AMBON, Siwalimanews – Kasus dugaan korupsi Anggaran Dana Desa (ADD) di Desa Karlutukara, sudah memasuki tahap pemeriksaan saksi di Pangadilan Tipikor Ambon, Rabu (27/1).

JPU Kejari Malteng, Asmin Hamja menghadirkan dua saksi, yakni Kepala Badan Pemberdayaan Desa Kabupaten Malteng, Ahmad Namakule dan Bendahara Kabupaten Malteng Hasni.

Saksi Ahmad Namakule menyebutkan, pengelolaan dana desa harus dilakukan sesuai dengan permusyawaratan. Maksudnya, pihak pemerintah negeri harus melibatkan saniri.

“Kita hanya memastikan rancangan belanja sudah melalui saniri, karena ada aturan dengan persetujuan bersama. Baru setelah itu ditandatangani kades dan sekdes,” ujar Namakule.

Dia memastikan, dokumen desa itu sudah selesai dan dana desanya pun bisa dicairkan. Padahal, di lapangan para terdakwa secara sepihak mencairkan dana desa, tanpa melibatkan badan saniri negeri.

Baca Juga: Bendahara Rumadurun Akui tak Terima Uang Perjalanan Rp 5 Juta

“Pada prinsipnya keabsahan rancangan keuangan dana desa sudah disetujui saniri. Kalau pencairan itu di rekening, jadi kita tidak tahu,” jelasnya.

Dikatakan, dialah orang yang menerima laporan realisasi penggunaan. Sementara laporan pertanggungjawaban tidak melalui dirinya. “Karena persyaratan penyaluran desa wajib membuat rencana anggaran saja,” ujarnya.

Alasan para terdakwa tidak mengetahui administrasi pengelolaan dana desa, menurutnya tidak masuk akal. Pasalnya, pada tahun pertama dana desa disalurkan hingga tahun berjalan,  pemerintah sudah melakukan sosialisasi dan pembinaan.

“Pemda lewat dinas teknis sudah lakukan sosialisasi dan pembinaan,” ucapnya.

Dia mengaku otoritas pencairan uang ada di tangan kades. Hal yang sama juga diakui saksi Hasni. Dia mengatakan, kepala desa yang memiliki wewenang melakukan pencairan uang. Setiap uang yang dicairkan pun tidak diketahui bendahara.  Lantaran, uang itu langsung masuk ke rekening milik mereka.

“Kades tidak pernah lapor kalau sudah cair. Setiap kali begitu, saya juga tidak tanya,” ujar Hasni.

Setelah pengakuan kedua saksi itu, sidang yang dipimpin majelis hakim Felix Wiusan, didampingi Yanti Wattimury dan Essau Yerisitouw selaku hakim anggota ditunda pecan depan dengan agenda yang sama.

Sebelumnya dalam dakwaan, Jaksa Penuntut Umum Asmin Hamja mengungkapkan, eks Raja Negeri Karlutukara Kabupaten Maluku Tengah, Matheos Erbabley bersama bendahara Theo Hengky Aliputy serta Sekretaris Negeri Hengky Rumawagtine telah memperkaya diri sendiri menggunakan uang Negara sebesar Rp. 215 juta.

Kata JPU, para terdakwa ini menyalahgunakan DD dan ADD Karlutukara, Kabupaten Maluku Tengah. JPU menyebut, para terdakwa telah melakukan perbuatan melawan hukum menggunakan ADD dan DD tanpa didukung bukti dan tidak ada realisasi kegiatan atau pengadaan barang, dan nilainya tidak sesuai dengan realisasi harga serta tidak sesuai anggaran pendapatan belanja  Negeri Karlutukata.

Dalam dakwaan jaksa menyebutkan, pada pertengahan bulan Juni sekitar tahun 2015, Karlutukaara mendapatkan DD sebesar Rp 271 juta dan ADD Rp. 87,7 juta. Totalnya senilai Rp. 360 juta.

Selanjutnya pada tahun 2016, Karlutukara mendapatkan DD sebesar Rp 608 juta dan ADD sebesar Rp 102 juta. Totalnya Rp. 711 juta.

Uang itu dicairkan secara bertahap. Pada tahun 2015 uang dicairkan sebanyak tiga tahap. Tahap pertama sebesar 40%, tahap kedua 40%, dan tahap ketiga sebesar 20%. Sedangkan pada tahun 2016, penyaluran DD dilakukan dua tahap yakni tahap pertama 60% dan tahap kedua 40%.

“Terdakwa Matheos secara sepihak mencairkan dana desa, tanpa melibatkan badan saniri negeri.

Padahal dana desa harus dilakukan sesuai dengan permusyawaratan,” beber jaksa. Hal itu diketahui, karena pada tahun 2015 dan 2016 tidak ada berita acara musyawarah antara pejabat pemerintahan negeri dan perangkat saniri negeri Karlutukara, Kecamatan Seram Utara Barat.

“Alasan para terdakwa karena mereka belum percaya kepada kepala seksi dari masing-masing bidang untuk mengelola anggaran DD. Sehingga hanya bendahara dan sekretaris yang diperintahkan untuk mengelola dana tersebut untuk dibelanjakan mata kegiatan,” ujar jaksa.

Para terdakwa memiliki uang yang bersumber dari DD dan mereka tidak mencatat dalam buku kas umum dan buku kas pembantu. Juga tidak ada bukti penyerahan uang tersebut, karena mereka belum mengetahui terkait administrasi keuangan negeri.

Berdasarkan hasil audit dari BPKP Maluku, kerugian Negara yang ditimbulkan dalam kasus tersebut senilai Rp. 215 juta. Selain itu, tidak ada bukti realisasi penggunaan anggaran dana desa dan alokasi dana desa, yang mana tidak sesuai dengan pihak-pihak penerima kegiatan atau belanja barang sebagaimana tertuang dalam rancangan anggaran belanja, sehingga terjadi penggelembungan harga barang.

“Jadi nota didalam pembuatan laporan pertanggungjawaban anggaran tersebut dilakukan seolaholah ada kegiatan pernyataannya tidak pernah dilakukan atau kegiatan yang fiktif,” kata jaksa.

Para terdakwa juga menulis jumlah barang dan jumlah harga belanja barang yang kenyataannya seluruhnya tidak benar, karena jumlah barang harga tidak sesuai dengan harga yang ada di toko. Juga tidak pernah diterima oleh pihak penerima toko.

Para terdakwa membuat mark up harga belanja pada kuitansi dan nota belanja dan membuat kuitansi dan nota belanja yang belum tertulis jumlah uang kepada para penerima untuk tanda tangan.

Sesuai RAB uang itu harusnya dilakukan untuk pembangunan jalansetapak sepanjang 300 meter pembangunan sarana dan prasarana serta pembangunan jalan tani. Namun pekerjaan itu tidak selesai.

Ketiganya dijerat dengan pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 jo Pasal 18 UU nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana jo Pasal 64 ayat (1) KUH Pidana. (S-49)