Bahasa Daerah Perlahan Punah,Tanggung jawab Siapa?
Indonesia merupakan salah satu negara dengan keragaman bahasa yang sangat banyak di dunia. Terhitung sampai tahun 2019, dari data yang telah dikeluarkan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia memiliki 718 bahasa daerah. Semakin banyak jumlah bahasa daerah, semakin beragam pula ancaman kepunahannya. Dewasa ini, bahasa daerah sedang berjibaku dan berusaha untuk mempertahankan eksistensinya di antara para penutur. Hal ini dapat dilihat dari kondisi bahasa daerah yang banyak terpapar oleh bahasa asing yang mulai menggerogoti keberadaannya baik melalui media sosial, budaya, maupun masyarakat. Selain itu, jumlah bahasa daerah juga terus berkurang karena penutur jati bahasa daerah yang tidak lagi menggunakan dan mewariskannya ke generasi muda. Punahnya suatu bahasa daerah akan memengaruhi eksistensi kebudayaan yang ada di dalamnya.
Kepunahan bahasa daerah berhadapan langsung dengan faktor-faktor lain, seperti perkawinan antarsuku, urbanisasi, arus globalisasi, perkembangan industri 5.0, pengaruh bahasa dominan yang dituturkan di wilayah tersebut, kondisi masyarakat yang mampu menguasai beberapa bahasa (bilingual atau multilingual), dan kurangnya intensitas komunikasi berbahasa daerah dalam berbagai ranah. Ancaman kepunahan bahasa daerah tidak hanya terjadi pada bahasa daerah yang penuturnya sedikit (minoritas), tetapi juga terjadi pada bahasa daerah yang penuturnya banyak (mayoritas). Hal ini terjadi karena penutur bahasa tersebut dalam suatu waktu berhenti untuk mentransmisikan bahasanya ke generasi selanjutnya.
Transmisi bahasa merupakan pewarisan bahasa ibu dari satu generasi ke generasi berikutnya, dari generasi tua ke generasi yang lebih muda (Multamia 2019:150). Transmisi antargenerasi memiliki peranan penting dalam kebertahanan dan keberlangsungan hidup suatu bahasa. Berdasarkan faktor transmisi bahasa, Krauss (2007) menyatakan tingkat keterancaman bahasa berdasarkan faktor transmisi bahasa yang dibagi menjadi tiga kategori, yakni safe ‘aman’, endangered ‘terancam punah’, dan extinct ‘punah’. Kategori safe ditunjukkan dengan indikator penggunaan bahasa yang tidak hanya dipelajari sebagai bahasa pertama oleh anak-anak, akan tetapi juga diprediksikan masih dipelajari di masa yang akan datang, sedangkan extinct ditunjukkan dengan bahasa yang tidak lagi dituturkan dan tidak memiliki dokumentasi di dalamnya. Antara safe dengan extinct terdapat kategori endangered yang mencakup definitely endangered dan severely endangered.
Menurut kajian vitalitas yang telah dipublikasikan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, sebagian bahasa daerah khususnya Provinsi Maluku termasuk ke dalam ranah definitely endangered dan severely endangered. Bahasa daerah yang masuk ke dalam ranah definitely endangered adalah bahasa yang tidak lagi dipelajari sebagai bahasa ibu dan tidak ditransmisikan ke generasi muda. Pada tahap ini, ketika generasi tua berbicara ke generasi muda menggunakan bahasa daerah, generasi muda hanya memahami secara pasif dan parsial, sehingga mereka merespons bahasa daerah tersebut menggunakan bahasa yang dikuasainya, sedangkan severely endangered adalah bahasa yang hanya dituturkan oleh generasi kakek, nenek dan lebih tua (Krauss, 2007:131–132).
Berdasarkan faktor transmisi bahasa tersebut, kepunahan bahasa daerah dapat dicegah dengan terlibatnya partisipasi masyarakat secara umum dari berbagai generasi. Hal ini disertai pula dengan peran pemerintah dalam merancang, membuat, dan menetapkan regulasi untuk pelestarian bahasa daerah. Oleh karena itu, pemerintah melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, meluncurkan program merdeka belajar episode tujuh belas dalam rangka merawat dan melestarikan bahasa daerah yang terbagi dalam beberapa tahapan, yakni pemetaan bahasa, pengkajian vitalitas bahasa, konservasi bahasa, revitalisasi bahasa, dan registrasi bahasa yang dilakukan secara daring. Untuk saat ini, upaya pelestarian bahasa daerah tersebut sudah sampai pada tahapan revitalisasi bahasa yang dilaksanakan pada 12 provinsi di Indonesia. Provinsi Maluku adalah salah satu dari ke-12 provinsi yang menjadi pelaksana untuk merevitalisasi bahasa daerah.
Beberapa penutur jati di Maluku menuturkan sebagian bahasa daerah pada saat upacara-upacara adat dan penggunaannya pun masih terkungkung dalam adat istiadat, sehingga sebagian bahasa daerah tersebut tidak dapat digunakan dalam percakapan sehari-hari. Kondisi tersebut terjadi karena sebagian unsur yang terdapat di dalam bahasa daerah dianggap sakral. Hal itu menyebabkan bahasa daerah tidak ditransmisikan atau diwariskan ke generasi muda. Pada akhirnya, jika hal tersebut terus berulang bahasa daerah akan mengalami kepunahan. Untuk menanganinya, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa melalui Kantor Bahasa Provinsi Maluku melakukan kegiatan revitalisasi bahasa daerah di tiga kabupaten, yakni Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, dan Kabupaten Buru. Dalam pelaksanaannya, revitalisasi bahasa daerah melibatkan partisipasi masyarakat, akademisi, komunitas, dan pemerintah. Kegiatan revitalisasi tersebut dikemas dalam bentuk festival enam mata lomba yang diikuti oleh siswa dari jenjang sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Melalui kegiatan tersebut, semua unsur elemen masyarakat yang terdiri atas generasi muda, akademisi, dan komunitas saling bersinergi dan berkolaborasi. Diharapkan dengan terlibatnya seluruh elemen masyarakat dan adanya regulasi pemerintah dapat menjadi langkah awal untuk melestarikan bahasa daerah di Provinsi Maluku sehingga bahasa daerah tersebut mempunyai ruang bagi penutur untuk dapat mempertahankan esksistensi bahasanya.Oleh : S Fadhillah Pandu Pradana, S.S.(Staf Teknis Kantor Bahasa Provinsi Maluku)
Tinggalkan Balasan