Dilematika Pembangunan Kesehatan dan Ekonomi
Pemerintah Indonesia sedang memrioritaskan pembangunan kesehatan dengan tujuan mencapai
kemapanan hidup sehat bagi seluruh masyarakat Indonesia, sekaligus mewujudkan derajat kesehatan optimal. Pembangunan kesehatan sedang menuju hasil mengesankan. Berbagai fasilitas kesehatan semakin canggih. Para pelayan kesehatan semakin dikuantitaskan. Laboratorium farmasi tidak jarang mengeluarkan penemuan obat-obatan yang memungkinkan harapan hidup pasien semakin meningkat.
Seiring dengan itu, sektor kesehatan dihadapkan pula pada berbagai tantangan sesuai tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan oleh masyarakat pedesaan masih rendah. Kesehatan lingkungan penduduk pada gilirannya telah mengubah pola penyakit yang ada, di samping kecenderungan perubahan kelompok umur dan perilaku masyarakat terhadap kesehatan.
Pertengahan tahun 2021 ini permintaan pelayanan kesehatan bertambah tinggi. Teknologi kesehatan pun semakin canggih guna menangani perubahan pola penyakit tertentu. Ini semua akan membawa dampak meningkatnya biaya kesehatan. Di Indonesia biaya kesehatan sudah cukup tinggi. Bila biaya kesehatan dikaitkan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan inflasi, maka tampak bahwa penduduk golongan miskin di pedesaan makin tidak dapat menikmati pelayanan kesehatan yang ada. Hal ini jelas menimbulkan kepincangan pelayanan antara penduduk miskin di pedesaan dan penduduk kaya di perkotaan, terlepas adanya kepemilikian KIS atau BPJS.
Masalah kesehatan sebenarnya berawal dari cara pandang masyarakat tentang sakit dan tentang fungsi kehadiran dokter. Masyarakat agraris dan primitif, misalnya, sakit atau jatuh sakit masih dilihat sebagai takdir, terganggu setan, atau sebagai kutukan Tuhan. Maka cara mengatasinya adalah meminta bantuan dukun, tokoh agama, atau orang-orang yang dianggap pandai untuk mengusir setan sehingga pasien bisa sembuh.
Pola berpikir mencari penyelesaian secara kuratif ini seakan melekat pada masyarakat agraris, walaupun sarana pelayanan modern telah mencapai mereka. Bagi mereka, kehadiran puskesmas yang sebenarnya sebagaian besar tugasnya bukan kuratif, tetap saja dimanfaatkan terutama untuk kepentingan kuratif. Mereka lebih senang melihat pelayan kesehatan selalu ada di poliklinik, puskesmas untuk mengobati mereka daripada berkeliling memberi penyuluhan dan bimbingan kesehatan ke desa-desa.
Baca Juga: Kontroversi Vaksin Berbayar di Era Hyper RealityPada masyarakat yang demikian, yang dikatakan program kesehatan hanyalah sebatas pelayanan medis (kuratif). Karena kesehatan adalah hak warga negara yang harus dijamin oleh pemerintah, maka pelayanan medis pun harus sepenuhnya dijamin oleh pemerintah dengan kualitas yang memadai. Sementara karena kemampuan pemerintah untuk menyediakannya tidak sebanding dengan meningkatnya tuntutat, maka terjadi dilema di mana kita tidak berani mengambil sikap tegas. Apakah pelayanan medis juga dianggap sebagai program kesehatan yang harus diperlukan sebagai “komoditas umum” (public commodity), dan dengan demikian harus dijamin dan diselenggarakan sepenuhnya oleh pemerintah? Ataukah ia diperlukan sebagai “komoditas pribadi” (Private commodity) yang mempunyai makna sosial sehingga harus dibayar oleh pemakai tetapi diatur pemerataannya oleh pemerintah.
Dipandang dari sudut ekonomi, dilema kesehatan juga dapat terjadi jika pakar ekonomi (baik pemerintah maupun swasta) melihat masalah program dan pelayanan kesehatan sebagai bagian dari program sosial. Program yang merupakan verliest post atau pembiayaan yang tidak memberi dampak balik dari sisi ekonomi. Karenanya, penyediaan dana untuk itu hanya diambilkan dari sisa keuntungan hasil usaha. Pembiayaan program kesehatan tidak dilihat sebagai bagian dari investasi, yang menyediakan dananya akan dilihat dari sudut penanaman modal yang positif (keuntungan), karena manusia yang disehatkannya akan mampu bekerja lebih produktif.
Pandangan yang melihat santunan pemeliharaan kesehatan sebagai bagian dari kenikmatan dapat dilihat dari sistem perpajakan. Sistem perpajakan yang ada melihat biaya yang dikeluarkan perusahan untuk santunan kesehatan sebagai bagian dari keuntungan yang digunakan untuk meningkatkan “kenikmatan” sehingga harus dikenai pajak.
Bukan sebagai bagian dari biaya pemeliharaan, yang akan mengurangi keuntungan. Padahal sisitem perpajakan yang demikian itu hanya akan mendorong perusahan menghindari tugas memelihara karyawannya, dengan akibat produktivitas mereka tidak terjaga, yang pada skala nasional akan menurunkan daya saing produk dalam negeri.
Masalah kesehatan dari aspek ekonomi juga menimbulkan eskalasi biaya pelayanan medis (kuratif) yang terjadi, antara lain, pertama, meningkatnya jumlah penduduk yang harus dilayani. Membengkaknya jumlah penduduk yang harus dilayani tidak hanya merupakan akibat pertumbuhan penduduk, tetapi juga karena meningkatnya jangka harapan hidup (sehingga makin banyak orang usia lanjut dengan berbagai penyakit kronisnya) dan meningkatnya jumlah pemakai jasa pelayanan medis akibat meningkatnya taraf pendidikan dan ekonomi masyarakat.
Kedua, meningkatnya penggunaan pelayanan medis. Meningkatnya penggunaan pelayanan medis per kapita disebabkan oleh meningkatnya kesadaran akan makana kesehatan dan perubahan pola penyakit yang makin banyak memerlukan pelayanan kuratif.
Perubahan sosial dari masyarakat agraris ke masyarakat pra-industri dan industri akan menyadarkan mereka tentang makna sehat dalam kaitannya dengan penghasilan dan makna hilangnya kesempatan kerja karena sakit. Ini akan mendorong mereka untuk lebih aktif mencari pertolongan ketika dirinya merasa sakit.
Perubahan sosial yang demikian juga mengubah pola penyakit, dari penyakit infeksi dan menular ke penyakit akibat kecelakaan dan pencemaran lingkungan, yang memerlukan bantuan pelayanan medis yang lebih canggih.
Ketiga, meningkatnya penggunaan teknologi baru yang cukup mahal. Teknologi baru memang selalu disertai dengan munculnya harapan baru. Dalam hal teknologi medis, ia menimbulkan harapan bahwa diagnosis akan lebih cepat dan tepat. Demikian pula terapi akan lebih terarah dan memberi pemulihan yang lebih cepat. Pada masyarakat modern, yang main sadar akan makan waktu dan produktivitas, kecepatan diagnosis dan terapi sangat penting artinya meskipun menggunakannya demi kecepatan dan ketepatan pengobatan yang akan diterimanya.
Oleh karena itu, dari aspek ekonomi, penggunaan teknologi baru tidak selalu berarti mahal. Karena tingginya biaya yang harus dikeluarkan akan dapat dikompensasikan dengan kecepatan pemulihan produktivitas. Ia baru akan jadi mahal jika teknologi digunakan secara tidak tepat dan efisien. Sayangnya, pada masyarakat yang baru saja meningkat dari masyarakat agraris tradisi onal ke masyarakat pra-industri dan modern, banyak di anatara mereka melihat teknologi baru sebagai “mainan” baru yang ditujukkan untuk meningkatkan gensi. Bak petani cengkeh, misalnya, yang baru menikmati limpahan uang hasil panen, lalu membeli lemari es meskipun tak ada listrik di desanya. Teknologi baru hanyalah bagian dari ritus sosial yang meningkatkan status sosial.
Masalah ekonomi dari pola pelayanan kesehatan juga akan terjadi pada sistem pelayanan yang berdasarkan pada fee for sevice dan dibayar dari kocek pemakai jasa pelayanan medis. Fee for service adalah sistem pembayaran yang didasarkan pada jumlah dan jenis pelayanan yang diterima, tanpa melihat apakah hal itu masih dalam rangkaian untuk mengobati satu jenis penyakit. Pola demikian akan membuka peluang jebakan ketidakefisienan dan ketidakefektifan, yang jika dihitung dalam skala nasional akan merupakan pemborosan yang cukup besar.
Pembayaran dari kocek pemakai jasa akan membuka peluang ketidakmerataan. Mereka yang mempunyai uang lebih banyak akan lebih mendapat perhatian, dan selanjutnya akan menentukan jenis dan jumlah pelayanan yang harus disediakan. Penyediaan pelayanan medis tidak lagi melihat apakah didasarkan pada kebutuhan nyata masyarakat atau tidak, tetapi lebih didasarkan pada apakah ada “pembeli yang berminat” atau tidak. Mereka yang kurang dana akan semakin dilupakan, sehingga cita-cita pemerataan akan semakin jauh dari harapan.
Tampaknya, pembangunan ekonomi dan kesehatan masih masih dalam dilematika. Banyak sekali dilema ekonomi dari masalah kesehatan. Tetapi sebenarnya tidak sebanyak yang dipaparkan di atas, karena semua itu berawal dari sikap kita melihat masalah kesehatan. Oleh karena itu, penyelesaiannya pun tidak harus dirincikan satu demi satu untuk setiap masalah. Cukup diawali dengan satu sikap, yakni kesediaan untuk meluruskan hal-hal yang masih keliru, memisahkan program pembinaan kesehatan dengan program pelayanan medis sebagai kesatuan yang berbeda, dan kesediaan politis untuk mengubah pola pembiayaannya.
Sesungguhnya, kesehatan melibatkan faktor kultural, sosial, dan ekonomi. Sehingga penyelesaian yang bersifat teknis saja tidaklah cukup mengena. Sementara penyelesaian teknis dan ekonomis saja masih kurang sempurna. (Bernardus T. Beding Dosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng)
Tinggalkan Balasan