Dong samua su dudu rapat di sana. Kata rapat dalam kalimat berbahasa Melayu Ambon di atas dapat bermakna ‘dekat; berdekatan’ atau ‘pertemuan’. Jika diindonesiakan, kalimat bergaris miring di atas dapat bermakna (1) mereka semua sudah duduk pertemuan di sana; dan (2) mereka semua sudah duduk berdekatan di sana, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Melayu Ambon penggunaan kata pertemuan dan berdekatan sama-sama berterima. Hal ini membuktikan bahwa kata rapat dalam bahasa Melayu Ambon adalah ambigu.

Bukang manyapu itu!

Kata manyapu dalam kalimat berbahasa Melayu Ambon di atas dapat bermakna ‘alat untuk menyapu’ (nomina) atau ‘membersihkan dengan sapu’ (verba). Kalimat di atas dapat bermakna (1) bukan sapu itu! ([merujuk pada benda] seseorang yang menolak saat diberikan sapu yang berbeda); dan (2) bukan menyapu itu! ([merujuk pada tindakan] larangan bagi seseorang yang menyapu benda lain). Hal ini pun membuktikan kata manyapu bermakna ganda (ambigu).

Dalam KBBI, ambigu artinya ‘bermakna lebih dari satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan, dan sebagainya); bermakna ganda; taksa’, sedangkan ambiguitas bermakna ‘sifat atau hal yang bermakna dua; ketidaktentuan dan ketidakjelasan; kemungkinan adanya makna atau penafsiran yang lebih dari satu atas suatu karya sastra; kemungkinan adanya makna lebih dari satu dalam sebuah kata, gabungan kata, atau kalimat dan ketaksaan’.

Trismanto dalam artikelnya yang berjudul “Ambiguitas dalam Bahasa Indonesia” (2018) yang dimuat pada Jurnal Politeknik Negeri Semarang menjelaskan tiga bentuk ambiguitas yang dikelompokkan oleh Kempson, yaitu ambiguitas fonetik, gramatikal, dan leksikal. Ambiguitas fonetik muncul akibat berbaurnya bunyi-bunyi bahasa yang dilafalkan. Kata-kata yang membentuk kalimat jika dilafalkan terlalu cepat dapat mengakibatkan keraguan makna, contohnya ambel akang di liang. Kata liang pada kalimat tersebut dapat bermakna

  • ‘gua’; dan
  • ‘nama satu desa di Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah’.

Jika dalam penyebutannya penutur tidak menjelaskan dengan benar, mitra tutur akan kebingungan dan menganggap penutur menyuruhnya mengambil barang di Desa Liang, padahal yang dimaksud adalah di dalam gua ataupun sebaliknya. Hal ini dikarenakan kata yang bunyi liang yang bermakna ‘gua’ dan bunyi liang yang bermakna ‘nama satu desa di Pulau Ambon, Kabupaten Maluku Tengah’ terdengar sama.

Ambiguitas gramatikal muncul pada tataran morfologi dan sintaksis. Pada tataran ini, ambiguitas dapat dilihat dari dua alternatif. Alternatif pertama adalah ambiguitas yang disebabkan oleh peristiwa pembentukan kata secara gramatikal. Pada tataran morfologi (proses morfemis) dapat mengakibatkan perubahan makna. Alternatif kedua adalah ambiguitas pada frase yang mirip. Setiap kata yang membentuk frase sebenarnya jelas, tetapi kombinasinya mengakibatkan maknanya dapat diartikan lebih dari satu pengertian, contohnya kata carita. Carita dalam bahasa Melayu Ambon dapat bermakna ‘suatu tulisan atau bahan bacaan’ dan ‘bercerita’. Dong dua carita bagus e, kata carita dalam kalimat tersebut dapat bermakna

(1) ‘cerita yang diceritakan mereka berdua itu bagus’;

(2) ‘gaya cerita mereka berdua bagus’.

Dalam ambiguitas leksikal, setiap kata dapat bermakna lebih dari satu dan dapat mengacu pada benda yang berbeda sesuai dengan lingkungan pemakainya, contohnya kata mangarti. Mangarti dalam bahasa Melayu Ambon dapat bermakna ‘mengerti’ dan ‘sombong’. Ale paleng mangarti, Kawan e, kata mangarti dalam kalimat tersebut dapat bermakna

(1) ‘kawan yang sangat pengertian’; dan

(2) ‘kawan yang sangat sombong’.

Beberapa contoh kata yang ambigu dalam bahasa Melayu Ambon di atas mungkin memiliki kemiripan atau kasus serupa dengan bahasa-bahasa lainnya. Dalam hal ini, kata-kata di atas bisa saja tergolong lebih dari satu bentuk ambiguitas jika dikaji lebih lanjut. Banyak kosakata bahasa Melayu Ambon yang ambigu dengan kelas kata yang berbeda, misalnya (1) panggayo dapat bermakna ‘mendayung’ (verba) dan ‘alat untuk mendayung’ (nomina), (2) cangkol dapat bermakna ‘mencangkul’ (verba) dan ‘alat untuk mencangkul’ (nomina).

Ambiguitas dapat muncul, baik secara lisan maupun tulisan. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan satu kata yang bermakna ambigu tentu akan memunculkan risiko penafsiran yang berbeda pula. Sesuai dengan konsekuensinya, ambiguitas dapat menyebabkan ketidakjelasan, kesalahpahaman, ataupun salah pengertian.

Hal tersebut diperkuat oleh Wahyu Wibowo dalam tulisannya yang berjudul “Tubuh yang Terbalut atau Tubuh yang Terenggut?” (2019) bahwa ambiguitas atau kemaknagandaan di dalam bahasa tulisan apa pun ragamnya, kecuali fiksi, hendaknya patut diharamkan, mengingat lapisan pembaca yang heterogen (bermacam-macam latar belakang). Perlu diingat bahwa tidak semua orang mampu memaknai suatu kata atau kalimat secara mendalam. Oleh karena itu, memilih diksi yang tepat adalah salah satu cara membuat kalimat efektif dan tuturan menjadi jelas tanpa harus menjadi ambigu. Oleh: Widya Sendy Alfons, S.Pd.Widyabasa Ahli Pertama Kantor Bahasa Provinsi Maluku (*)