HINGGA awal November 2022 angka kematian akibat kasus gagal ginjal akut pada anak-anak yang dilaporkan di berbagai rumah sakit (RS) di Indonesia sebanyak 195 anak meninggal dunia. Kasus terbanyak terjadi pada anak berusia 1-5 tahun di 20 provinsi, DKI Jakarta dan Jawa Barat terbanyak masing-masing 40 kasus. Pihak RS melakukan penelitian terhadap anak-anak tersebut, pada apa yang dikonsumsi, baik berupa makanan, minuman, maupun obat yang diberikan orangtuanya.

Dari hasil pemeriksaan yang dilaporkan Wakil Menteri Kesehatan, ternyata dari 18 obat sirop yang dikonsumsi anak-anak tadi, 15 di antaranya mengandung etilena glikol (EG). Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) kemudian melakukan pengujian terhadap 35 kode produksi dari 26 obat sirop. Hasilnya menunjukkan kandungan kontaminasi EG yang melebihi batas aman pada lima produk obat demam serta obat batuk dan flu di Indonesia. Sebenarnya, kejadian gagal ginjal akibat kontaminasi EG atau dietilena glikol (DEG) dalam produk farmasi merupakan kejadian berulang yang telah dilaporkan dari berbagai negara sejak 1937.

Pada 1995, jurnal kedokteran Inggris BMJ pernah melaporkan kasus gagal ginjal akut pada anak yang terjadi di Bangladesh akibat mengonsumsi sirop parasetamol yang tercemar EG. Dalam proses reaksi kimia pembuatan propilena glikol, biasanya ada impurities (pengotoran) antara lain etilena glikol dan dietilena glikol. Namun, biasanya hal ini dapat dideteksi kemurniannya dengan suatu alat yang dikenal dengan nama GC MS. Dari hasil rekaman kromatogram dan kadarnya tersebut, dapat diketahui apakah propilena glikol itu layak untuk dikonsumsi manusia atau tidak. Etilena glikol merupakan bahan baku pembuatan plastik yang juga digunakan dalam sistem pendingin seperti AC. DEG merupakan gabungan dari dua molekul EG yang terikat kuat secara kimia membentuk senyawa baru.

DEG biasanya diperoleh sebagai hasil sampingan reaksi kimia atau hidrolisis bahan obat etilena oksida, senyawa yang banyak digunakan dalam berbagai industri. EG dan DEG merupakan senyawa yang berbahaya jika masuk ke tubuh. Pada dosis 1.500 miligram per kilogram berat badan, EG dapat menyebabkan kematian. EG yang ditelan dan masuk ke tubuh mengalami proses metabolisme di hati oleh beberapa enzim. Proses itu akan menghasilkan asam glikolat yang mengakibatkan penumpukan asam di dalam tubuh dan asam oksalat. Asam oksalat itulah yang dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal. Pada keracunan berat, EG dapat menyebabkan gagal ginjal akut sehingga terjadi penumpukan senyawa kimia beracun dan ketidakseimbangan kimiawi di dalam darah. Sementara itu, DEG yang masuk ke tubuh akan diolah di hati menjadi senyawa 2-hydroxyethoxyacetic acid (HEAA) yang bersifat asam serta dapat merusak ginjal dan saraf.   Tidak ketat Sebagai obat penurun demam, parasetamol merupakan zat aktif yang tidak larut dalam air. Biasanya, dalam memformulanya, pabrik farmasi memberikan zat tambahan atau eksipien agar mudah larut. Biasanya, digunakan zat tambahan untuk meningkatkan kelarutan parasetamol tadi, yaitu propilena glikol atau gliserol. Bahan tambahan yang boleh digunakan dalam produk obat harus memiliki pharmaceutical grade.

Bahan tersebut terjamin kemurniannya, tidak bersifat memengaruhi bahan lain dan tidak beracun. Penjaminan keamanan dan mutu obat sudah diatur standar cara pembuatan obat yang baik (CPOB) atau secara internasional dikenal dengan good manufacturing practice. Sayangnya, untuk zat tambahan itu, Badan POM tidak mensyaratkan secara ketat seperti pemeriksaan untuk bahan baku zat aktif. Artinya, pabrik farmasi hanya memegang laporan berdasarkan dokumen yang diberikan pemasok zat tambahan tadi. Belakangan, dari penelusuran pihak Polri dan Badan POM, ternyata diketahui salah satu pemasok bahan kimia propilena glikol itu mengoplosnya dengan etilena glikol. Artinya, itu merupakan suatu tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Itu karena etilena glikol bukan bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi di pabrik farmasi. Adanya unsur bisnis dan ingin meraup keuntungan yang lebih besar membuat pemasok melakukan tindakan yang tidak terpuji, yaitu mengoplos propilena glikol dengan etilena glikol.

Baca Juga: Membangun Komunikasi Damai

Dengan kejadian itu, sebaiknya Badan POM perlu segera membuat aturan bahwa pemasok bahan kimia untuk farmasi harus diawasi orang yang memiliki lisensi sarjana kesehatan seperti apoteker. Selain itu, kita perlu waspada terhadap bahaya BPA atau bisphenol A; bahan kimia yang dipakai dalam membuat botol plastik yang tujuannya membuat botol tidak mudah rusak saat terjatuh dan membuat tampilan botol lebih jernih. Namun, saat terkena panas atau sengaja dipanaskan, bahan kimia BPA itu akan memuai dan berisiko terhadap kesehatan tubuh manusia. Menurut American Academy of Pediatrics (AAP), BPA yang digunakan pada wadah plastik polycarbonate dan pelapis kaleng aluminium dapat menimbulkan gangguan obesitas, attention deficit, atau hyperactivity disorder.

Penelitian juga menunjukkan BPA dapat mengganggu hormon yang dapat menimbulkan beberapa risiko Kesehatan, termasuk gangguan perilaku, masalah kesehatan reproduksi, dan diabetes. Apalagi, risiko itu dianggap lebih tinggi bagi bayi dan anak-anak karena tubuhnya yang kecil dan berpotensi untuk menyerap lebih tinggi. Sejak 2012 Food and Drug Administration (FDA) telah melarang penggunaan BPA pada produk botol bayi dan cangkir sippy. Sekali lagi, ini merupakan tanggung jawab otoritas Badan POM yang perlu mengawasi persyaratan BPA dalam kemasan plastik untuk bahan makanan, minuman, ataupun obat.Oleh: Mahdi Jufri Dosen Fakultas Farmasi Universitas Indonesia