AMBON, Siwalimanews – Diam-diam Kejaksaan Tinggi Maluku mengusut dugaan tindak pidana korupsi tambang pasir granit di Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah.

Jaksa menduga ada praktik korupsi dalam proses perijinan tambang milik PT Waragonda Mineral Pratama (WMP) ini.

Kasus ini dibidik Kejati Maluku berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Kepala Kejati Maluku nomor Print-03/Q.1/Fd.2/02/2025 tanggal 19 Februari 2025.

Kejaksaan Tinggi Maluku bahkan telah melayangkan panggilan kepada Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Abdul Haris, guna dimintai keterangan kasus tersebut.

Informasi yang diperoleh Siwalima di Pemprov Maluku, Kadis ESDM mestinya dimintai keterangan pada Kamis (6/3) lalu. Kadis bahkan diminta untuk membawa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan izin kepada perusahaan tersebut, dan dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan kasus tambang.

Baca Juga: Dugaan Keterlibatan Sadli Ie di Proyek Reboisasi Kejati Mesti Responsif

Kepala Dinas ESDM Maluku Abdul Haris, yang dikonfirmasi Siwalima, Selasa (11/3) usai me­-nghadiri pelantikan tim penggerak PPK se Maluku membenarkan dirinya telah menerima surat panggilan dari Kejati.

Haris mengatakan surat panggilan Kejati Maluku tersebut telah diterimanya sejak pekan lalu, namun sampai saat ini masih menunggu informasi lanjutan.

“Sudah saya terima surat panggilan itu dari Minggu lalu, tapi saya belum hadir karena masih menunggu informasi ulang terkait waktu pemberian keterangan,” ungkap Haris.

Menurutnya, jika sudah ada infomasi lanjutan dari Kejati Maluku terkait waktu maka dirinya akan hadir untuk memberikan keterangan dalam kapasitasnya sebagai Kepala Dinas ESDM.

Kendati telah menerima surat panggilan namun Haris mengaku belum mengetahui kasus galian C di Kabupaten Maluku Tengah mana yang sedang diusut Kejati.

“Saya juga belum tahu di Kabupaten Maluku Tengah mana yang dimaksudkan Kejati, sebab dalam surat itu tidak disampaikan. Makanya saya tunggu waktu saja,” jelasnya.

Haris memastikan dirinya akan kooperatif jika dipanggil Kejati guna memberikan keterangan terkait kasus yang diusut.

“Sebagai warga negara harus kooperatif,” terangnya.

Sementara itu Asisten Tindak Pidana Khusus Triono Rahyudi mau­pun Kasi Penkum dan Humas Kejati Maluku, Ardy yang dikonfir­masi Siwalima di kantor tidak berada di tempat, begitu juga melalui te­lepon selulernya namun tidak respon.

Tuntut Cabut Izin

Sementara itu puluhan warga yang tergabung didalam Gerakan Masyarakat Adat Haya (GEMAH) menggelar aksi di Kantor Bupati Malteng,Rabu (12/3).

Mereka melakukan longmarch dari Tugu Pamahanu Nusa pada pukul 12.15 WIT, diawali dengan doa yang dipimpin Ustad Iwan Tuahan.

Mereka kemudian berjalan menuju Kantor Bupati Malteng, dikawal ketat aparat kepolisian.

Namun, massa tidak dapat masuk ke halaman kantor karena gerbang ditutup dan dijaga ketat oleh Satpol PP dan aparat kepolisian.

Meskipun demikian, para demonstran tetap menyampaikan orasi terkait dugaan perusakan lingkungan dan pelanggaran adat oleh PT WMP

Aksi berjalan kondusif, dengan pengamanan dari pihak kepolisian. Koordinator demo Reza Wailissa dalam tuntutannya kepada Wakil Bupati Malteng menuntut ganti rugi atas perusakan sasi adat senilai Rp 9.999.999.999.

Mereka juga meminta DPRD Malteng mengeluarkan rekomendasi dan mencabutan izin usaha PT WMP.

Mereka juga mendesak Bupati Malteng mengajukan rekomendasi pencabutan izin PT WMP kepada pemerintah provinsi dan pusat.

Serta meminta Polres Malteng menangkap dan memproses karyawan PTWMP yang diduga terlibat dalam perusakan sasi adat Negeri Haya serta menuntut Polres Malteng membebaskan dua warga yang ditahan.

Akan Evaluasi

Sementara itu, Wakil Bupati Malteng, Mario Lawalata saat menemui para pendemo  berjanji akan mengevaluasi tuntutan mas­-yarakat Negeri Haya, Kecamatan Tehoru, yang menuntut pencabutan izin usaha PT WMP.

“Kami menerima semua aspirasi yang disampaikan dan akan mengevaluasi ulang bersama Bupati Malteng. Saya memahami perasaan masyarakat, tetapi proses ini membutuhkan waktu dan kajian mendalam,” ujar Lawalata kepada massa aksi.

Lawalata juga meminta perwakilan masyarakat terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk memastikan perkembangan tuntutan mereka.

Pernyataan ini disampaikan setelah GEMAH menyerahkan pernyataan sikap resmi yang berisi tuntutan pencabutan izin perusahaan, ganti rugi atas perusakan sasi adat, serta pembebasan dua warga Haya yang ditahan oleh Polres Malteng.

Serobot Sasi

Diberitakan sebelumnya, Kantor dan sejumlah aset WMP, Minggu (16/2) malam, dibakar warga Haya, Kecamatan Tehoru, Kabupaten Maluku Tengah. Aksi pembakaran ini dilakukan lantaran sasi adat yang dibikin warga Haya, dirusak oknum karyawan PT WMP.

Perusahaan penambangan pasir granit yang beroperasi di Negeri Haya ini, sebelumnya telah ditutup paksa oleh warga secara adat atau disasi, Sabtu (15/2) pagi. Hal ini menyebabkan kemarahan warga yang berakhir dengan pembakaran.

Informasi yang berhasil dihimpun Siwalima, Senin (17/2) menjelaskan pembakaran Kantor PT WMP terjadi pada minggu, (16/2) malam, sekitar pukul 22.00 WIT.

Akibatnya, sejumlah fasilitas penting milik perusahaan yang beroperasi diatas lahan seluas 25.73 hektar di Negeri Haya ini hangus terbakar.

“Ada beberapa warga masyarakat Negeri Haya sekitar 10 sampai 15 orang, datang ke perusahaan menanyakan pengrusakan fasilitas sasi adat, yang ditempatkan di depan pintu masuk PT WWP oleh Tawakal Somalua, salah satu karyawan perusahaan yang juga warga Negeri Haya,” ujar sumber yang meminta namanya tidak ditulis.

Mereka mendatangi Security PT Waragonda, Nijam Samalehu untuk menanyakan sekaligus mencari keberadaan Tawakal Somalua yang melakukan pengrusakan fasilitas sasi adat.

Beberapa saat setelah mendatangi security perusahaan, kelompok warga Haya ini mendatangi rumah atau kediaman Tawakal Somalua, akan tetapi mereka tidak menemui yang bersangkutan.

Tidak berhasil menemukan Tawakal Somalua, kelompok warga ini kembali ke perusahaan. Adu mulut-pun tidak terelakan, beberapa dari mereka mulai anarkis dan melakukan pengrusakan.

Security perusahaan sempat mencoba menenangkan mereka, namun tidak berhasil. Akibatnya aksi pembakaran pun terjadi, hi­-ngga menghanguskan ruang uta­-ma kantor serta fasilitas lainnya.

Pasang Sasi

Sehari sebelumnya, warga Negeri Haya melakukan aksi sasi kantor PT WWP, Sabtu (15/2) memprotes aktivitas pengangkutan pasir merah di pesisir pantai yang dianggap merusak lingkungan dan merugikan masyarakat.

Warga mendatangi perusahaan dengan memakai atribut adat berupa kain merah yang diikat di kepala dan menjegel pintu masuk kantor PT WWP dengan menggu­nakan daun kelapa dan kain merah.

Sebagai simbol penolakan, masyarakat membentangkan janur kuning di gerbang masuk peru­sahaan. Pelepah nyiur diikat pada tiga tiang penyangga dengan potongan berang di berbagai sisi-tanda larangan adat atau sasi, yang berarti kawasan tersebut tidak boleh disentuh atau dimasuki sebelum keputusan adat. (S-17/S-26)