Beras Bansos dan Krisis Pangan Posman Sibuea
TERUNGKAPNYA penguburan beras bantuan sosial atau bansos berkarung-karung di Kota Depok memberi catatan buruk di bidang distribusi pangan.
Diduga beras yang berjumlah satu ton itu dikubur karena sudah mengalami penurunan mutu. Karena itu, tak layak lagi diberikan kepada masyarakat penerima bansos.
Tragedi ini mengingatkan kita pada kejadian serupa pada 2019, yakni kasus membusuknya stok beras Perum Bulog sebanyak 20 ribu ton. Beras yang berpotensi menjadi sampah makanan itu seharusnya dapat memberi makan ratusan ribu orang selama setahun. Pola konsumsi masyarakat Indonesia yang masih berbasis beras membuat pemerintah terus berupaya untuk memenuhinya melalui bantuan sosial. Sayangnya, sebagian beras bansos itu sudah menurun kualitasnya sebelum sampai kepada yang membutuhkan.
Urutan kedua
Masyarakat Indonesia disebut pembuang makanan terbanyak kedua setelah Arab Saudi. Sebutan ini semakin menguatkan posisi Indonesia sebagai salah satu negara paling banyak membuang makanan dengan temuan beras bansos berkarung- karung yang dikubur di Depok. Hal ini menjadi sinyal penting di saat Presiden Joko Widodo selalu mengingatkan bahwa kita saat ini mengalami krisis pangan global. Diperkirakan 800 miliar jiwa penduduk dunia, termasuk Indonesia, terancam kelaparan berat akibat krisis pangan saat ini.
Baca Juga: Pendampingan Pemda Dalam Penentuan Status dan Distribusi Satuan PendidikanPola distribusi pangan di Indonesia yang relatif buruk mendorong produksi sampah makanan (food waste) meningkat setiap tahun. Laporan Econo mist Intelligence Unit (EIU) 2017 yang mencatat Indonesia di peringkat kedua penghasil sampah makanan terbanyak di dunia menjadi bentuk keprihatinan bersama. Pasalnya, kita termasuk negara pengimpor lebih dari 60% kebutuhan bahan makanan. Namun, di sisi lain, prinsip berbagi menghargai setiap produk makanan dan tidak ingin makanan menjadi sampah belum menjadi gaya hidup masyarakat.
Konon, setiap orang di Indonesia diperkirakan membuang makanan sekitar 300 kg per tahun. Tidak sulit menemukan sisa-sisa makanan di sekitar kita. Jika rajin memeriksa tempat sampah makanan di rumah, restoran dan hotel akan ditemukan sisa makanan berupa sayur, buah, daging, ikan, dan minuman, yang sesungguhnya masih bisa dipilah untuk digunakan kembali.
Fakta yang menyedihkan dan tidak berkeadilan ini mengingatkan kita kepada sebagian warga miskin yang masih sulit memperoleh makanan. Bahkan, satu dari tiga balita di Indonesia mengalami stunting (tengkes) alias gagal tumbuh akibat defi sit gizi dan kelaparan. Di sisi lain, kita membuang makanan terlalu banyak di tengah orang kelaparan di dunia yang berjumlah sekitar 800 juta orang.
Berdasarkan data terkini, pesta pernikahan menyumbangkan sampah makanan terbesar. Dengan budaya jorjoran saat pesta karena takut atau panik jika kurang, sekaligus simbol status sosial, makanan kerap disediakan berlebihan. Bahkan, terkadang pihak keluarga penyelenggara pesta enggan mengurusinya dan nasib kelebihan makanan berakhir di tong sampah. Tak hanya pesta, sampah makanan juga disumbangkan oleh hotel, restoran, katering, dan ritel. Cara meng onsumsi orang— lapar mata saat kondangan, misalnya—turut memperburuk keadaan ini. Mengambil secara berlebih di piring, tetapi hanya dicicipi ala kadarnya menjadi model zaman now mengonsumsi makanan di pesta.
Disia-siakan
Pertanyaan yang kerap mengemuka ialah bagaimana memberi makan penduduk dunia dengan cara yang lebih baik seperti yang tertuang dalam tujuan SDGs 2030? Mengurangi angka kelaparan setengah dari yang sekarang menjadi tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan dengan tetap menjaga keseimbangan lingkungan. Menaikkan produksi pertanian merupakan salah satu solusi praktis dengan membuka kawasan pangan atau food estate. Namun, cara ini mendorong persaingan untuk pemanfaatan lahan, air, dan energi. Masalah ini terkait pola pikir yang harus menempatkan makanan sebagai SDA yang tidak boleh disia-siakan.
Cara lain yang lebih elegan ialah menempatkan pangan itu secara berkeadilan dengan mengurangi jumlah makanan yang terbuang. Sampah makanan baik itu bersumber dari buah dan sayur ataupun produk pangan olahan lainnya, seperti beras berimplikasi pada sumber daya pertanian yang disia-siakan. Lahan yang diperuntukkan untuk menanam, air bersih, pupuk, bibit dan benih, bahan bakar, dan pestisida terbuang secara percuma. Secara global, dengan ekspektasi pertambahan penduduk dunia menjadi 9 miliar pada 2050, produksi makanan yang tidak dikonsumsi ini, Stuart (2009) dalam bukunya Waste: Uncovering the Global Food Scandal menyebut, sungguh sebuah ketidakadilan, dan kita menanggung dosa atas kesalahan pemanfaatan SDA ini.
Bagaimana proses hilangnya hampir sepertiga dari seluruh produksi makanan dunia? Sekadar contoh di negara berkembang, sebagian besar lenyap saat pasca panen akibat minim fasilitas penyimpanan, pelayanan pengangkut an, gudang dan alat pembeku. Sebagai perbandingan, negara maju membuang lebih banyak makanan di rantai suplai saat pelaku usaha memesan produk pertanian. Selain itu, memajang lebih banyak dan relatif lebih lama membiarkan makanan terlalu banyak di lemari pendingin dan membuang sebelum masa kedaluwarsa.
Schanes dkk (2018) menyebutkan dalam artikelnya, bertajuk Food Waste Matters – A Systematic Review of Household Food Waste Practices and Their Policy Implications, bahwa mengurangi sampah makanan, selain bermanfaat mengawal keseimbangan lingkungan, dengan mereduksi limpahan GRK di atmosfer, juga dapat membantu menjaga swasembada pangan. Pangan yang seharusnya terbuang dapat di daur ulang untuk dimanfaatkan kembali.
Penangangan secara baik pada level pascapanen dapat mengurangi kerugian secara kuantitatif pada buah, sayuran, dan biji-bijian akibat proses pembusukan menjadi langkah prioritas jika dibandingkan kerugian secara kualitatif, seperti preferensi konsumen. Sementara di negara-negara maju, ketidakpuasan konsumen karena produk kurang bermutu menghasilkan jumlah sampah makanan lebih besar jika dibandingkan karena kehilangan pascapanen. Sekadar contoh, warga AS membuang 30 hingga 40% makanan karena tidak sesuai mutu yang diinginkan (Sibuea, 2020).
Fakta itu sesungguhnya menggugah kita untuk mau menjembatani antara yang berkelebihan makanan dan yang berkekurangan. Dengan mengutip data dari Waste4Change, hampir 13 juta ton makanan di RI yang terbuang setiap tahun itu bisa memberi makan sekitar 28 juta orang. Para pekerja sosial atau sukarelawan kini semakin banyak bertugas menghubungkan makanan berlebih dengan orang berkekurangan makan. Banyak pihak sebetulnya memiliki sumber daya, tetapi kebingungan menyalurkannya. Koneksi itu penting sebagai kekuatan untuk mengelola bahan-bahan pangan yang terbuang.
Di sisi lain, sampah organik skala kecil misalnya, masih bisa dikelola untuk kompos. Namun, itu hanyalah menyelesaikan masalah hilir. Di hulu sering belum tersentuh. Hingga saat ini, belum ada kebijakan yang dirancang secara membumi yang melihat sampah makanan ini sebagai potensi ekonomi. Ia bisa dikonversi menjadi sumber energi hijau yang ramah lingkungan.
Masalah makanan berlebih ialah masalah pola pikir. Zaman dulu, orangtua akan marah atau menegur anaknya dengan keras jika makanan tak dihabiskan. Ia lalu menjelaskan nilai luhur sebutir nasi. Sekarang, kearifan itu pudar seiring kesejahteraan keluarga yang meningkat. Penghargaan kepada makanan – sebutir nasi – menurun drastis sehingga pangan yang berkeadilan itu masih sulit dicapai.
Merevitalisasi nilai luhur sebutir nasi menjadi penting di tengah negeri kita yang masih belum sepenuhnya lepas dari tantangan kelaparan yang dialami penduduknya. Global Hunger Index 2021 menyebut Indonesia menempati urutan ke-73 dari 116 negara dalam hal kelaparan. jauh dari peringkat ideal. Fenomena beras bansos yang dibuang menjadi sampah itu biarlah ceritanya kita kubur untuk tidak terulang kembali. Oleh: Posman Sibuea Guru Besar Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas Medan, Pengurus Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI)
Tinggalkan Balasan