BULA, Siwalimanews – Aktivis yang tergabung dalam From Pembela Peduli Demokrasi (FPPD) kembali mendemo Pjs Bu­pati SBT, Hadi Sulaiman dan Sekda SBT Syarif Makmur, Sabtu (7/11).

Aksi dilaku­kan sekitar pu­kul 14.00 WIT itu, lantaran Ha­di belum meng­abulkan tun­tu­tan mereka ya­ng disampai­kan dalam aksi demo di kantor Bupati SBT, Kamis (5/11).

“Segera kabulkan tuntutan kami, jika tidak maka kami akan kembali melakukan aksi demo yang ketiga kali sampai seterusnya,” tandas Ridwan Tatakora dalam orasinya.

Tatakora menilai, selaku Pjs Bupati SBT, Hadi Sulaiman sudah terjebak dalam permai­nan politik pi­hak-pihak ter­tentu. Karena sudah memba­talkan SK Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas tentang pengang­katan sejumlah carekater kepala desa.

“Jangan terjebak dengan situasi ini pak pjs, karena kami menilai kebijakan bapak pjs ada kegan­jalan saat ini,” ujarnya.

Baca Juga: Pengangguran di Maluku Naik 7,75 Persen

Sebelumnya Hadi menyam­paikan bahwa SK penetapan cara­teker Kepala Desa Salas, Bula Air, Waematakabo, Selohan, serta Kepala Desa Kampung Baru yang dikeluarkannya batal demi hukum. Tetapi, kata Tatakora, sampai saat ini Hadi belum mencabut SKnya itu.

Padahal Kabag Hukum Mohtar Rumadan sudah menjelaskan, kalau SK Bupati Mukti Keliobas ten­tang pengangkatan sejumlah carateker kepala desa itu sah.

Massa menuding Hadi dan Sekda bermain untuk mengaman­kan kepentingan politik calon tertentu. “Sekda dan Pjs segera angkat kaki dari kabupaten ini, ka­rena kalian sudah melakukan ke­jahatan,” teriak massa pendemo.

Tatakora menegaskan, SK yang diteken oleh Hadi Sulaiman dan juga surat pernyataan yang diteken oleh Sekda SBT soal pergantian caretaker lima kepala desa di tiga kecamatan melanggar aturan.

“Pjs bupati tidak bisa membatal­kan SK Bupati Abdul Mukti Kelio­bas, yang bisa membatalkan SK tersebut hanya Bupati Abdul Mukti Keliobas,” ujarnya.

“Memperhatikan penjelasan Kabag Hukum Mohtar Rumadan pada demo sebelumnya, disitu telah dijelaskan bahwa SK yang diteken oleh Pjs Bupati Hadi Su­laiman tidak sesuai dengan meka­nisme. Justru SK yang ditandata­ngani oleh Bupati Abdul Mukti Ke­liobas telah melalui prosedur dan telaah hukum mapun telaah dari Pemdes SBT,” ungkap Tatakora.

Karena itu, tidak semestinya Pjs Bupati Hadi Sulaiman membatal­kan SK yang sudah diteken oleh Bupati Abdul Mukti Keliobas.

Hadi Sulaiman yang keluar menemui pendemo beralasan, pembatalan itu sudah melalui persetujuan dari Pemprov Maluku. “Konsultasi dan meminta persetu­juan Mendagri juga sudah dila­kukan,” ujarnya singkat, sambil masuk ke ruang kerjanya.

Massa yang emosi mengancam akan kembali melalukan aksi demo di kantor bupati.

Sebelumnya massa FPPD melakukan aksi demo pada Kamis (5/11). Aksi dipimpin oleh Sahaka Rolas. Mereka mendatangi Kantor Bupati SBT sekitar pukul 11.00 WIT.

Dalam orasi mereka menuntut Hadi Sulaiman dan Syarif Makmur menjelaskan soal pencabutan SK Bupati Mukti Keliobas tentang pengangkatan lima carateker kepala desa.

Selain itu, puluhan massa meminta penjelasan soal rencana pencopotan Camat Bula Hadi Rumbalifar, Camat Bula Barat Ridwan Rumonin, dan Camat Teluk Waru Tutiek Juliniar Firdaus Menyulu.

“Kami miminta penjelasan konkrit mengenai pembatalan SK Bupati Abdul Mukti Keliobas,” tandas Ayub Rumbaru dalam orasinya.

Aksi nyaris ricuh, karena massa memaksa masuk ke kantor bupati, dan dihadang oleh personil Satpol PP dan kepolisian.

Mereka menyampaikan mosi tidak percaya kepada Pemerintah SBT yang saat dipimpin Pjs Hadi Sulaiman.

Setelah berorasi tak lama, Sekda SBT Syarif Makmur, Kabag Hukum Mohtar Rumadan dan Hadi Sulaiman keluar menemui pen­demo.

Kepada para pendemo, Syarif Makmur menegaskan, dirinya ber­tanggung jawab atas pengukuhan sejumlah karataker kepala desa dilakukan beberapa hari lalu.

Namun Kabag Hukum Mochtar Rumadan memberikan penjela­san berbeda. Ia justru mengata­kan, SK yang dikeluarkan oleh Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas pada tanggal 2 September Tahun 2020 sah demi hukum.

Pelantikan caretaker lima desa di tiga kecamatan, kata dia, sesuai mekanisme karema telah melalui telaah dinas pemdes, tatapem dan bagian hukum.

“Saya katakan bahwa SK yang dikeluarkan oleh Bupati SBT Abdul Mukti Keliobas pada tanggal 2 September tahun 2020 ini sah demi hukum,” tandasnya.

Sekda dan Pjs Bupati terkejut mendengar penjelasan Mochtar Rumadan. Pjs Bupati Hadi Sulaiman langsung mengabulkan tuntutan para pendemo.

SK pergantian carateker Kepala Desa Salas, Bula Air, Waema­ta­kabo, Selohan, serta Kepala Desa Kampung Baru yang diterbitkannya, dibatalkan. “SK yang sudah di­tandatangani akan dibatalkan,” ujar Hadi.

Tak hanya itu, rencana penco­potan Camat Bula Hadi Rumba­lifar, Camat Bula Barat Ridwan Ru­monin, dan Camat Teluk Waru Tutiek Juliniar Firdaus Menyulu akan dipertimbangkan lagi.

Para  pendemo dalam aksi juga melepaskan spanduk Hadi Sulai­man yang terpasang di pagar kantor bupati maupun di sekitar kantor bupati. Usai mendengar penjelasan Hadi Sulaiman, massa membubarkan diri.

Akrobat Politik

Akademisi Fisip Unpatti, Paulus Koritelu meminta Pjs Bupati SBT, Hadi Sulaiman untuk tidak mela­kukan akrobat politik yang menimbukan kisruh di masyarakat.

“Jadi bagi saya sebaiknya kalau penjabat dia tidak usah terlalu banyak menimbulkan akrobatik politik yang tidak menguntungkan untuk publik. Karena dia harusnya menjaga titik keseimbangan pada lewel kebijakan-kebijakan publik agar publik tidak menilai dia pro ini dia pro itu dan sebagainya, sangat berbahaya kalau seorang penjabat punya kebijakan seperti itu,” tandas Koritelu kepada Siwalima, Minggu (8/11).

Koritelu mengatakan, sebuah kebijakan yang dikeluarkan peme­rintahan harus mempertimbang­kan banyak hal.

Kalau sekiranya dalam kurun waktu tertentu, dianggap dinamika pemerintahan mengharuskan sang pejabat harus mengeluarkan SK tidak bisa disalahkan 100 persen. Tetapi persoalannya, kata dia, SK bupati sebelumnya dibatal­kan oleh pejabat bupati.

“Pertanyaan itu menjadi sangat penting untuk menghindari multiin­terpretasi terhadap kepentingan politik terhadap pembatasan SK tersebut. Dan memang memang publik menilai ini sebagai suatu kegaduhan,” ujar Koritelu.

Kata Koritelu, saat ini semua pihak sementara berkonsentrasi pada tanggal 9 Desember. Karena itu, disituasi tidak tepat untuk me­ngeluarkan kebijakan mencabut SK bupati tentang pengangkatan sejumlah caretaker kepala desa.

“Disatu sisi pejabat merasa dia punya hak untuk itu, tapi waktu ini saya kira tidak terlalu tepat untuk melakukan konstruksi kebijakan itu. Menurut saya sebenarnya ada sekda di situ, sekda mestinya menjadi keseimbangan, titik ke­seimbangan sebetulnya ada di sekda, supaya irama dan dinamika birokrasi tetap terkontrol dengan baik,” ujarnya.

Terkait ancaman pjs bupati  untuk menggantikan sejumlah camat, Koritelu mengingatkan agar ia tak melakukan akrobat politik.

“Irama birokrasi ada di tangan sekda, tapi kalau dia dapat masu­kan dari sekda apa boleh buat. Tapi saran saya, kalau pejabat jangan terlalu menimbulkan akrobatik politik tetapi menjaga titik kese­imbangan pada lewel kebijakan kebijakan publik,” tandasnya. (S-39)