Asas Legalitas dalam Sistem Hukum di Indonesia, Relevankah?
DALAM praktik hukum pidana telah tampak inkonsistensi antara das sollen dan das sein yang membawa dampak ketidakpastian, ketidakadilan, dan bahkan tidak bermanfaat bagi kehidupan masyarakat. Tujuan kepastian dari hukum dimaksudkan adanya kedekatan antara das sollen dan das sein sekalipun tidak diharapkan adanya 100% dalam suatu peristiwa hukum, antara apa yang tertulis dan kenyataannya. Merunut sejarah perkembangan hukum pidana berasal dari Prancis yang kemudian diadopsi Belanda 1881 Wetboek van Strafrecht Netherland. Asas legalitas dalam wujud nyata terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengandung arti tiada tindak pidana tanpa suatu undang-undang pidana yang mengaturnya (nulllum crime sine lege); tiada pidana tanpa undang-undang pidana (nulla poena sine lege), dan tiada pidana tanpa kejahatan (nulla poena sine crimen).
Penjelasan lebih lanjut dari ketiga makna asas legalitas itu ialah, pertama, undang-undang pidana harus memenuhi le scripta (tertulis), lex stricta (dibaca apa yang ditulis), dan lex certa (jelas). Kedua, undang-undang pidana tidak berlaku surut (non-retroaktif) kecuali menguntungkan terdakwa. Penafsiran analogi tidak dibolehkan, yaitu penerapan ketentuan pidana atas suatu peristiwa pidana yang mirip-mirip sama pada prinsipnya dengan peristiwa pidana yang telah terjadi, tetapi belum ada pengaturannya dalam undang-undang pidana. Uraian dan penjelasan asas legalitas di atas sejalan dengan perkembangan kasus pidana pada zamannya yang tentu sangat jauh berbeda dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi dan politik era abad globalisasi abad ke-20 sampai saat ini. Namun, berdasarkan praktik hukum telah berkembang melalui putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, kemudian dianut dan diterapkan pada peristiwa pidana selanjutnya. Hal itu lazim dikenal sebagai yurisprudensi sehingga sumber hukum tertulis (undang-undang pidana) semula, bergeser kepada sumber hukum pidana alternatif, yaitu yurisprudensi. Kedua pilihan sumber hukum tersebut digunakan untuk memperoleh kepastian hukum atas suatu peristiwa pidana tertentu, terutama bagi tersangka dan terdakwa.
Pertimbangan hakim Pilihan sumber hukum kedua karena berakar dari nilai-nilai (values) pandangan masyarakat ketika peristiwa terjadi. Lazimnya hakim turut mempertimbangkan keadaan hukum tersebut sehingga diharapkan dapat menemukan dan memperoleh putusan pengadilan yang memenuhi rasa keadilan dan berkekuatan hukum tetap. Bahkan pilihan sumber hukum yang kedua telah diwajibkan kepada hakim sebagaimana diperintahkan dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Merujuk pada penilaian hukum dalam peristiwa pidana yang konkret, dapat disimpulkan bahwa hukum dalam kenyataan bukan sesuatu yang permanen (tetap). Ia selalu dinamis dan penilaian atas dinamika hukum dalam praktik diserahkan pada praktisi hukum terutama hakim ketika mempertimbangkan putusan pengadilan. Dinamika hukum dalam praktik yang sesuai dengan asas dan kaidah hukum dan keyakinan hakim merupakan sesuatu yang nyata dan dirasakan para pemangku kepentingan dan tidak dapat dinafikan bahwa proses peradilan tersebut ialah sah secara hukum. Proses hukum itu dalam peraturan perundang-undangan pidana yang berlaku di Indonesia, demi mencapai tujuan hukum, (akan) berjalan selama 480 hari sampai pada tahap peninjauan kembali (PK/herziening). Asas legalitas dalam pandangan kaum abolutis(me) saat ini tidak lagi ajek, tetapi relatif sesuai dengan perkembangan pandangan kesusilaan masyarakat pada zamannya mengenai perbuatan tercela atau tidak tercela.
Di dalam rancangan KUHP (2019) penyimpangan atas asas legalitas tersebut mendapat justifikasinya dalam Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP, yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana dimaksud dalam RUU KUHP, Pasal 1 ayat (1) KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat, yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang itu. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) intinya memberikan dasar hukum mengenai berlakunya hukum adat pidana yang tumbuh dan berkembang di daerah adat tertentu di Indonesia. Ketentuan itu cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia yang bersifat heterogen; berbeda-beda kultur daerah adat satu dan lainnya. Namun, kesesuaian hukum adat dimaksudkan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila dan peradaban masyarakat modern.
Rancangan ketentuan Pasal 2 ayat (1) membuka celah alternatif penafsiran atas asas legalitas sehingga, jika RUU KUHP disahkan, dapat menghilangkan pro dan kontra terhadap kebuntuan mengenai apakah asas legalitas harus dijadikan sumber hukum tertulis satu-satunya, ataukah masih ada alternatif. Pengakuan atas dua sumber hukum tersebut (tertulis dan tidak tertulis) diterjemahkan mazhab Undip menjadi asas legalitas formil dan asas legalitas materiel. Masalah asas legalitas itu belum selesai karena secara teoretis hanya fokus pada apakah suatu perbuatan ialah suatu tindak pidana dan karenanya dapat diancam pidana (hukuman)? Sementara itu, berkaitan dengan nilai-nilai keadilan yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana telah terdapat pada ketentuan Pasal 5 UU Kekuasaan Kehakiman, dalam praktik tidak tersentuh oleh para hakim. Itu disebabkan sampai saat ini dominasi asas legalitas yang terwujud dalam ketentuan UU diutamakan para hakim dalam memberikan penafsiran hukum dalam kenyataan praktik. Jika merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP, dipastikan bahwa (akan) terjadi kesimpangsiuran penafsiran mengenai sifat melawan hukum dari suatu perbuatan yang rentan terhadap perbedaan pandangan para ahli hukum sehingga dapat menimbulkan ketidakpasatian hukum dalam masyarakat.
Baca Juga: RUU Sisdiknas Milik Siapa?Dalam keadaan sedemikian diperlukan suatu pedoman terukur, pasti, dan jelas mengenai (a) parameter suatu perbuatan yang dapat dipidana dan (b) gradasi ancaman hukuman yang sesuai dengan berat ringannya suatu tindak pidana yang ada padanannya dalam ketentuan KUHP. Implikasi sosial dari ketentuan Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip yang berlaku umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa dapat menimbulkan pertentangan atau konflik sosial hanya karena ada perbedaan pengakuan secara normatif antara ketentuan hukum nasional (KUHP dan KUHAP) dan hukum adat masyarakat setempat. Contoh, perbuatan melarikan anak gadis dalam masyarakat adat tertentu merupakan perbuatan yang tidak tercela. Akan tetapi, jika merunut KUHP (1946), perbuatan tersebut suatu tindak pidana. Masalah itu dalam situasi KUHP (1946) melalui UU Nomor 1 Tahun 1951 dapat diselesaikan dengan satu ketentuan peralihan bahwa ketika terdapat perbuatan tercela menurut hukum adat yang tidak ada padanannya dalam KUHP, yang berlaku ialah ketentuan ancaman hukuman yang diatur dalam KUHP (1946). Apakah ketentuan UU Nomor 1 Tahun 1951 masih relevan dengan diakuinya hukum adat sebagai hukum materiel nasional seusai pengesahan rancangan KUHP (2019).Oleh: Romli Atmasasmita Guru Besar (Em) Universitas Padjadjaran.
Tinggalkan Balasan