MASOHI, Siwalimanews – Aksi banting meja anggota DPRD Maluku Tengah Sukri Wailissa yang kini viral di media sosial mendapat tanggapan akademisi Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Ambon.

Aksi pukul dan banting meja yang firal di media sosial oleh Sekertaris Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa itu dinilai sebagai bentuk sikap yang lasim dalam dunia parlemen di Indonesia.

Namun demikian, diharapkan semua pihak memetik hikmah dari aksi wakil rakyat yang kini firal di sejumlah media sosial itu.

Baginya meski lazim terjadi, namun aksi yang dilakukan di zaman Pandemi Covid-19 serta dalam nuansa bulan suci Ramadhan memiliki nilai tersendiri dan harus dipahami secara bijak.

“Beda pendapat  dalam rapat di parlemen atau rapat bersama pemerintah dengan DPR atau DPRD  sudah hal biasa, Ini bukanlah hal yang pertama terjadi di ruang parlemen, DPR setingkat senayan pun tradisi pukul meja, rebut palu sidang, lempar gelas mineral sampai aduh jotos adalah suatu pemandangan biasa. Tapi menjadi luar biasa jika terjadi di musim pandemi Covid-19,” tandas Staf Pengajar Hukum Pemerintah Daerah di Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Nasarudin Umar dalam rilisnya yang diterima Redaksi Siwalimanews, Senin (4/5).

Baca Juga: Sekda: Pemkab Serius Tangani Pandemi Covid-19

Dia membandingkan kejadian tahun 2014 dalam sidang Paripurna DPR, terjadi kericuhan Otje Djundjunan sebagai ketua sidang kehilangan palu  saat terjadi kericuhan di meja pimpinan sidang, kemudian 2015, adu jotos anggota DPR Mustofa Asegaf dan Muljadi saat rapat kerja Komisi VII dengan jajaran Kementerian ESDM, kemudian fakta kejadian 2018 di rapat Badan anggaran di DPRD DKI Jakarta, Wakil Ketua DPRD Ferrial Sopyan menggebrak meja saat rapat berlangsung.

Tradisi ‘pukul meja”, atau “banting meja” akan menjadi sorotan di musim pandemi Covid-19 dan bulan Suci Ramadhan 1441 H. Pasalnya, dalam situasi masyarakat dan pemerintah saling berjibaku menghadapi penyebaran virus ini, ada soal harapan publik pemerintah serius menangani virus ini dan bukan parlemen kalau tidak kuat bicara.

Fakta dari aksi banting meja yang kembali berulang di jajaran DPRD Malteng menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar, diantaranya mengapa kejadian ini bisa terjadi, faktor apa sebetulnya yang menjadi background dibalik peristiwa itu, apakah ada ruang komunikasi dan aspirasi yang tersendak antara baik di internal parlemen maupun antar parlemen dengan pihak eksekutif soal pembahasan penanganan covid-19 di Maluku Tengah, ataukah ini adalah gambaran sepenggal realitas yang menunjukkan penangan Covid-19 di Maluku secara umum ada persoalan.

“Awal April 2020 yang lalu juga terjadi dan viral sebagian warga masyarakat yang di Karantina di Ambon mengeluh dan pilih untuk meninggalkan lokasi karantina di LPMP Waelela karena merasa tidak diperhatikan pemda, belum lagi soal anggaran dan distribusi bantuan sosial yang sudah dipertanyakan warga serta soal kebijakan pembatasan,” urainya.

Dari aspek phsikologi hukum jelas dia, ekspresi spontanitas seperti ini paling tidak menggambarkan suatu situasi serius dan gambaran representasi kondisi mental sosial yang sedang tenggi dimasyarakat.

“Boleh jadi ada ekspektasi atau harapan yang tinggi dan penantian publik terhadap para pemimpin dan wakil rakyatnya di parlemen dan eksekutif untuk lebih cepat dan lebih transparan membantu mereka ditengah situasi yang sulit. dari aksi banting meja yang dilakukan anggota DPRD dalam rapat bersama tim gugus menujukan ada semacam gambaran phsikologis publik yang ditangkap sang legislator, bahwa dalam menangani virus berbahaya ini kita tidak boleh main-main, butuh keseriusan dan kehadiran pemimpin daerah,” tuturnya.

Dijelaskan, ada semacam harapan besar publik kepada pemerintah daerah untuk lebih serius lagi dalam memberi kepastian kebijakan yang pro rakyat dalam  menangani Covid-19.

Pada aspek moralitas hukum, terbesik suatu tanggungjawab moril bagi sang legislator untuk memenuhi harapan dan aspirasi publik, ia terbebani pesan dan janji sosial karena dipundaknya ada tanggung jawab sosial dalam mengembang amanah dan keinginan memperjuangkan aspirasi masyarakat. Klimaksnya tumpah di ruang sidang saat harapan tidak sesuai kenyataan.

“Dari sudut ini, kita bisa memaklumi dan memahami semangat sang dewan, bahwa ada kapasitas moralitas hukum yang dimiliki sang dewan dan tanggung jawab itu diambilnya sesuai tugas yang diamanahkan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemda,” jelasnya.

Lebih lanjut dikatakan, ada fungsi hukum anggaran dan pengawasan yang sedang dijalankan sebagai tugas dan wewenang yang melekat pada dirinya seperti yang diatur dalam Pasal 149 dan 154, namun realitas yang dihadapi ada sinyal ketidaksungguhan pemda dalam merumuskan kebijakan yang lebih serius dalam menangani Covid-19.

Ketidakhadiran bupati sebagai ketua gugus tugas split atau pandangan miring mengapa ditengah situasi Covid-19 justru sebagai kepala daerah tidak hadir bersama anggota DPRD dan tim gugus.

“Dari sisi hukum pemerintahan, kepala daerah miliki tanggungjawab pemerintahan di daerah seperti yang diatur dalam Pasal 65 ayat (1) UU Pemda, belum lagi tanggung jawab yang melekat dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan,” ucapnya.

Ditambahkan, pada situasi di Maluku Tengah, ia ingin memberi signal yang kuat bahwa butuh keseriusan dan tanggung jawab yang besar dalam melawan Covid-19 dan ini menjadi pelajaran bagi setiap daerah di Maluku dan di Indonesia pada umumnya agar, kerja melawan virus ini harus lebih cepat, tepat sasaran dan tidak main-main.

“Memang secara phsikologis pemberitaan bom bastis di media massa  diperlihatkan sejumlah daerah di Pulau Jawa, seperti DKI Jakarta, Jatim, Jabar dan lains ebagainya hampir setiap hari mereka tampil dihadapan publik kehadiran, keseriusan tergambar dari langkah-langkah yang diambil sang kepala daerah bahwa memberi harapan esok masih ada, mereka hadir bersama masyarakat,” imbuhnya.

Meskipun demikian lanjut dia, tentu saja kepala daerah boleh panas tetapi hati harus tetap dingin. Butuh ketenangan dan kesejukan dalam menghadapi situas ini, dari hati yang bersih akan lahir rumusan kebijakan-kebijakan yang betul-betul berpihak bagi rakyat.

Penting untuk saling mengingatkan, jangan ada yang bermain dan mengambil keuntungan dibalik situasi ini. Anggaran negara adalah uang rakyat yang dikumpul dari pajak dan retribusi, sudah waktunya kembali kepada sang pemiliknya, sehingga harus dikelola dengan baik dan bertanggungjawab,” pungkasnya. (S-36)