Bandul ekonomi global terus bergerak mengikuti transformasi pada lingkungan ekonomi dunia yang dipicu oleh banyak faktor antara lain teknologi informasi dan komunikasi, inflasi, bunga, harga komoditas, geo politik, climate change, base erosion and profit shifting (BEPS).

Namun dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata tumbuh di bawah 3%. Ini memberikan signal ekonomi dunia semakin tertekan dan hal tersebut berdampak langsung maupun tidak atas perekonomian regional maupun nasional.

Kebijakan pajak (tax policy) merupakan salah satu instrumen yang efektif untuk mengeskalasi proses pemulihan ekonomi global karena kebijakan pajak selain berfungsi menghimpun dana (budgetair) guna membiayai pemulihan ekonomi juga berfungsi menggerakan perekonomian global (regulerend).

Pada umumnya otoritas pajak suatu yurisdiksi melakukan reformasi administrasi dan kebijakan (tax reform) untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dan melakukan perjanjian perpajakan secara bilateral. Namun pada kenyataannya upaya tersebut tidak membuahkan hasil yang maksimal karena permasalahan perpajakan (tax challenges) yang dihadapi oleh masyarakat dunia sekarang ini memiliki dimensi yang luas dan akan lebih efektif bila diselesaikan secara multilateral.

Hal tersebut disebabkan perubahan yang signifikan terjadi pada landskap perpajakan internasional yang dipengaruhi oleh globalisasi ekonomi, underground economy, pertumbuhan ekonomi yang rendah dan dampak disruptif dari teknologi informasi dan komunikasi.

Baca Juga: Strategi Nasional Aset Digital Indonesia yang Berdaya Saing Global

Banyak permasalah pajak yang klasik yang terjadi hingga saat ini misalnya transfer pricing (TP), pemanfaatan treaty benefits secara tidak benar (treaty abuse), pendirian perusahaan cangkang (special purpose vehicles) pada low tax jurisdictions, illicit fund dari shadow economy atau rekayasa transaksi ekonomi yang semata-mata untuk menghindari pajak (tax avoidance), belum dapat diadministrasikan secara efektif oleh otoritas pajak suatu yurisdiksi. Sebagai akibat dari permasalahan tersebut, Tax Justice Network memprakirakan potensi pajak yang hilang setiap tahun secara global sebesar 423 Milyar US dollar.

Pola penanganan permasalahan perpajakan internasional berubah ke arah kerja sama, kolaborasi dan perjanjian perpajakan multilateral. Pendekatan yang baru tersebut dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan perpajakan global saat ini.

Guna merespon kebutuhan di atas, OECD dengan memperoleh mandat dari pimpinan kelompok G20 menfasilitasi berdirinya Inclusive Framework on Base Erosion and Profit Shifting (disingkat dengan sebutan Inclusive Framework) yang merupakan forum untuk membahas dan memutuskan secara bersama-sama kebijakan pajak yang bertujuan untuk mencegah praktik penghindaran pajak maupun pengelakan pajak yang dapat menggerus basis pemajakan suatu yurisdiksi dengan mengalihkan laba usahanya ke yurisdiksi lainnya yang menawarkan tarif pajak yang rendah (low tax jurisdictions) yang sering disebut dengan base erosion and profit shifting (BEPS).

Inclusive Framework beranggotakan lebih dari 142 yurisdiksi dan sifat keanggotaanya terbuka. Dalam membahas dan merumuskan serta memutuskan suatu kebijakan pajak, setiap anggota yurisdiksi memiliki kedudukan dan hak suara yang sama, dan Indonesia menjadi anggota sejak tahun 2016.

Inclusive Framework memiliki 15 rencana aksi yaitu digital economy, hybrid Mismatch Arrangements, Controlled Foreign Company (CFC) Rules, Interest Deductions, Harmful Tax Practises, Preventing Tax Treaty Abuse, Avoidance of Permanent Establishment (PE) Abuse, Avoidance of PE status, Transfer Pricing (TP) Aspects of Intangibles, TP/Risk and Capital, TP/High Risk Transactions, Methodologies and Data Analysis, Disclosure Rules, TP Documentation, Dispute Resolution, dan Multilateral Instrument.

Sehubungan dengan 15 Rencana Aksi BEPS tersebut, setiap anggota yurisdiksi wajib sifatnya untuk berkomitmen memenuhi minimum standard yaitu rencana aksi 5, 6, 13 dan 14 mengenai harmful tax practise, preventing tax treaty abuse, TP Documentation dan Dispute Resolution serta menerapkannya di wilayah yurisdiksinya masing-masing. Penerapkan minimum standard di seluruh anggota yurisdiksi mendorong terwujudnya harmonisasi kebijakan pajak untuk memerangi BEPS. Pencapaian tersebut memposisikan Inclusive Framework sebagai lembaga yang merumuskan dan mengeluarkan kebijakan pajak internasional (international tax policy setter).

Keberadaan Inclusive Framework selain diakui dan di-support oleh kelompok G7 dan G20 juga dari lembaga keuangan internasional misalnya IMF, ADB, World Bank dan organisasi otoritas pajak di kawasan belahan dunia seperti Study Group on Asian Tax Administration and Research (SGATAR), Inter-American Center of Tax Administration (CIAT), the Belt and Road Initiative Tax Administration Cooperation Mechanism (Britacom), dan African Administration Forum (ATAF).

Tantangan dan permasalahan perpajakan internasional kedepan di tengah pemulihan ekonomi global semakin komplek misalnya kebijakan pajak atas transaksi ekonomi digital (digital service tax -DST) dan transparansi informasi keuangan untuk tujuan pajak.

Sehingga diperlukan komitmen dan partisipasi dari otoritas-otoritas pajak di dunia yang tergabung dalam Inclusive Framweork on BEPS guna merumuskan arah kebijakan pajak global (international tax policy) dan mengeluarkan kebijakan tersebut untuk mendorong pemulihan ekonomi dunia (global economy recovery) bagi kesejahteraan masyarakat global.Oleh: John Hutagaol, Guru Besar Perpajakan dan bekerja di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.(*)