Citraan dalam Puisi, Karya Theoresia Rhumte
Majalah Tempo baru saja mengumumkan hasil Seleksi Buku Sastra Terbaik Pilihan Tempo 2023. Maluku patut berbangga sebab Theoresia Rumthe, penyair asal Maluku dengan bukunya Kadang Rumah Tak Memberimu Pulang berhasil masuk ke lima besar buku puisi terbaik yang terbit pada tahun 2023.
Sampai saat ini, membaca puisi masih menjadi pilihan yang menyenangkan bagi sebagian orang. Puisi dengan segala makna eksplisit dan implisit yang dikandungnya merupakan pesan yang berisi begitu banyak kemungkinan. Oleh karena itu, menginterpretasi sebuah puisi bisa menjadi kegiatan yang menantang. Memahami puisi adalah proses menerka isi kepala seorang penulis, padahal isi kepala manusia adalah samudra. Ia begitu luas.
Di dalam sebuah puisi, terdapat diksi yang dapat memancing tanggapan indra para pembaca. Di dalam kepala pembaca, objek itu ada. Ia dapat dilihat, didengar, disentuh, ataupun dicium. Dalam ilmu stilistika, diksi ini disebut sebagai citraan atau imaji. Tugas seorang pembaca yang ingin menemukan makna dari puisi yang dibacanya adalah menemukan citraan itu.
Mari, kita lihat puisi yang berjudul “Yang Ingin Kukatakan Jika Aku Cinta Padamu” karya Theoresia Rumthe di bawah ini.
cintaku padamu seumpama kuku kaki.
Baca Juga: Fantasi IKN dan Agenda Urban Berkeadilanserajin apa pun engkau memotong,
ia tumbuh dengan kepala batu.
cintaku padamu menjalar seperti labu.
merenggut tanah kosong di hatimu,
di matahari paling terik sepanjang tahun.
cintaku padamu seramai bumbu di blender.
lengkuas, kunyit, bawang merah, bawang putih, cabai,
begitu hancur dan mewangi.
cintaku padamu gosong.
kue kelamaan dipanggang,
bubur dengan api terlalu besar.
cintaku padamu adalah pukul sembilan pagi.
waktunya bangun dan menjerang air,
mencuci piring kotor semalam.
cintaku padamu adalah lantai kamar mandi.
kiranya aku setia,
menyikatmu sampai mati.
Secara umum, sebagian besar citraan yang ada dalam puisi ini merepresentasikan hal atau aktivitas yang berkaitan dengan rumah. Mulai dari aktivitas menggunting kuku kaki, menghancurkan bumbu-bumbu menggunakan blender, memanggang kue, mencuci piring kotor semalam, dan menyikat lantai kamar mandi merupakan rutinitas-rutinitas sederhana yang dilakukan dalam rumah. Pada beberapa bait, rasa cinta si tokoh pada puisi ini digambarkan dengan hal-hal yang sederhana, tetapi menampilkan cinta yang kuat, cinta yang keras kepala, dan cinta yang akan tetap hidup, apa pun respons dari orang yang dicintainya.
Pada citraan pertama, kita temukan diksi kuku kaki. Melalui diksi ini, pembaca akan terpancing untuk memvisualisasikan kuku kaki. Ada yang membayangkan kaki yang lebar dengan kuku-kuku yang panjang. Ada juga yang membayangkan kaki yang bersih dengan kuku yang sudah dipotong dan dilapisi kuteks berwarna merah. citraan atau imaji seperti ini dikategorikan sebagai citraan visual. Lantas, ada apa dengan kuku kaki? Mengapa rasa cinta diibaratkan sebagai kuku kaki?
Mari, kita lihat dua larik di bawahnya. Larik-larik tersebut berbunyi “serajin apa pun engkau memotong, ia tumbuh dengan kepala batu.” Kata ia di sini memiliki hubungan kohesi dengan kuku kaki. Kuku kaki sama seperti kuku di tangan dan rambut, akan terus tumbuh dan memanjang. Berapa kali pun kuku itu dipotong, ia akan tumbuh lagi. Jika rasa cinta sang penulis seumpama kuku kaki, bait pertama ini dapat kita maknai bahwa cinta sang penulis akan terus ada dan akan terus tumbuh meskipun berulang kali dipotong.
Dalam bait kedua, larik pertama berbunyi “cintaku padamu menjalar seperti labu.” Objek yang paling konkret dalam larik ini adalah kata labu. Meskipun objeknya tidak ada di sekitar kita, tetapi diksi ini dapat menstimulasi reproduksi citraannya dalam imaji. Objek yang citraannya direproduksi ini berwarna jingga, tumbuh menjalar di atas tanah, dan dapat bertahan hidup di daerah dengan curah hujan yang sangat rendah. Larik “di matahari paling terik sepanjang tahun” dapat kita maknai sebagai ketidakhadiran hujan, sesuatu yang dibutuhkan oleh tanaman. Bila dikaitkan dengan rasa cinta kepada seseorang, “matahari paling terik sepanjang tahun” dapat kita maknai sebagai ketidakhadiran hal yang dibutuhkan sang pencinta ini. Seperti labu, seseorang ini bisa bertahan meski tanpa hujan dari sosok yang dicintainya.
Berbeda dari dua bait sebelumnya, pengimajian pada bait ketiga ini lebih kaya. Bumbu-bumbu seperti lengkuas, kunyit, bawang merah, bawang putih, dan cabai dapat divisualisasikan. Namun, pada larik selanjutnya ada begitu hancur dan mewangi yang dapat memicu citraan rabaan dan penciuman dengan tekstur dan aroma dari bumbu-bumbu yang sudah dihancurkan itu. Rasa cinta seseorang ini seperti bumbu-bumbu yang tetap mengeluarkan aroma yang wangi meski telah dihancurkan.
Ketiga bait ini memiliki sebuah kesamaan, yaitu penggambaran cinta yang teguh, keras kepala, dan pantang menyerah. Meskipun sering dipotong, tak mendapatkan hujan, ataupun dihancurkan, rasanya tetap tumbuh, tetap menjalar, dan tetap mengeluarkan aroma yang wangi.
“Cintaku padamu gosong.” Gosong sangat erat dengan kata hitam dan pahit. Pada bait keempat ini, kata gosong bersifat final. Tidak ada negasi yang muncul setelahnya. Tidak seperti kuku yang tumbuh setelah dipotong, labu yang tetap menjalar meski tak mendapatkan hujan, dan bumbu yang tetap mengeluarkan aroma yang wangi setelah dihancurkan. Cinta dibakar api yang terlalu besar hingga berubah menjadi hitam dan pahit. Si tokoh kalah oleh rasa pahit dan cintanya yang keras kepala menjadi luntur.
“Pukul sembilan pagi” pada bait kelima terkesan terlalu abstrak. Apa yang ingin disampaikan penulis dengan mengasosiasikan rasa cinta dengan pukul sembilan pagi? Sebelum mencari jawabannya, mari, kita visualisasikan pukul sembilan pagi. Pukul sembilan masih bisa dianggap pagi. Namun, pukul sembilan juga bisa dianggap terlalu siang untuk bangun dari tidur dan memulai aktivitas.
Bangun kesiangan dan melakukan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan pada malam sebelumnya menggambarkan rasa malas, setengah hati, dan kurang gairah. Seperti melakukan pekerjaan yang tidak disukai, tetapi tetap harus dikerjakan. Si tokoh sekadar menjalankan rutinitas harian tanpa gairah. Perasaan yang menggebu-gebu sebelumnya telah hilang dimakan rasa pahit dari cinta yang gosong.
Citraan yang terakhir adalah “lantai kamar mandi.” Gambaran umum yang muncul ketika menemukan diksi ini adalah lantai yang gampang kotor, licin, dan harus selalu dibersihkan. Citraan ini, sama seperti “mencuci piring kotor semalam,” menggambarkan sebuah rutinitas. Mau tidak mau, suka tidak suka, harus dikerjakan si tokoh dalam puisi.
Hal yang perlu digarisbawahi di sini adalah penggunaan diksi kiranya dalam “kiranya aku setia”. Diksi ini bermakna ‘semoga’ atau ‘mudah-mudahan’. Namun, bukan cuma harapan yang dinyatakan dalam penggunaan diksi ini, tetapi juga rasa enggan yang menempel. Penulis menggunakan frasa kiranya aku setia yang mengindikasikan ada opsi untuk tidak setia, untuk berpaling, atau untuk membiarkan lantai kamar mandi itu tetap kotor dalam pikiran si tokoh.
Dari proses interpretasi menggunakan aspek citraan ini, kita dapat melihat garis besar alur dari puisi berjudul “Yang Ingin Kukatakan Jika Aku Cinta Padamu” karya Theoresia Rumthe ini. Puisi ini menggambarkan perubahan dari seseorang yang awalnya mencintai secara teguh, keras kepala, dan pantang menyerah menjadi seseorang yang mencintai dengan setengah hati dan kurang gairah. Cintanya yang menjelma hitam dan pahit membuat tokoh dalam puisi ini menanggalkan rasanya yang dulu tetap tumbuh meski terus dipotong, tetap menjalar walaupun tidak mendapatkan hujan, dan tetap mengeluarkan aroma yang wangi meski dihancurkan. Apa penyebab cintanya menjelma hitam dan pahit? Hanya si penulis yang tahu. Pembaca hanya bisa menerka isi kepalanya yang samudra itu. Oleh: Muh. Ilyas, S.S.(Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku) (*)
Tinggalkan Balasan