Bagaimana Film Membentuk Kehidupan Kita?
SAAT ini film menempati porsi yang signifikan dari produk media yang dikonsumsi masyarakat. Terkadang kita suka bertanya-tanya apakah keseringan menonton film dapat memengaruhi kehidupan sehari-hari? Apakah perilaku kita ini ada hubungannya dengan film yang ditonton? Mungkinkah film yang ditonton itu berpengaruh ke emosi yang kita miliki? Seberapa banyak emosi, kognisi, dan perilaku kita dapat berubah di bawah pengaruh film?
The brain
Banyak faktor secara langsung memengaruhi keadaan psikologis seseorang dan perilakunya. Film atau tontonan yang biasa kita saksikan, meskipun secara tidak nyata memasuki kehidupan kita, penelitian mengenai neuroscience dan psikologi menjelaskan bahwa film atau tontonan tersebut dapat memberikan dampak selayaknya pengalaman di kehidupan nyata.
Pada satu penelitian developmental cognitive neuroscience, menjelaskan bahwa bagian otak depan manusia memiliki peran besar akan hal itu. Bagian otak depan memiliki peran untuk mengevaluasi informasi yang diterima manusia. Bagian otak itu mencakup the cerebral cortex yang merupakan bagian terbesar dari otak, yang terlibat dalam kecerdasan, memori, dan kepribadian tingkat tinggi.
Impuls sensorik yang datang dari peripheral areas tubuh diterima dan diinterpretasikan di cerebral cortex. Cerebral cortex terdiri atas empat lobus; frontal lobe, parietal lobe, temporal lobe, dan occipital lobe. Setiap lobus memiliki area penyimpanan memori atau area asosiasinya sehingga dapat menyimpan memori dari film yang ditonton. Bagian otak lain yang memiliki peran dalam memori emosi dan fungsi emosional lainnya ialah limbic system.
Baca Juga: Siapakah Pahlawan dalam Keluarga ??Classical conditioning
Selain proses biologis, bagaimana film dapat memengaruhi perilaku manusia dapat dijelaskan dengan salah satu teori psikologi seperti classical conditioning. Film mengilustrasikan bagaimana emosi, pikiran, dan perilaku bekerja sama dengan proses biologi untuk membangkitkan persepsi dan keyakinan individu yang kemudian menghasilkan suatu perilaku.
Classical conditioning dapat digunakan untuk mempromosikan pembelajaran agresif yang membantu penonton mengasosiasikan perilaku atau perasaan tertentu. Classical conditioning melibatkan individu dalam mempelajari perilaku baru setelah mengembangkan asosiasi tertentu dengan adanya rangsangan atau stimulus.
Film dapat memengaruhi persepsi fenomena tertentu meskipun niat pembuatnya berbeda dengan konsekuensinya. Saat kita menonton film, kita mengalami emosi dan pelepasan hormon yang sama seolah-olah kita benar-benar mengalami peristiwa yang serupa, tetapi pada tingkat yang lebih rendah. Kemudian, bila terdapat peristiwa serupa muncul dalam kehidupan nyata, kita akan memberikan reaksi emosi yang serupa dengan tingkat yang lebih tinggi dan intens.
Hal itu karena classical conditioning memproses suatu rangsangan atau stimulus yang awalnya tidak atau memunculkan respons tertentu pada tingkat yang rendah. Diasosiasikan dengan rangsangan atau stimulus kedua yang dapat memunculkan suatu respons atau reaksi tertentu dengan tingkat yang lebih tinggi dan intens.
Observational learning
Selain karena adanya proses biologis dan psikologis terkait dengan classical conditioning, otak manusia tersistem untuk dapat melakukan observational learning, yaitu belajar dengan cara melihat, mendengar, dan observasi. Kita secara tidak sadar juga dapat belajar melalui observasi dari apa yang ditonton, yang akhirnya dari tontonan tersebut kita jadi meniru perilakunya.
Hal itu disebabkan pada manusia terdapat sel saraf yang bernama neuron mirror yang akan aktif saat ia melihat sesuatu. Dalam proses belajar terdapat beberapa tahapan proses yang dimulai dengan memperhatikan objek terlebih dahulu, lalu kita jadi mengingat hal tersebut dan tanpa sadar jadi menirunya. Bahkan, saat ada suatu peristiwa yang serupa terjadi dengan apa yang ditonton, kita jadi semakin terdorong untuk melakukan perilaku yang serupa tersebut.
Faktor-faktor tersebut yang akhirnya dapat memengaruhi perkembangan verbal, fisik, kognitif, emosional, dan perilaku kita sebagai manusia. Film ataupun tontonan yang kita tonton dapat membuat otak dalam keadaan ‘terhipnotis’ juga bagaimana manusia berperilaku. Dengan begitu, informasi yang kita terima dari mendengar dan melihat tontonan tersebut secara tidak sadar masuk ke pikiran alam bawah sadar. Karena tontonan dapat memengaruhi kognisi individu, banyak film juga dapat membantu membuat keputusan yang tepat dan berpikir secara mandiri.
Jadi, pilihan genre film ataupun tontonan dapat memiliki dampak baik ataupun buruk. Dampak buruk seperti menurunnya aktivitas cara berpikir seseorang (inteligensi). Namun, tetap ada hal positif lainnya, misalnya, individu yang menonton film romantis dan memiliki happy ending dapat meningkatkan attachment individu tersebut kepada orang lain.
Selain individu dewasa, film memiliki peran yang cukup signifikan untuk anak-anak dan remaja. Berdasarkan suatu penelitian, tayangan dalam bentuk film paling berpengaruh terhadap imitasi pola tingkah laku anak dan bisa mengendap dalam ingatan anak lebih lama. Alasannya ialah karena informasi yang diperoleh melibatkan dua indra sensorik, yaitu pendengaran (audio) dan penglihatan (visual) pada saat yang bersamaan. Demikian bagi anak-anak yang pada umumnya selalu meniru apa yang mereka lihat, tidak menutup kemungkinan bahwa sikap dan perilaku anak tersebut akan mengikuti tayangan film yang ia tonton.
Apabila yang anak lihat merupakan film yang edukatif, akan bisa memberikan dampak yang positif bagi sang anak. Begitu juga sebaliknya, jika yang dilihat ialah film yang tidak memiliki arti atau bahkan mengandung unsur-unsur negatif yang dikemas secara menarik, hal itu akan memberikan dampak yang negatif pula terhadap sikap dan perilaku sang anak.
Terdapat berbagai dampak positif film bagi anak-anak dan remaja. Dalam sebuah buku terkait dengan perkembangan sosial anak yang berhubungan dengan tontonannya, dikemukakan bahwa film dapat menumbuhkan keinginan anak untuk memperoleh pengetahuan, mengajari anak tata cara berbicara dan penambahan kosakata, dapat berpengaruh pada bentuk permainan, serta menyediakan berbagai pengetahuan yang tidak disediakan lingkungan sekitar anak.
Film drama mengajarkan remaja tentang interaksi sosial dengan lawan jenis dan orang dewasa, memiliki dampak positif pada self-concept mereka, dan meningkatkan toleransi. Film berorientasi humanistik meningkatkan keterampilan anak-anak dalam berkomunikasi dengan teman sebaya, meningkatkan keinginan mereka untuk membantu dan memahami orang lain. Pada suatu studi penelitian behavioral science (2020), anak muda mengubah penilaian mereka tentang karakteristik, kognitif, dan emosional orangtua setelah menonton film tentang orangtua.
Kesehatan mental
Selain sebagai salah satu sumber pengetahuan, film memberikan beberapa manfaat kepada kesehatan mental manusia dan berfungsi sebagai lebih dari sekadar hobi atau hiburan. Di antaranya meningkatkan suasana hati jika kita hidup dengan gangguan kecemasan atau depresi, atau stres tentang pekerjaan dan keluarga, meluangkan waktu untuk menonton film dapat membantu meningkatkan suasana hati. Penelitian yang dilakukan William K Goodman mengenai kesehatan mental pada 2016, menemukan bahwa menikmati kegiatan rekreasi seperti menonton film dapat meningkatkan suasana hati dan mengurangi gejala depresi.
Menonton film yang menyenangkan seperti komedi musikal dan romantic comedy dapat memberikan kita waktu untuk istirahat dan relaksasi. Hal itu menjadi pengalih perhatian yang kita butuhkan untuk bersantai setelah hari yang panjang. Selain relaksasi, ada manfaat untuk motivasi. Menonton film bisa menjadi motivasi dalam banyak hal. Memberikan pikiran kita istirahat dari pekerjaan untuk sesuatu yang menyenangkan dapat memotivasi kita untuk menjadi lebih produktif.
Menonton film dapat memberikan banyak manfaat, antara lain bisa meningkatkan kesehatan mental, menghilangkan stres, dan memengaruhi bagaimana individu berperilaku di kehidupan sehari-hari. Namun, film bukanlah pengobatan atau obat untuk gejala kesehatan mental. Jika gejala kesehatan mental mengganggu kehidupan sehari-hari, seorang profesional kesehatan mental dapat membantu.Oleh: Riwisna Putunanga, Syifa Aqliyah Indrika Magister Sains Psikologi Kesehatan, Universitas Padjadjaran (*)
Tinggalkan Balasan