Fantasi IKN dan Agenda Urban Berkeadilan
‘THE chief function of the city is to convert power into form, energy into culture, dead matter into the living symbols of art, biological reproduction into social creativity’. Tujuan utama sebuah kota ialah mengubah kekuasaan menjadi bentuk, energi menjadi budaya, benda mati menjadi simbol seni yang terus hidup, reproduksi biologi menjadi kreativitas sosial.
Kalimat itu dicetuskan sejarawan Amerika Serikat Lewis Mumford ketika dia berbicara tentang makna kota dalam peradaban manusia. Selama ribuan tahun, kota telah menjadi pusat penciptaan manusia yang termanifestasi tidak hanya dalam bentuk bangunan, jalan, dan perumahan, tetapi juga dalam bentuk organisasi, pola interaksi, dan nilai-nilai yang menjadi fondasi budaya masyarakat.
Merujuk pada Mumford, berbicara tentang kota tidak bisa lepas dari dimensi ekonomi dan politik. Pada dasarnya, kota ialah resonansi dinamika politik ekonomi yang terus mengalami perubahan di masyarakat. Hasilnya ialah fenomena urbanisasi yang mulai muncul secara masif sejak revolusi industri di Eropa Barat yang kemudian terus berlanjut seiring dengan proses industrialisasi, khususnya di negara-negara Asia.
Dua alasan mengapa banyak penduduk yang tertarik untuk pindah ke kota. Pertama, kota menawarkan kesempatan hidup yang lebih baik. Lapangan pekerjaan, akses pendidikan, dan layanan publik tersedia secara lebih luas di daerah perkotaan. Kedua, kota menawarkan gaya hidup modern yang sangat didambakan masyarakat yang tinggal di perdesaan. Berbagai jenis teknologi dan barang-barang konsumsi yang mudah di dapat, menjadikan kota sebagai tempat tinggal yang jauh lebih menarik ketimbang perdesaan yang fasilitasnya sangat terbatas.
Hari ini, 55% populasi dunia tinggal di daerah perkotaan. Angka itu akan terus naik hingga menjadi 68% pada 2050. Populasi Indonesia mengalami kecenderungan yang sama. Pada 2020, ada sekitar 56,7% penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan. Menurut perkiraan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2035 angka itu akan tembus 66,6%. Ada dua implikasi tren urbanisasi di Indonesia. Pertama, daerah perkotaan, khususnya Jakarta, akan semakin padat dan sesak oleh warga yang bermigrasi dari berbagai penjuru daerah di Indonesia. Kedua, beban lingkungan yang sangat berat akan membuat kota semakin rentan terhadap berbagai bentuk krisis ekologis.
Baca Juga: Vitalitas Bahasa: Usaha Penyelamatan Kepunahan Bahasa DaerahDi sisi lain, urbanisasi memiliki dampak positif. Dengan semakin banyaknya orang tinggal di perkotaan, penggunaan sumber daya alam bisa menjadi lebih efisien selama dikelola secara kolektif dan adil. Hal itu akan berdampak pada kualitas hidup yang dinikmati warga perkotaan. Di sisi lain, perekonomian akan menjadi jauh lebih berkembang karena semakin banyak warga yang mendapatkan akses layanan publik sehingga mereka bisa menjadi lebih produktif. Kondisi itu akan mendorong pertumbuhan ekonomi secara lebih masif. Itu yang terjadi di Jepang, Singapura, Tiongkok, dan Korea Selatan.
Karena itu, pengembangan kota menjadi isu yang sangat krusial dalam mencari peta jalan pembangunan Indonesia ke depan.
IKN yang problematik
Kesadaran akan pentingnya pengembangan kota untuk masa depan Indonesia, bisa jadi memotivasi Presiden Joko Widodo untuk mengambil keputusan membangun ibu kota baru di Kalimantan Timur sebagai pengganti Jakarta. Dalam konteks ini, Indonesia sepertinya ingin mengikuti jejak Brasil yang telah memindahkan ibu kota negara tersebut dari Rio de Jeneiro ke Brasilia pada 1960.
Banyak kesamaan antara Brasilia dan IKN Nusantara, baik dari proses maupun alasan pemindahan ibu kota. Namun, ada satu perbedaan mencolok. Presiden Juscelino Kubitschek menginisiasi pembangunan Brasilia sebagai pemenuhan janji yang dia berikan dalam kampanye pemilihan presiden yang dia menangi pada 1956. Sementara itu, Presiden Jokowi tidak pernah menyebut rencana pemindahan ibu kota sebagai janji politik dia selama masa kampanye. Ide itu muncul tiba-tiba dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2019.
Lepas dari asal-usul gagasan pembangunan ibu kota baru yang begitu misterius, ada dua logical fallacy (cacat logika) yang harus dicatat dalam keputusan Jokowi tersebut. Pertama, terkait dengan argumen bahwa sudah saatnya memindahkan ibu kota dari Jakarta akibat berbagai permasalahan urban yang menumpuk di Jakarta, mulai kemacetan, banjir, kekumuhan, kepadatan penduduk, dan menurunnya permukaan tanah.
Benar bahwa Jakarta ialah kota dengan sejuta masalah urban. Namun, tidak ada satu pun teori urban yang mengatakan ketika sebuah kota mengalami masalah yang begitu besar, solusinya ialah meninggalkan kota tersebut.
Jika kita bedah lebih lanjut, solusi yang ditawarkan dalam pemindahan ibu kota sebenarnya tidak terkoneksi dengan struktur masalah urban di Jakarta. Seperti kita ketahui, Kota Jakarta memiliki dua fungsi sentral: pertama, sebagai pusat pemerintahan nasional. Kedua, sebagai pusat perekonomian. Sebagian besar masalah urban yang merebak di Jakarta disebabkan fungsi kota ini sebagai pusat perekonomian, bukan sebagai pusat pemerintahan. Artinya, bukan fungsi Jakarta sebagai ibu kota yang perlu dipindahkan, tetapi dominasi Jakarta sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang perlu dipecah dan disebar ke seluruh wilayah Indonesia.
Cacat logika kedua terkait dengan argumen bahwa pembangunan IKN di Kalimantan Timur ialah upaya untuk menciptakan pemerataan pertumbuhan ekonomi. Memang selama ini terjadi regional disparity (ketimpangan wilayah) antara Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya di Indonesia. Saat ini Pulau Jawa menyumbang 58% ke PDB, sementara sisanya disumbang seluruh wilayah di luar Pulau Jawa. Artinya, ketimpangan itu akan terus membebani Pulau Jawa, sementara daerah luar Jawa akan terus mengalami underdevelopment.
Sayangnya, pembangunan IKN tidak akan menyelesaikan masalah ketimpangan wilayah karena dua alasan. Pertama, tidak ada satu pun bukti empiris, khususnya dari negara-negara maju yang menunjukkan korelasi antara pemerataan pertumbuhan dan lokasi ibu kota. Kedua, kalaupun terjadi pertumbuhan di luar Pulau Jawa akibat pembangunan IKN, pertumbuhan tersebut akan terbatas pada wilayah urban IKN dan tidak akan merembes ke seluruh wilayah Indonesia.
Karena tidak adanya alasan yang masuk akal untuk membenarkan pembangunan IKN, para pendukung proyek IKN ini hanya bisa menggunakan argumen simbolis bahwa IKN ialah ‘simbol’ pembangunan di luar Jawa. Apa gunanya IKN sebagai simbol jika ibu kota ini dikelilingi lautan kemiskinan di berbagai wilayah Indonesia?
Yang lebih mengkhawatirkan ialah tingkat risiko yang tinggi dalam proyek urban skala besar seperti IKN. Belajar dari pengalaman negara-negara lain, khu-susnya yang memiliki kemiripan sosial-ekonomi dengan Indonesia, alih-alih terwujud sebagai kota ideal yang modern dan berwibawa, proyek IKN sangat mungkin akan menjelma menjadi bencana urban, khususnya ketika kita melihat potensi biaya pembangunan yang membengkak dua, tiga, bahkan empat kali lipat.
Proses perencanaan yang terburu-buru, pelaksanaan proyek yang tergesa-gesa, kurangnya studi kelayakan yang memadai, serta tidak adanya pengalaman Indonesia dalam membangun sebuah kota baru dari nol, ialah faktor-faktor yang menambah derajat ketidakpastian dan kerentanan proyek IKN. Dengan kapasitas fiskal pemerintah Indonesia yang sangat terbatas, sementara minat investor asing belum menunjukkan tanda-tanda menjanjikan, ialah sebuah risiko besar bagi Indonesia untuk terus memaksakan megaproyek IKN ini.
Karena itu, Pemilihan Presiden 2024 menjadi momen penting untuk kembali mengevaluasi raison d’etre pembangunan IKN dan memikirkan cara yang lebih tepat untuk mencapai tujuan utama berdirinya Republik Indonesia, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Konsep 40 kota
Kembali pada apa yang dikatakan Lewis Mumford di awal, kota ialah manifestasi kekuasaan yang mestinya mendorong transformasi sosial-ekonomi yang menghasilkan kreativitas peradaban yang lebih adil dan setara. Imajinasi urban seperti inilah yang dibutuhkan Indonesia untuk merespons berbagai permasalahan ketimpangan sosial ekonomi dan krisis lingkungan yang semakin mengancam.
Dalam perspektif ini, membangun sebuah kota baru di tengah hutan ialah suatu tindakan tak rasional dan harus dihindari. Yang mestinya dilakukan ialah membangun kembali kota-kota yang sudah ada dan telah menjadi tempat-tempat warga Indonesia tinggal dan bekerja. Itu yang disebut sebagai agenda urban redevelopment yang mengacu pada praktik pembangunan yang bersifat inklusif dan berkelanjutan.
Dalam agenda urban redevelopment atau pengembangan kota-kota yang sudah ada, penting untuk mencari titik-titik urban strategis yang memiliki potensi dan sumber daya dalam sistem produksi nasional. Kita tidak perlu bekerja ulang untuk hal ini karena kita bisa merujuk pada Peraturan Presiden Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Dalam dokumen itu ada sekitar 40 kota yang diidentifikasi sebagai pusat kegiatan nasional berdasarkan keterwakilan provinsi.
Mengapa empat puluh kota, bukan cuma satu kota?
Jawabnya simpel. Pertumbuhan ekonomi ialah proses kolektif yang terjadi dalam jejaring sosial-ekonomi, baik dalam skala mikro maupun dalam skala makro. Membangun satu kota yang dianggap sebagai instrumen pemerataan pertumbuhan ialah problematik karena didasarkan pada paradigma sentralistis bahkan despotik. Tidak ada pemerataan ekonomi yang terjadi hanya dengan satu titik pertumbuhan, melainkan sekumpulan titik pertumbuhan yang menyebar di seluruh wilayah negeri. Ini ialah basis logika pembangunan ulang 40 kota yang sudah ada.
Perlu dicatat bahwa agenda urban redevelopment 40 kota bukanlah pekerjaan mudah yang dapat diselesaikan dalam waktu lima tahun. Ini ialah program yang bersifat jangka panjang dan akan membutuhkan sumber biaya di luar dari kapasitas fiskal pemerintah. Karena itu, program itu akan dilakukan secara bertahap dan dengan skema pembiayaan yang variatif dengan melibatkan pemerintah, pihak swasta, dan pemangku kepentingan lainnya.
14 kota prioritas
Bagaimanapun pemerataan pertumbuhan ialah agenda mendesak yang harus segera dilakukan. Indonesia tidak bisa menunggu lebih lama untuk melihat tumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru, khususnya di luar Pulau Jawa yang akan memberi kontribusi signifikan terhadap produktivitas nasional. Kita tidak bisa lagi membiarkan wilayah luar Pulau Jawa hanya dijadikan sebagai ladang industri ekstraktif, tanpa memberi nilai tambah yang berarti dalam kehidupan sosial ekonomi warga setempat. Di sinilah urgency dari agenda pengembangan 14 kota yang berada di luar Jawa sebagai skenario prioritas untuk mempercepat pemerataan pertumbuhan secara distributif.
Empat belas kota itu ialah bagian dari daftar 40 kota dalam agenda urban redevelopment. Bedanya, 14 kota ini akan mengalami proses upgrading secara terpadu dan dalam skala waktu yang relatif lebih cepat. Empat belas kota itu tersebar dari Pulau Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Nusa Tenggara. Penentuan 14 kota ini akan dilakukan berdasarkan potensi sumber daya dan populasi.
Setidaknya, ada lima jenis infrastruktur perkotaan yang akan dibangun di 14 kota prioritas ini secara serentak. Pertama ialah transportasi publik dengan berbagai moda yang terintegrasi. Kedua ialah penyediaan serta akses air bersih dan air minum yang merupakan kebutuhan primer bagi setiap rumah tangga.
Ketiga ialah pembangunan perumahan rakyat (social housing) yang berbasis pada model vertical housing dengan lokasi di dalam kota. Keempat ialah ruang publik hijau dan terbuka, seperti taman, tempat bermain, sarana olahraga, dan aktivitas komunitas. Kelima ialah infrastruktur digital, yang memungkinkan warga kota setempat mengakses layanan internet secara murah dan bahkan gratis.
Empat belas kota ini memiliki APBD yang sangat kecil sehingga tidak mampu melakukan urban upgrading secara mandiri. Karena itu, subsidi penuh dari pemerintah pusat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan pengembangan 14 kota prioritas ini. Di sini pemerintah pusat memiliki kapasitas fiskal yang cukup karena biaya dibutuhkan setara dengan biaya yang dialokasikan dari APBN untuk pembangunan IKN. Artinya, jika proyek IKN dievaluasi ulang dan ditunda, pemimpin yang terpilih dalam Pilpres 2024 dapat mengalihkan bujet IKN untuk program 14 kota prioritas itu.
Pada akhirnya, kota ialah ekosistem sosial dengan relasi kuasa menentukan struktur ruang urban. Jika pihak yang diberi amanah untuk berkuasa di republik ini memiliki komitmen untuk mencapai keadilan sosial, akan tumbuh kota-kota yang merefleksikan visi keadilan tersebut dalam ruang-ruang urban seluruh Indonesia. Semoga visi ini terwujud. Amin. oleh: Sulfikar Amir Juru Bicara dan Dewan Pakar Timnas Amin. (*)
Tinggalkan Balasan