapun. Kosan di Makassar itu punya sau­dara saya. Sedangkan rumah punya adik ipar saya. Jadi tidak benar itu aset-aset tersebut punya saya,” bebernya.

Saat memberikan keterangan, Faradiba nampak di balik layar teleconference terlihat tenang. Hakim juga menilai dia sangat santai, se­olah tidak terjadi apa-apa. Padahal, banyak nasabah yang dirugikan.

Peran Anak Angkat Faradiba

Dari semua terdakwa, Soraya Pellu adalah orang yang paling dekat dengan Faradiba. Soraya dalam keterangannya mengaku menjadi kurir Faradiba. Maksudnya, ia beberapa kali mengantarkan atau mentransfer uang atas perintah Faradiba.

Keduanya bak kakak-adik. Semula, Soraya Pellu mengenal Faradiba lewat Dani Nirahua sejak tahun 2010. Artinya, mereka sudah sepuluh tahun, saling kenal. Saat itu, dia dan Dani adalah tetangga kos.

Majelis hakim lalu mempertanyakan apa hubungan Dani dan Faradiba. Soraya enggan memberitahukan bahwa keduanya berpacaran. Dia hanya mengatakan saat itu mereka sering bertemu di kos milik Dani.

Bahkan, pada malam hari sebelum penangkapan Dani Nirahua berada di rumah Faradiba. Mereka sempat berbincang. Dani mengatakan untuk menunda menyerahkan diri hingga hari Senin.

Soraya mengaku, baru mengetahui soal cashback yang diberikan oleh pihak bank saat berada suatu malam di rumah Faradiba. “Malam itu, saya diberitahu, ada kerugian bank disebabkan cashback. Lalu saya tanya, maksud cashback ini apa? Katanya, karena bunga ke nasabah lebih besar. Lalu Faradiba meminta saya bermalam di rumahnya,” ceritanya.

Soraya menuturkan ttidak tahu uang bank hilang. Wanita paruh baya ini hanya mengikuti perintah saja. Karena dirinya adalah karyawan Faradiba di rumah makan miliknya.

Dikatakan, beberapa kali mentransfer uang dan melakukan setoran serta penarikan tunai dalam jumlah besar. Soraya bahkan memiliki tiga rekening yang selalu digunakan.

“Katanya karena dia orang bank, makanya tidak bisa terima uang dari orang lain melalui rekeningnya. Dia butuh bank lain,” beber Soraya.

Dijelaskan, setiap kali penarikan langsung diserahkan ke Faradiba. Sebagian disuruh transfer ke nasabah. Uang yang diserahkan itu diberikan di Bank BNI Cabang Utama Ambon.

Soraya akui pernah membawa uang sebanyak lima kantong plastik senilai Rp 5 milyar ke pusat perbelanjaan MCM, dimana disitu terdapat gerai tas yang merupakan usaha Faradiba.

Soraya juga ikut membeberkan soal Manaf Tubaka, kekasih Faradiba yang adalah dosen IAIN itu. Manaf Tubaka pernah mendapat hadia mobil dan cincin berlian bernilai ratusan juta.

Kata Soraya, ia pernah mengantarkan tiket kepada Manaf. Soal mobil yang diterima Manaf, dia menjelaskan mengetahui hal itu lewat Manaf. “Kok jadinya  Pak Manaf bisa terlibat,” kata Soraya dengan wajah pura-pura kaget ke hakim.

Beberapa nama nasabah yang tercatat dalam transaksinya lalu dipertanyakan. Termasuk Jonny de Quelju. Namun, ia hanya mengatakan tidak mengenal semua nama tersebut. Ia hanya melakukan transfer uang, namun tidak pernah bertemu. Soraya juga mengaku tidak mengenal pimpinan cabang lainnya yang ikut menjadi tersangka.

Pengakuan Soraya Pelu itu dianggap tidak jujur dan sengaja menutup-nutupi. Hakim memperingatkan Soraya, dengan menyembunyikan kebenaran bisa memberatkan hukuman Soraya.

Pemeriksaan terhadap Faradiba cs itu berlangsung sejak pukul 10.00 hingga 01.00 Wit dini hari. Majelis hakim lalu menunda sidang Selasa (21/7) dengan agenda tuntutan jaksa. (Cr-1)