AMBON, Siwalimanews – Alih-alih melakukan tugas pengawasan, DPRD Maluku malah membela Dinas PUPR yang jelas-jelas menyalahi aturan.

Sampai batas akhir pelaksa­naan proyek yang dibiayai de­ngan dana dari PT Sarana Multi Infrastruktur, air bersih Pulau Haruku yang menelan dana Rp12,4 miliar, tak kunjung selesai.

DPRD Maluku melalui Komisi III yang membidani infra­struktur, seakan tak peduli jika batas waktu pekerjaan seluruh proyek berakhir Rabu, 30 Juni 2021.

Komisi yang dipimpin Richard Rahakbauw itu malah ter­kesan membela Dinas PUPR Maluku selaku pemilik proyek. Alhasil sampai dengan kontrak selesai, pekerjaan tak juga tun­tas.

Wakil Ketua Komisi III DPRD Maluku, Hatta Hehanussa yang dikonfirmasi Rabu (30/6) menghindar mengomentari pro­yek air bersih Haruku yang mangkrak dan tak kunjung diawasi dewan itu.

Baca Juga: Dewan & Dinas Harus Proses Hukum Kontraktor

“Beta ada pengawasan, Beta seng mau komentar,” ungkap Hehanusa.

Mirisnya, Hehanusa meminta kepada komponen masyarakat yang mendesak untuk mengeluarkan rekomendasi proses hukum terhadap kontraktor agar melakukan audiens dengan Komisi III.

“Yang bilang DPRD harus ke­luarkan rekomendasi proses hukum itu, bilang dong audiens dengan katong (Komisi III- red),” ungkap Hehanussa.

Politisi Gerindra asal Kabupaten Seram Bagian Barat ini terkesan anggap remeh proyek-proyek yang dikerjakan dengan menggunakan dana pinjaman SMI dan tak kunjung selesai itu.

Sebelumnya Anggota Komisi III DPRD Maluku, M Fauzan Husni Alkatiri sebagaimana dilansir Siwa­li­ma­news, mengaku akan segera ke lokasi proyek air bersih di Pulau Haruku.

Ditemui di baileo rakyat, Karang Panjang, Selasa (22/6) lalu, Alkatiri mengaku pihaknya akan terus mengawasi seluruh kegiatan pemba­ngunan yang menggunakan angga­ran rakyat, bukan hanya kegiatan fisik namun juga kegiatan yang bersifat konstruksi.

“Kamis kita turun di Haruku untuk awasi semua proyek, termasuk air bersih,” tandasnya.

Namun, hinggankini Komisi III tak juga melakukan pengawasan terha­dap pengerjaan proyek air bersih yang berada di Pulau Haruku itu.

Dihubungi Siwalima, Minggu (27/6), M Hatta Hehanusa membenarkan kalau pihaknya batal turun ke Haruku, lantaran waktunya tidak memungkinkan.

“Rencananya itu dari Saparua kemarin komisi ke Haruku, tapi belum nanti abis bulan kita turun di pulau Haruku untuk pengawasan,” ujar Hehanusa.

DPRD Tertutup

Menanggapi sikap DPRD yang tak mau ambil pusing soal proyek-proyek SMI, akademisi Hukum Un­patti, George Leasa menilai sikap tersebut sebagai bentuk ketertu­tu­pan dari DPRD terhadap setiap kebutuhan masyarakat.

“Disitulah sulitnya ketidakterbu­kaan dari DPRD dalam melakukan pengawasan, mestinya terbuka arti­nya DPRD harus terbuka dengan rakyat.

Jika PUPR Maluku, DPRD Provinsi Maluku dan kontraktor tidak terbuka terkait dengan pengerjaan proyek pembangunan sarana dan prasarana air bersih di Pulau Haruku maka telah mengarah ke korupsi.

Dikatakan, jika pengerjaan proyek telah melewati batas waktu yang telah ditentukan dalam kontrak, maka sesungguhnya telah terjadi perbuatan melawan hukum sehingga harus diproses hukum.

“Berarti itu sudah lewat waktu dan telah melanggar ketentuan sehingga telah ada perbuatan melawan hukum terkait dengan perjanjian kerja,” ungkap Leasa.

Menurutnya, DPRD Provinsi Ma­luku bersikap tegas dengan mema­nggil kepala Dinas PUPR Maluku terkait dengan proyek yang tidak selesai atau terbengkalai.

Dari aspek hukum semestinya ketika kontrak yang telah diaden­dum akan berakhir Dinas PUPR Maluku harus memberikan peringa­tan terakhir kepada kontraktor.

“Aspek Hukumnya bahwa betul adendumnya hanya dua kali maka harus memberikan peringatan ter­akhir untuk kontraktor,” ungkap Leasa.

Apalagi waktu yang tersedia ber­dasarkan dengan jumlah anggaran yang telah dicairkan cukup besar tetapi pekerjaan tidak selesai se­hingga muncul kerugian negara.

Bahkan Leasa mempertanyakan alasan dari adendum yang telah di­lakukan terhadap pengerjaan pro­yek air bersih tersebut, artinya adendum diajukan karena ada keadaannya darurat atau  bencana alam.

“Ketakutannya jangan sampai hanya formalitasnya saja adendum tetapi tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah adendum karena ada main mata,” ujarnya.

Leasa menambahkan, jika ada main mata antara kontraktor dan PU, maka akibatnya proyek tersebut terbengkalai dan jika memang sudah tidak bisa sesuai dengan kontrak maka ada kerugian negara telah muncul disitu.

Ada Main Mata

Aktivis Malucass Democratization Watch, Kollin Leppuy mengata­kan jika total anggaran yang diper­untukkan bagi pengerjaan proyek tersebut 12,4 miliar dan sudah terpakai 9.3 miliar dan telah jatuh tempo, sedangkan proyeknya tidak selesai maka ada persoalan hukum terkait dengan pembangunan sarana dan prasarana air bersih di Pulau Haruku tersebut.

Dijelaskan, DPRD selaku lembaga yang memiliki fungsi pengawasan harus memberikan perhatian, artinya kalau sampai hari ini DPRD Provinsi Maluku tidak memberikan perhatian terhadap proyek air bersih di Haruku maka DPRD juga tidak memaksi­malkan fungsinya sebagai penga­was atas kerja Pemerintah Provinsi Maluku.

Padahal jika DPRD serius dalam melakukan pengawasan terhadap proyek tersebut, sudah seharusnya DPRD mengeluarkan rekomendasi proses hukum terhadap kontraktor yang tidak selesai mengerjakan pekerjaan.

Dengan sikap DPRD seperti ini maka patut diduga DPRD sedang main mata dengan Pemerintah Provinsi Maluku sebab jika tidak main mata harusnya DPRD harus panggil Dinas PU untuk  kemudian mempertanyakan alasan proyek tidak selesai.

“Kalau DPRD dan pemerintah daerah telah main mata dan tidak memberikan perhatian kepada proyek air bersih maka DPRD sebagai Lembaga pengawas telah kehilangan fungsi dan tidak dapat dipercayai oleh rakyat untuk me­naruh harapan besar agar meng­ontrol,” tegasnya.

Karena itu, Kollin mendorong agar kontraktor tersebut diproses hukum agar ada efek jerah.

Sementara itu Kadis PUPR Ma­luku, Muhamat Marasabessy yang dikonfirmasi melalui telepon seluler­nya tidak merespon panggilan telepon, maupun pesan WhatsApp yang dikirim padanya.

Tidak Beres

Proyek air bersih di Pulau Ha­ruku yang dibiayai APBD 2020 hasil pinja­man dari PT SMI, belum juga tuntas. Padahal, ambang batas waktu pe­ngerjaan proyek, sudah ditetapkan Dinas PUPR Maluku pada tanggal 30 Juni ini.

Pantauan Siwalima di lokasi pro­yek pengeboran air yang tersebar di beberapa Negeri Pelauw dan Negeri Kailolo, Sabtu (26/6), tidak menun­jukkan progres pengerjaan apapun setelah ditinggalkan kontraktor sejak bulan Mei lalu.

Keenam sumur itu tersebar masing-masing, satu sumur di sam­ping kantor Camat Pulau Haruku, satu sumur berada di seputaran puskesmas Pulau Haruku, satu sumur berada di Lokasi Madrasah Tsanawiyah Negeri Koilolo, satu sumur berada di dalam perkebunan miliki keluarga Muna Tuanani warga Kailolo, satu sumur di Dusun Namaa terletak di halaman rumah keluarga Din Angkotasan dan satu lainya berada di Dusun Naira, Negeri Pelauw.

Untuk sumur yang berada di Dusun Namaa dan Dusun Naira, sudah selesai dikerjakan dan siap digunakan. Hal itu dibuktikan dengan permukaan dua sumur itu ditutup rapat menggunakan plat besi. Namun begitu, tidak terpasang peralatan lain di sana, seperti mesin pompa, maupun pipa jaringan sebagaimana mestinya.

Untuk dua bak penampungan air bersih sendiri berada tepat pada bukit keramat Negeri Kailolo dan satu bak penampungan air lagi di Negeri Pelauw tepat di pinggir jalan menuju petuanan Negeri Pelauw, terlihat pengerjaannya baru dilan­jutkan. Kelanjutan pengerjaan dua bak penampungan air bersih di Pulau Haruku ini pun dibenarkan Sekretaris Kecamatan Pulau Haruku, Ali Latuconsina.

Dibenarkan Tukang

Halek, pekerja bak penampung air atau reservoir yang berada di bukit keramat Negeri Kailolo mengatakan, pengerjaan bak penampung tersebut baru dimulai kembali sejak dua minggu lalu. “Ini baru katong kerja lanjut ini su dua minggu ini,” ungkap Halek kepada Siwalima, Sabtu (25/6).

Dia membenarkan seluruh peker­jaan proyek sudah dihentikan sejak Mei lalu. Disamping itu, belum ada perintah dari kontraktor untuk melanjutkan pekerjaan.

“Sebenarnya kalau mau iko batul ini bak su abis, tapi katong kerja ini iko parenta dari kontraktor kalau dong suruh stop katong stop kalau lanjut katong lanjut,” ungkap Halek.

Bahkan dirinya tidak mengetahui kontraktor yang mengerjakan pro­yek tersebut sebab sampai dengan kelanjutan proyek air bersih ini pun kontraktor yang berada di Jawa Timur ini tak pernah terlihat batang hidungnya di lokasi proyek.

Perusahaan Pinjaman

Bermodalkan perusahaan pinja­man, proyek pembangunan sarana dan prasarana air bersih Pulau Ha­ruku, dikerjakan oleh makelar pro­yek yang bernama Fais.

Konon Fais ini adalah orang dekat pejabat yang mengurus dan mengawal seluruh proses di PT SMI.

Fais ini pula yang meminjam PT Kusuma Jaya Abadi Construction, yang beralamat di Jalan Sumber Wuni Indah A-30/34 Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur, untuk memenuhi persyaratan lelang.

Kontraktornya sendiri sudah diberi uang muka, sebelum kerja sebesar 20 persen. Tak cukup sampai di situ, mereka kemudian diberi tambahan dana sebesar 30 persen, sehingga total menjadi 50 persen. Betul-betul aneh. Belum bekerja apa-apa, kontraktor spesial ini sudah diberi modal Rp6,2 miliar.

Bahkan belum lama ini, sang kontraktor juga sudah mencairkan termin 75 persen, sebesar Rp. 3.120. 997.250.

Sumber Siwalima di Pemprov Maluku mengatakan, pencairan tersebut dilakukan sebelum lebaran. “Termin 75 persen baru dicairkan sebelum lebaran,” kata sumber yang minta namanya tidak ditulis itu.

Dengan demikian, hingga saat ini tercatat sudah Rp 9,3 miliar yang dige­lontorkan Pemprov untuk membiayai proyek mangkrak ini.

Padahal sesuai pantauan lapangan, fisik proyek yang sudah selesai dikerjakan, tidak lebih dari 25 persen.

Menurut sumber Siwalima, Fais sendiri yang turun langsung dan aktif berkomunikasi dengan para pejabat PU.

“Seluruh pengurusan dilakukan oleh Fais, mulai dari tender sampai dengan urusan pencairan,” ujar sumber yang meminta namanya tidak ditulis ini.

Masih kata sumber itu, dalam untuk memperlancar prosesnya, Fais selalu membawa-bawa nama pejabat Badan Pemeriksa Keuangan. “Dia selalu membawa nama pejabat BPK, termasuk dalam proses pencairan,” tambah sumber tadi.

Fais sendiri sangat tertutup dan tak menjawab panggilan telepon maupun pesan singkat yang dikirim padanya. Padahal awalnya Fais berkomunikasi dengan Siwalima, namun saat mengetahui hendak dikonfrontir soal air bersih di Pulau Haruku, Fais tak pernah menjawab lagi panggilan dan pesan singkat yang dikirim. (S-50)