Auditor Internal Beber Kejahatan Faradiba Yusuf
AMBON, Siwalimanews – Ketua Auditor Internal BNI, I Putu Adi Kodana dihadirkan sebagai saksi kasus dugaan korupsi dan TPPU pada BNI 46 Ambon dengan terdakwa Faradiba Yusuf Cs di Pengadilan Tipikor Ambon, Selasa (7/7).
Dalam keterangannya, saksi membeberkan kejahatan Faradiba merampok uang nasabah.
Adi Kodana mengungkapkan, dari investigasi internal menemukan adanya potensi kerugian yang dialami BNI senilai Rp 58,95 miliar. Hal itu diketahui setelah dilakukan audit.
Dia merincikan, selisih dana BNI di Kas Tual bernilai Rp. 9 miliar lebih, KCP Aru Rp.29 miliar lebih, KCP Masohi Rp.9,5 miliar, sisanya di kas BNI Mardika dan Unpatti. “Jadi semua kerugian atau selisih semuanya Rp.58,9 miliar,” katanya.
Kerugian atau selisih yang terjadi ini, diakibatkan adanya sejumlah transaksi dan investasi tidak wajar yang dilakukan Wakil Kepala BNI Cabang Ambon saat itu, Faradiba Yusuf.
Baca Juga: Dugaan Korupsi SPAM Kariu Menguap di Kejari AmbonTransaksi-transaksi itu berupa penyetoran uang tanpa fisik, penarikan uang tanpa fisik hingga adanya pemalsuan identitas hingga tanda tangan nasabah.
Transaksi itu diduga dilakukan atas perintah Faradiba Yusuf dengan nilai transaksi transfer tanpa dana riil mencapai Rp 58,95 miliar. Bahkan, jumlah uang tersebut, tidak termasuk dana nasabah lain yang digelapkan.
Majelis hakim yang dipimpin Pasti Tarigan lalu mempertanyakan tanggung jawab pihak Bank atas dugaan raibnya uang nasabah senilai Rp. 124 miliar.
“Soal komplain nasabah, kami sampai saat ini belum mengidentifikasi nasabah,” kata Adi Kodana.
“Kami perlu identifikasi dari pihak bank dan nasabah. Kami hanya akan menggantikan yang ada di sistem. Kalau tidak tercatat di sistem, tidak bisa,” lanjutnya.
Dia menyebut, dari 32 nasabah yang dananya dibobol, hanya beberapa nasabah yang tercatat dalam sistem. “Tapi kami secara spesifik belum memeriksa hal tersebut,” katanya.
Adi Kodana menduga, Faradiba membuat pencatatan manual untuk buku tabungan nasabah korban penggelapan. Sehingga nama para nasabah tersebut tidak tercatat dalam sistem.
“Pencatatan manual di buku tabungan, tapi uang tidak serahkan ke BNI. Makanya tulisan dan karakternya beda. Sebagai nasabah awam mungkin tidak paham. Uang nasabah tidak masuk sistem BNI,” ujarnya.
Dia mengakui, nasabah sudah berulang kali komplain. Namun, pihak BNI masih melakukan pembahasan terkait raibnya uang nasabah tersebut.
Adi Kodana mengungkapkan, selisih kas juga pernah terjadi pada 2018. Menurutnya, Faradiba mungkin selalu menggunakan dana pribadinya untuk menggaet nasabah emerald. Namun, karena uangnya habis, ia menggunakan dana kas bank.
“Bisa jadi janji-janji itu belum dipenuhi, lalu Faradiba memakai uang bank untuk kepentingan tersebut. Itu analisa saya,” katanya.
Dia menjelaskan, pengelola nasabah emerald di BNI seharusnya tidak meminta atau menggunakan dana pribadi. “Kami tidak boleh berinteraksi dengan nasabah yang berpotensi jadi kepentingan,” katanya.
Hakim lalu menanyakan lagi, apakah dalam investigasi internalnya itu, ada fakta Faradiba Yusuf yang menguasai dana nasabah. “Ada. Tapi untuk rinciannya tidak ada,” ucapnya.
Selain itu, auditor itu menyebut Jhony de Qoejoe alias Siong bukan nasabah BNI Cabang Utama Ambon. Padahal Siong pernah melakukan transaksi hingga Rp. 125 miliar di bank berplat merah itu. Dia juga mengikuti program cashback yang ditawarkan Faradiba.
“Jhony de Quelju bukan nasabah emerald. Tidak ada bukti yang menunjukan Jhony nasabah emerald,” kata Adi Kodana.
Dia mengatakan, untuk menjadi nasabah emerald, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Menurutnya, nasabah yang memiliki uang lebih dari Rp. 1 miliar belum tentu menjadi nasabah emerald. “Ada formulir khusus yang harus diisi formulir itu untuk verifikasi, tujuannya identifikasi ataupun profile itu ada di sistem bank. Mereka berbeda dengan nasabah umum,” katanya.
Dalam hasil audit internal itu tercatat, adanya setoran uang tanpa disertai dengan fisik (fiktif) pada PT. BNI KCP Tual, PT BNI KCP Masohi, dan PT. BNI KCP Aru.
Dalam rentang waktu 27 September 2019 hingga 1 Oktober 2019, BNI KCP Tual menyetor uang senilai Rp. 19,8 miliar. Uang itu ditransfer ke rekening terdakwa Soraya Pelu dan Jhony de Quelju sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi RTGS ke BCA.
Kemudian pada 9 September 2019 hingga 4 Oktober 2019, dari BNI KCP Masohi mentransfer uang senilai Rp. 9,5 miliar ke rekening terdakwa Soraya Pelu sebanyak empat kali, dengan keterangan transaksi pembayaran hasil bumi.
Transaksi juga terjadi di BNI KCP Aru sebanyak 19 kali pada pada 23 September 2019 hingga 4 Oktober 2019 sebesar Rp. 29,65 miliar.
Uang itu dikirim dari M. Alief Fiqry sebanyak 5 kali, Abd Karim Gazali sebanyak 5 kali, Jonny De Quelju 3 kali, Soraya Pelu 3 kali, dan Aryani sebanyak 3 kali. Keterangan transaksi tersebut untuk pembayaran kapal, pembelian hasil laut, pembayaran ruko, pembayaran tanah, dan pembelian barang toko.
Hal tersebut mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp. 58,950 miliar, sebagaimana tertuang dalam audit BPK tanggal 11 Februari 2020. (Cr-1)
Tinggalkan Balasan