KRISIS pangan global sudah di depan mata dan semakin nyata jika dibandingkan dengan ketika awal pandemi covid-19 2020. Dua tahun dihantam covid-19, sistem pangan global masih cukup resiliensi walaupun sistem logistik global terganggu. Kenaikan harga pangan global masih dapat diredam karena kinerja produksi di beberapa negara tidak terlalu buruk. Harga rata-rata beras di Indonesia masih cukup stabil, yakni Rp11.800/kg selama dua tahun, sehingga peringatan krisis pangan oleh banyak lembaga internasional sering dianggap ringan. Akan tetapi, disrupsi dan hantaman terhadap sistem pangan global demikian dahsyat. Banyak produsen pangan dilanda kekeringan sehingga harga jagung dan kedelai mulai beranjak naik. Terlebih lagi setelah invasi Rusia ke Ukraina, kenaikan harga pangan semakin liar. Sebagai produsen energi yang besar, konflik Rusia-Ukraina melonjakkan harga energi, khususnya minyak bumi dan gas. Minyak bumi menjadi penopang utama sistem logistik dan perdagangan global.

Gas menjadi bahan baku produksi pupuk urea atau salah satu input penting bagi sistem produksi pangan. Artikel ini menganalisis pendekatan sistem pangan dan menawarkan solusi krisis pangan global dengan melakukan transformasi sistem pangan yang objektif dan beradab.   Ekonomi pangan global Sejak awal 2022, ekonomi pangan global menghadapi fenomena yang cukup dahsyat karena kenaikan harga pangan begitu liar. Harga gandum naik lebih dari dua kali lipat dari rata-rata US$280/ton pada 2021 menjadi US$650/ton pada Mei 2022. Harga minyak nabati global naik sangat liar, bahkan sejak covid-19 pada awal 2020 yang nyaris setara dengan kondisi ketika krisis pangan global pada 2008. Harga minyak sawit mentah (CPO) melonjak dari rata-rata US$1.131/ton menjadi US$1.717/ton pada Mei 2022. Harga minyak rapa (rape seed oil) yang banyak diproduksi di Eropa telah mendekati US$1,900 per ton, suatu rekor kenaikan harga amat tinggi. Indonesia sebagai produsen CPO terbesar bahkan mengalami lonjakan harga minyak goreng sampai di atas Rp20.000/liter yang sempat menimbulkan persoalan soial-ekonomi politik. Tanpa harus menampilkan seluruhnya, secara umum, harga beberapa komoditas pangan biji-bijian dan minyak nabati melonjak sangat tinggi sejak invasi Rusia ke Ukraina.

Persoalan geopolitik di Eropa Timur itu bersenyawa dengan disrupsi rantai nilai pangan yang bermasalah sejak pandemi covid-19. Untungnya, harga beras global yang sempat tinggi sejak covid-19 justru mulai stabil. Kinerja produksi beras Thailand, Vietnam, cukup baik dan berkontribusi pada stabilisasi harga beras global. Di dalam negeri, produksi beras pada 2021 mulai pulih walau luas panen turun drastis 245 ribu hektare (2,35%) dari 10,66 juta hektae pada 2020 menjadi 10,41 juta hektare pada 2021. Menurut data Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) pada 2021, kinerja pertumbuhan produksi pertanian global periode 2011-2020 hanya 2,08% per tahun atau paling rendah selama lebih setengah abad terakhir. Pada periode 2001-2010, kinerja pertumbuhan produksi pertanian global tumbuh 2,68% walaupun sempat dihatam krisis pangan pada 2008.

Dari ukuran produktivitas total (TFP), kinerja pertumbuhan TFP itu merupakan paling rendah. Di sisi lain, ekspansi atau perluasan lahan pangan global merupakan yang paling besar selama 60 tahun yang menjadi ancaman serius bagi masa depan berkelanjutan pertanian global. Sistem pangan dianggap berkontribusi pada 33% dari emisi CO2 dan perubahan iklim global. Sistem pangan juga dianggap mengonsumsi air terlalu banyak, menghasilkan polusi, dan tidak berkelanjutan. Demikian juga perubahan lahan gambut untuk pertanian, utamanya melalui pengeringan, gas metana dari ternak, nitrogen oksida dari penggunaan pupuk, karbon dioksida dari traktor, dan sistem produksi pupuk. Tren produksi pertanian seperti ini hanya dapat dibalik dengan perubahan teknologi intensifikasi yang berkelanjutan.

Strategi transformasi Sistem pangan perlu ditransformasi agar mampu mencapai outcome ketahanan pangan dan kesehatan lingkungan secara umum. Sistem pangan ke depan harus lebih komprehensif dan berkelanjutan, meliputi aktivitas produksi, pengolahan, distribusi, perdagangan, hingga konsumsi pangan. Hasil akhir dari sistem pangan tersebut ialah ketahanan pangan yang meliputi dimensi ketersediaan, akses, serta pemanfaatan pangan. Dalam visi keberlanjutan, sistem pangan juga membawa hasil outcome berupa: pertama, kesejahteraan sosial yang meliputi lapangan kerja, tingkat penghasilan, modal manusia, modal sosial, modal politik. Kedua, kesehatan lingkungan yang meliputi stok-aliran ekosistem, jasa ekosistem, modal alam, dll.

Baca Juga: Urgensi Regulasi Telemedicine dalam Pelayanan Kedokteran

Dalam konteks Presidensi G-20, Indonesia telah berkomitmen melaksanakan sistem pangan perkelanjutan dan tangguh (sustainable and resilient food systems/SRFS). SRFS merupakan suatu strategi tansformasi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi untuk dapat berkontribusi pada pola makan sehat dan seimbang. SRFS juga sangat kompatibel dengan pengentasan kemiskinan, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, konservasi ekosistem, mitigasi, dan adaptasi perubahan iklim. Sistem produksi pangan dengan penggunaan pupuk kimia, pestisida berlebihan, dan alih fungsi hutan alam menjadi sistem pertanian super intensif tidak mampu berkelanjutan.

Strategi berikutnya ialah pengembangan sistem pangan berkelanjutan dari lahan ke meja makan, dari hulu ke hilir, yang mampu menghasilkan pangan dan produk pertanian lain tanpa deforestasi dan disertasi konversi habitat. Sistem pangan dan pemanfaatan lahan berkelanjutan akan mampu memulihkan tanah dan lahan terdegradasi kembali ke alam serta ekosistem yang menghasilkan tambahan produktivitas. Strategi transformasi seperti ini saling berhubungan sehingga solusinya juga perlu dikembangkan secara terintegrasi.   Rekomendasi kebijakan Pertama, peningkatan produktivitas pangan dan pertanian melalui: penggunaan input kimia yang lebih rendah dan pemberdayaan petani kecil.

Langkah peningkatan produktivitas, tidak hanya relevan untuk pangan pokok beras, jagung, minyak nabati, tapi juga hortikultura bernilai tinggi. Kedua, perubahan teknologi pertanian, termasuk bioteknologi modern dan bahkan produk rekayasa genetika (PRG) atau genetically modified organism (GMO). Namun, tidak banyak pihak atau pengambil kebijakan yang siap mengadopsi dan mengembangkan produk rekayasa genetika (PRG) untuk sistem pangan-pertanian karena sikap kekhawatiran yang berlebihan. Ketiga, perbaikan kesehatan tanah (soil health) untuk mendukung strategi sistem pangan tangguh dan berkelanjutan (SRFS), misalnya, melalui pengembangan pertanian organik, kombinasi, serta keseimbangan penggunaan pupuk organik, dll. Transformasi sistem pangan amat diperlukan untuk berkontribusi strategi antisipasi dan mitigasi menghadapi krisis pangan yang sebenarnya.Oleh: Bustanul Arifin  Guru Besar Unila, ekonom Indef, dan Ketua Umum Perhepi