Buah-buahan Unggul Indonesia Punah?
DI zaman penjajahan kolonialisme Belanda, Indonesia (dahulu Hindia Belanda) sangat terkenal akan buah-buahannya yang beraneka ragam jenisnya, seperti mangga, jambu, rambutan, sawo, nanas, pepaya, bahkan sampai dengan berbagai jenis durian. Semua itu dapat kita peroleh di Nusantara ini. Setelah berhasil memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, buah-buahan itu masih dapat kita peroleh secara berlimpah. Bahkan, di era pemerintahan berpindah ke Yogyakarta, buah-buahan tidak menjadi masalah. Setelah Belanda bertekuk lutut dan mengakui kedaulatan RI serta Ibu Kota balik lagi ke Jakarta, pada akhir 1949, kita masih dapat memperoleh buah-buahan secara mudah dan berlimpah.
Di era 1950-an pusat buah-buahan di Jakarta, yakni daerah Pasar Minggu, Dinas Hortikultura di sana secara berkala tiap tahunnya mengadakan festival/pesta buah-buahan. Baik Dinas Hortikultura maupun para petani buah-buahan, berlomba-lomba memamerkan hasil panen buah-buahan mereka yang terbaik. Di sana kita dapat memperoleh segala jenis buah yang kita inginkan. Adapun buah unggulan mereka ialah rambutan rapiah (aceh pelat), mangga harum manis, alpukat mentega, durian sitokong, bahkan salak, dan duku yang mereka datangkan dari kawasan Condet.
Biasanya pada festival itu, Presiden RI beserta keluarga selalu menyempatkan datang untuk memeriahkan suasana. Terutama, mendorong agar khususnya para petani buah-buahan bergiat, untuk meningkatkan hasil panen serta meninggikan mutu buah-buahannya. Kegiatan ini terus berlangsung hingga akhir 1950-an. Dinas Hortikultura saat itu mempunyai kebun induk pohon buah-buahan yang luasnya berhektare-hektare. Melimpahnya buah-buahan bukan hanya berada di kawasan Pasar Minggu Jakarta, melainkan juga di daerah Condet untuk salak dan duku. Kemudian, daerah Palembang untuk buah duku dan nanas, daerah Tawang Mangu Solo terkenal dengan jeruk keproknya yang manis. Kalimantan pusatnya berbagai varietas buah durian. Bahkan, di daerah Sarangan dekat Kota Madiun, kita dapati buah anggur yang mutunya cukup baik. Alhasil saat itu kita belum mengenal buah-buahan impor seperti sekarang ini.
Prinsip Berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) di bidang perbuahan masih dapat dilaksanakan. Memasuki era 1960-an hubungan diplomatik dengan berbagai negara di dunia sangat berkembang, membawa dampak mulai masuknya buah-buahan impor. Kita mulai mengenal melon Jepang, buah apel dan anggur Amerika, buah pir, dan sebagainya. Kondisi ini berpuncak pada era 1970-an. Terutama, ketika pihak investor asing mulai masuk. Mereka membuat perkebunan-perkebunan jambu kelutuk yang buahnya sebesar buah alpukat di daerah dekat Bekasi. Di daerah Binjai, Sumatra Utara, investor asing membuat perkebunan rambutan, yang membuat petani-petani rambutan di sana kalah bersaing. Di Pasar Minggu, festival/pesta buah-buhan otomatis terhenti. Ironisnya, Dinas Hortikultura yang ada tidak aktif lagi seperti era 1950-1960-an. Lahan pohon induk buah-buahan secara bertahap tetapi pasti berubah menjadi kompleks perumahan, bahkan realestat yang berhektare-hektare luasnya.
Departemen Pertanian, sesuai dengan Repelita lebih memfokuskan peningkatan volume dan mutu tanaman padi-padian, untuk mencapai swasembada pangan yang hasilnya ternyata sukses. Di satu pihak, kita sukses berswasembada pangan. Akan tetapi, di bidang buah-buahan, petani kita tidak dapat bersaing dengan investor-investor asing dan membanjirnya buah impor. Kita diserbu oleh terutama buah-buahan dari Bangkok, Thailand. Durian kita kalah bersaing dengan durian jenis montong dan channy dari Bangkok, Thailand. Padahal, durian mereka sebenarnya berasal dari durian sitokong Kalimantan yang bibitnya mereka ‘curi’ ke Thailand dan di sana mereka kawinkan dengan durian lokal mereka. Dari situ lahirlah durian-durian Bangkok tadi.
Baca Juga: Solusi Cegah Penyebaran CoronaPetani buah-buahan di Thailand begitu agresif dan antusias mencari varietas/jenis baru. Terutama sekali karena dorongan moril langsung dari Raja Bhumibol Adulyadej dan aktifnya katakanlah ‘Kementerian’ Pertanian di sana.
Terobosan Ali Sadikin Dalam pacekliknya dunia buah-buahan asli Indonesia, melalui proyek Ancol yang dikembangkan Ali Sadikin (Bang Ali), Pasar Seni Proyek Ancol diinstruksikan secara berkala mengadakan perlombaan tanaman buah-buahan bagi para petani-petani buah dan penggemar tanaman buah-buahan. Saya yang sejak remaja memang gemar pohon buah-buahan karena di lingkungan Istana Jakarta, Bogor Cipanas, Tampak Siring Bali terdapat berbagai jenis tanaman buah-buahan yang langka. Di Istana Jakarta, ada pohon buni (wuni) yang buahnya besar besar dan manis, kemudian pohon asam jawa yang bila sudah matang rasanya manis. Ada juga pohon kelengkeng tiongkok. Di Halaman Istana Bogor terdapat buah bisbol yang aromanya harum, juga buah ketapang yang bila kita makan isinya rasanya amat gurih. Jangan bicara pohon buah-buahan di Kebun Raya Bogor 1.001 jenisnya.
Istana Cipanas terdapat pohon buah yang oleh penduduk di sana dinamakan buah kamerot (kalamerot). Pohon buah tersebut sebenarnya ialah pohon buah kastanya yang bila dikukus isi buahnya dapat dimakan dan rasanya gurih sekali. Istana Tampak Siring Bali, ciri khasnya lain lagi. Di sana terdapat pohon buah wani (kemang) yang rasanya manis. Di samping pohon buah rambutan leci yang rasanya manis keasam-asaman. Dari pengalaman masa remaja, saya menjadi penggemar dan kolektor tanaman buah-buahan langka. Begitu pula istriku Henny yang kuliahnya di jurusan Pertanian Unpad Bandung. Kita mendirikan pondok buah-buahan Palasari pada 1980-an sampai saat ini. Melihat membanjirnya buah-buahan impor yang membuat buah-buhan lokal terdesak, Palasari turut aktif mengikuti perlombaan tanaman buah-buahan yang diadakan Pasar Seni Jaya Ancol dan beberapa kali menduduki juara pertama. Mencari pohon induk Buah-buahan jenis unggul yang saat ini mungkin punah, antara lain nangka misin (hasil perkawinan alami nangka dan cempedak).
Saat kita lestarikan pohon induknya tinggal 1 batang, yakni di kediaman almarhumah Ibu Fatmawati Soekarno. Lalu, matoa, baik jenis kelapa maupun papeda yang berasal dari Irian Jaya, jenis ini punah karena kurangnya pemahaman masyarakat di sana dalam memanen buahnya. Penduduk di sana memanen dengan cara menebang dari akar-akarnya pohon itu. Beberapa jenis buah-buahan lain yang punah, termasuk buah kedondong Pulau Karimun Jawa, yang buahnya sebesar buah alpukat dan hanya ada di Pulau Karimun Jawa. Melihat banyaknya buah-buahan asli Indonesia yang punah atau cenderung punah, sudah saatnya pemerintah memikirkan cara mengatasinya, agar buah-buahan Indonesia berdikari seperti era 1950-1960-an. Walaupun kita maklum, konsentrasi pemerintah saat ini ialah mengalahkan covid-19. Namun, tidak ada salahnya pemerintah mulai memobilisasi petani buah untuk berkiprah lebih giat dan terarah, agar dunia buah-buahan Indonesia bangkit lagi.
Saat ini masih mungkin mencari pohon-pohon induk dari berbagai buah-buahan yang sudah hampir punah. Kita dapat menyelidiki seluruh pondok buah-buahan dan para petani-petani yang masih aktif untuk mendapatkan bibit-bibit yang telah punah maupun cenderung punah. Hal ini tidak mustahil, seperti pastinya ayam jantan yang berkokok karena matahari akan terbit!( Guntur Soekarno, Pemerhati Masalah Sosial)
Tinggalkan Balasan