AMBON, Siwalimanews – Alasan Kejaksaan Tinggi Maluku menunda sementara proses hukum kasus dugaan korupsi dana hibah jwarda pramuka karena pilkada dinilai sebagai alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal.

Akademisi Hukum Unpatti, Remon Supusepa menjelaskan, pilkada memang merupakan agenda nasional, namun tidak kemudian harus mengesampingkan proses hukum yang sedang dilakukan.

“Mungkin Kejati berfikir bahwa ibu Widya ini suaminya akan masuk dalam proses pilkada , tapi cara penjelasan dari Kejati itu salah, dia harus menjelaskan sampai dimana penanganan kasus ini supaya masyarakat tidak menuding kinerja Kejati tidak maksimal untuk penanganan tindak pidana korupsi kwarda,” ungkap Supusepa.kepada Siwalimanews melalui telepon selulernya, Kamis (9/5).

Kejati kata Supusepa, juga harus memberikan penjelasan kepada publik terkait status ketua Kwarda Pramuka Maluku, Widya Pratiwi maupun pihak lain apakah telah memenuhi unsur tindak pidana korupsi atau tidak.

Apalagi, sampai sekarang Kejati pun belum memeriksa ketua Kwarda Pramuka, tapi Kejaksaan Tinggi justru menangguhkan penanganan kasus itu.

Baca Juga: Pastikan Maju di Pilkada SBB, Atapary Intensif Lobi PKB

Supusepa menegaskan antara proses pemilihan kepala daerah dengan proses penegakan hukum merupakan dua hal yang berbeda, artinya proses penegakan hukum itu ranah sendiri.

“Kalau saya nilai kasus dugaan korupsi ini sebenarnya sudah terang benderang, tapi Kejati harus menyampaikan perkembangan perkara, ada tidak kerugian negara dalam kasus itu, apalagi belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka. Ini yang harus menjadi fokus Kejati bukan menunda sementara proses hukum,” tegas Supusepa.

Selain itu, jika alasan Kejati menunda proses hukum kwarda dengan alasan menghindari potensi black campaign maka ini alasan yang mengada-ada dan tidak masuk akal.

“Ini alasan yang mengada-ada karena banyak pejabat negara yang diproses hukum berdekatan dengan proses pemilu juga. Ada orang yang ingin jadi gubernur dan walikota tapi rekam jejak korupsi terungkap diproses dan tidak kemudian dihentikan, hanya karena alasan proses pilkada atau pemilu,” tutur Supusepa.

Ahli hukum pidana Unpatti ini mencontohkan penetapan tersangka yang dilakukan Ditreskrimsus Polda Maluku terhadap mantan Walikota Tual Adam Rahayaan padahal telah mendekati tahapan pendaftaran kepala daerah.

Kejati sambung Supusepa harus menjadikan kasus Adam Rahayaan sebagai contoh bahwa siapapun dia proses hukum harus berjalan tanpa pandang bulu.

Lagi pula ada adagium dalam ilmu hukum yang berbunyi hukum harus ditegakkan walaupun langit akan runtuh sehingga Kejati harus profesional dalam penegakan hukum.

“Contoh kemarin mantan Walikota Tual, Adam Rahayaan yang ditetapkan tersangka pada saat tahapan Pilkada, artinya tidak bisa menjadi alasan apapun ketika proses penegakan hukum harus jalan, dan seharusnya tidak ada pandang bulu atau perbedaan perlakuan. Kenapa Adam Rahayaan bisa di proses oleh pihak kepolisian tetapi kejaksaan takut sekali dalam proses kasus ini. Semua proses hukum harus jalan tanpa ada alasan seperti itu,” pungkasnya.

Terpisah, Praktisi Hukum Djidion Batmomolin menyayangkan keputusan Kejati Maluku yang menunda sementara proses hukum kasus dugaan korupsi hibah kwarda pramuka Maluku karena pilkada.

Menurutnya, tidak ada hubungan antara proses pilkada dengan penyelidikan kasus kwarda, apalagi ketua kwarda Widya Pratiwi tidak menjadi kontestan dalam pilkada serentak.

“Tidak ada hubungan dengan proses hukum, jadi proses harus tetap berjalan karena ini menyangkut kerugian keuangan negara. Apapun alasan itu tidak bisa diterima,” tegas Batmomolin kepada Siwalimanews melalui telepon selulernya, Kamis (9/5).

Batmomolin menilai penundaaan tersebut sangat mengada-ada sebab tidak ada urusan hukum dengan politik.

“Kejati harus profesional dalam mengusut kasus ini, tidak boleh tebang pilih karena suaminya mantan gubernur lalu seakan-akan diberikan perhatian khusus sehingga kasus tidak ditindaklanjuti. Siapa pun harus diperlakukan secara sama di mata hukum,” tandasnya.(S-20)