SEJAK setahun pandemi, telah ditemukan enam varian baru virus korona yang diumumkan Kemenkes RI. Varian ini identik dengan varian B.1.1.7 (atau sering disebut dengan ‘UK Variant’) yang pertama kali ditemukan di Inggris. Tersebar di sejumlah beberapa provinsi berbeda di Indonesia, varian ini pertama kali ditemukan pada kasus impor yang dibawa pekerja migran dari Saudi Arabia. Variasi (varian) dan mutasi virus merupakan proses biologis yang kerap terjadi dan tidak mengejutkan. Mutasi ialah perubahan materi genetik pada level DNA/RNA organisme hidup. Bisa dikatakan, varian ialah mutasi yang ditemukan pada populasi tertentu.

Lebih mudah menular   Sekurangnya 4.000 mutasi virus korona telah teridentifikasi di dunia. Tidak semuanya berdampak negatif. Selain B.1.1.7, tercatat varian B1.351 yang pertama kali ditemukan di Afrika Selatan dan P.1 yang ditemukan di Brasil. Varian B.1.1.7 memiliki karakteristik 50%-70% lebih mudah menular jika dibandingkan dengan varian lain (Rambout dkk, 2020). Merujuk pada database global GISAID, saat ini varian B.1.1.7 telah terdeteksi di lebih dari 50 negara di dunia. Mudahnya penularan virus (transmisi virus) berdasar pada beberapa mutasi (point mutations) yang dominan pada permukaan SARS-CoV-2, yakni protein S (spike) yang berperan penting menginfeksi sel tubuh manusia dengan ikatan pada reseptor ACE2. Ikatan yang kuat keduanya memberi peluang virus lebih mudah bereplikasi/memperbanyak diri sehingga potensial menularkan pada orang lain. Mutasi D614G yang baru-baru ini diidentifikasi juga tidak jauh berbeda dengan varian B.1.1.7. Hampir 90% SARS-CoV-2 dunia didominasi mutasi D614G. Selain mutasi D614G varian B1, empat dari delapan jenis mutasi varian B.1.1.7 diduga berperan pada proses intervensi virus pada sel tubuh manusia dan memengaruhi sistem kekebalan tubuh, terutama terkait dengan pembentukan antibodi spesifik SARS-CoV-2.

Selain mudah menular, ahli memprediksikan dampak medis yang bisa muncul akibat varian ini. Beberapa dampak medis yang perlu mendapat perhatian ialah derajat keparahan penyakit (severity) pada populasi tertentu atau kelompok rentan dengan sistem kekebalan tubuh yang lemah. Mutasi D614G diduga lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda dengan jumlah replikasi virus (viral load) yang tinggi (Cell, 2021). Anggapan D614G dan varian B.1.1.7 lebih mematikan, juga masih bersifat spekulatif. Data ilmiah belum cukup kuat untuk membuktikan bahwa keduanya memperberat atau parameter membedakan kategori ringan, sedang covid-19. Namun, semakin mudah orang terinfeksi SARS-CoV-2 dan meningkatnya positivity rate, akan diikuti dengan meningkatnya jumlah orang yang membutuhkan perawatan di RS, termasuk kebutuhan terapi obat. Pelayanan kesehatan secara umum akan terdampak. Melemahnya antibodi covid-19 juga berpeluang terjadinya reinfeksi. Jika dibandingkan dengan B.1.1.7, B1.351 diduga kuat mampu memicu terjadinya reinfeksi. Dampak lain, munculnya varian baru ialah penurunan spesifisitas dan sensitivitas pada diagnosis SARS-CoV-2 yang menggunakan PCR.

Bukan tidak mungkin pemeriksaan PCR yang dihasilkan negatif palsu.   Pentingnya peran epidemiologi molekuler   Temuan kasus varian baru virus korona merupakan early warning bagi Indonesia untuk segera memulai identifikasi keberadaan varian B.1.1.7. Terlebih, data epidemiologi molekuler SARS-CoV-2 Indonesia masih sangat minim. Surveilans B.1.1.7 diperlukan, selain juga keberadaan varian lain, seperti B1.153 dan P.1. Kita juga harus memastikan bahwa tes diagnostik mampu mendeteksi semua jenis varian baru. Identifikasi varian baru virus korona saat ini, hanya bisa dilakukan dengan analisis sekuensing nukleotida protein atau metode whole genome sequencing (WGS), yakni butuh keterampilan dan teknologi alat diagnostik yang berbeda dengan metode PCR biasa. Setelah varian virus baru teridentifikasi, pemahaman karakteristik virus menjadi lebih luas. Informasi terkait dengan kemampuan virus lebih mudah menular, gejala klinis yang khas, efektivitas terapi pengobatan dan produksi vaksin covid-19 bisa terungkap dengan analisis data epidemiologi molekuler.     Efektivitas vaksin   Perhatian khusus terkait dengan munculnya varian baru ada pada efektivitas vaksin covid-19. Ada kurang lebih 9 jenis vaksin di dunia dan telah mendapatkan otoritas penggunaannya, termasuk Sinovac yang digunakan di Indonesia. Perbedaan vaksin-vaksin ini pada umumnya ada pada substansi dasar vaksin (antigen) spesifik SARS-CoV-2 yang digunakan.

Vaksin Sinovac menggunakan bahan dasar inactivated virus (virus mati). Sementara itu, vaksin mRNA, seperti yang dikembangkan Pfizer/BioNTech dan Moderna, relatif mudah diperbarui dan menghasilkan antibodi efektif pada varian B.1.1.7 (BioRxiv, 2021). Belum ada laporan resmi terkait dengan vaksin Sinovac dan efektivitasnya terhadap varian B.1.1.7. Secara hipotesis, mutasi tidak berpengaruh untuk menetralisasi vaksin yang telah diproduksi saat ini. Akselerasi program vaksinasi nasional covid-19 yang dimulai Presiden Joko Widodo perlu didukung setiap warga negara RI. Kita berharap dengan tercapainya angka cakupan vaksinasi covid-19 di Indonesia, herd immunity sebesar 70% akan terpenuhi.

Baca Juga: MRL, Dari Riset ke Produksi Massal

Strategi kebijakan baru   Pemerintah RI sudah saatnya mempertimbangkan kebijakan baru mencegah tersebarnya varian B.1.1.7. Beberapa kebijakan yang perlu dipertimbang­kan, pertama, mencegah masuknya varian baru di wilayah RI. Dari sejumlah kasus yang ditemukan, ditengarai merupakan kasus impor. Pengawasan ketat diperlukan di sejumlah pintu masuk wilayah RI, seperti bandar udara dan pelabuhan untuk deteksi dini virus. Pemeriksaan sekuens genom pendatang luar negeri, diperlukan bagi yang terkonfirmasi covid-19. Memperpanjang masa karantina bagi pendatang untuk minimalisasi penularan juga perlu dipertimbangkan walaupun butuh biaya lebih besar. Kedua, peningkatan kapasitas pemeriksaan laboratorium agar mampu mendeteksi cepat varian baru. Pemeriksaan bisa dimulai pada populasi tertentu dengan latar belakang kelompok usia atau lokasi geografis yang berbeda.

Pemeriksaan dilakukan acak atau berdasar temuan kasus baru. Ketiga, kebijakan mobilitas warga yang lebih diperketat. Ini dilakukan untuk mencegah kemungkinan terjadinya transmisi lokal antarwilayah (provinsi) di RI. Keempat, perlunya dibentuk pusat data nasional yang berfungsi sebagai pusat pengumpulan surveilans genom SARS-CoV-2. Pusat data nasional harus terintegrasi dengan laboratorium RS rujukan dan layanan kesehatan lain yang terkait guna mendapatkan data epidemiologi molekuler covid-19 secara holistis dan komprehensif. Diperlukan kolaborasi yang intensif antara pusat data nasional surveilans SARS-CoV-2, akademisi universitas, dan peneliti dalam serta luar negeri. Pandemi covid-19 masih menyisakan ketidakpastian di hampir semua aspek kehidupan dan pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Fenomena munculnya mutasi virus perlu diwaspadai dan dihadapi tidak dengan kepanikan. Meningkatkan disiplin penerapan standar protokol kesehatan 5M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, mengurangi mobilitas, dan menghindari kerumunan), masih relevan dalam usaha preventif menyebarnya varian B.1.1.7.( Yordan Khaedir, Dosen Fakultas Kedokteran UI, Doktor Imunologi alumnus Chiba University, Jepang Dokter Covid-19 RS Duren Sawit Jakarta)