NAMLEA, Siwalimanews – Balai Wilayah Sungai (B­WS) Maluku didemo, karena dinilai tidak becus meng­ga­rap proyek Bendungan Wae­apo yang didanai ABPN se­besar Rp.2,1 triliun.

Para pendemo juga mem­per­so­al­kan ganti rugi yang dipatok oleh BWS ha­nya be­rupa pemberian santu­nan Rp.3,5 miliar lebih yang sa­ngat merugikan masyarakat adat pemilik lahan.

Demo terhadap BWS Malu­ku itu dimotori Gerakan Ma­hasiswa Nasional (GM­NI) dan Ikatan Mahasiswa Mu­hammadiyah (IMM) berlang­sung di kawasan Simpang Lima, Namlea, Selasa (21/7) pukul 11.00 WIT.

Ketua IMM Kabupaten Bu­ru, Wahyu Priyanto Ah­mad dalam orasinya menegaskan, kalau organisasinya bersama GMNI akan menyurati resmi ke pihak-pihak bewajib dengan data data yang ada, termasuk BPK dan KPK.

BPK dan KPK diminta mengaudit dan mengawasi BWS Maluku dalam pelaksanaan proyek Bendungan Wae­apo, karena fakta lapangan peker­jaan inti proyek itu belum berjalan.

Baca Juga: Kwartir Pramuka Cabang Aru Gelar Sosialisasi Covid-19

“Di Lapangan belum nampak pe­kerjaan fisik bendungan sementara masa tenggang waktu sisa 2 tahun. Apakah bisa digaransikan diselesai­kan dalam 2 tahun mendatang,” tandas Wahyu.

Pernyataan keras juga datang dari mantan Ketua IMM Buru, Dahlan Fatah, dengan menuding BWS Malu­ku ini radikal, anti Pancasila, terkait dengan ganti rugi lahan milik masya­rakat adat yang terkena proyek Ben­dungan Waeapo seluas 400 ha lebih.

Ia menegaskan, ganti rugi lahan telah diatur dalam UU Nomor 02 Tahun 2012, dan penjabarannya tertuang dalam Perpres 71 Tahun 2012.

“Lalu kenapa BWS mengkebiri UU, ibarat anti Pancasila yang tidak mengedepankan hirarki hukum Ketatanegaraan,” ujar Dahlan Fatah.

Ia menuding, hal itu terjadi karena BWS lari dari nilai nominal yang besar hingga ingin membodohi masyarakat dengan menggunakan Perpres No.62 Tahun 2018 dan SK hutan lindung yang tidak jelas tanpa memperlihatkan SK nomor berapa dan tahun berapa, dan peta blok tahun berapa.  “Semen­tara di Buru ini areal hasil produksi minyak kayu putih bukan masuk pada hutan lindung,” beber Dahlan Fatah.

Untuk itu, Dahlan menyeruhkan kepada BWS Maluku agar meninjau kembali dan menggunakan UU No. 02 tahun 2012 dengan sandaran Perpres No.71 tahun 2012

“Kami juga menegaskan kepada Tim KJPP agar menggunakan regulasi pem­bayaran nasional, bukan sanda­ran lokal yang ditarget-targetkan yang tidak memiliki sandaran,” tandas Dahlan.

Ia meminta perhatian khusus dari BPK dan KPK agar  pihak BWS  di­audit, karena diduga anggaran pembe­basan lahan sudah dilahap habis.

“Anggaran sudah habis, sehingga pihak BWS mencari formula untuk pembayaran pembebasan lahan de­ngan menggunakan modus Perpes Nomor 62 Tahun 2018 hingga mem­bulatkan nominal yang kecil lalu dibebankan kepada pihak kontraktor yang membayarkan,” tudingnya.

Dahlan  mengkhawatirkan sikap otoritas BWS yang terkesan menakut-nakuti kontraktor mengakibatkan pekerjaan proyek fiktif dan berdampak terhadap kualitas pembangunan bendungan Waeapo.

Sedangkan Taufik Fanolong,  Sek­re­taris Cabang DPC  GMNI meng­ungkapkan, ada dugaaan kongkali­kong dalam proyek ben­-dungan bernilai Rp.2,1 triliun ini.

“Kami akan terus melakukan ge­rakan ini sampai BWS merealisasikan apa yang menjadi hak masyarakat hukum adat,” tegas Taufik.

Ia mempersoalkan pemberian san­tunan tanpa ada ganti rugi lahan tanah milik masyarakat adat. Ini merupakan pembodohan publik secara terbuka.

“Kami sangat prihatin dengan masyarakat yang terkena dampak pembanguan ini, hanya itu lahan yang bisa menghidupkan keluarga mereka, lalu pihak pemerintah daerah Kabupaten Buru dalam hal ini bapak Bupati Buru pun tidak mampu mempertahankan UU Nomor 02 Tahun 2012 itu artinya tidak pro terhadap rakyat, hingga membuat kami makin curiga,” tandas Taufik.

Dalam demo ini, GMNI dan IMM terus mendesak agar BWS Provinsi Maluku harus segera merealisasikan ganti rugi lahan masyarakat yang terdapak pembangunan Bendungan Waeapo.

Mereka juga mengingatkan BWS agar  merealisasikan 9 permintaan war­ga adat saat pertemuan awal antara pi­hak BWS Maluku, Pemda Buru dan masyarakat adat yang menjadi pon­dasi awal kesepakatan dengan masya­rakat adat pada Februari 2018 lalu.

“Kenapa sampai untuk masalah ganti rugi lahan Bendungan Waeapo saja sangat sulit, berbelit-belit dan ku­rang transparan, padahal proyek su­dah 3 tahun berjalan, ada apa? Sampe dimana dana ini? Apa sudah di BWS Provinsi Maluku? Atau Pemda Kabu­paten Buru? Ataukah uang Ganti rugi lahan sudah habis ditelan bumi? Jangan lagi kontraktor yang dikor­bankan untuk membayar ganti rugi lahan itu, itu sudah menyalahi aturan,” tandas Dahlan Fatah. (S-31)