AMBON, Siwalimanews – Sedikitnya tiga saksi kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Sekertaris Dinas Pariwi­sata Maluku,  Salmin Saleh terhadap siswa magang telah dicerca Unit Perlindungan Perempuan dan Anak Satreskrim Polresta Pulau Ambon.

Pemeriksaan saksi dilakukan sejak Senin (9/9) kemarin ini bertujuan untuk menggali petunjuk yang mengarah ke dugaan tindak pidana yang dilakukan SS.

“Sejauh ini sudah tiga saksi yang dimintai keterangan, dan berkemungkinan ada tambahan saksi yang dimintai keterangan,” jelas Kasi Humas Polresta Ambon, Ipda Jane Luhukay kepada wartawan di Ambon, Selasa (10/9).

Digali lebih jauh soal progres kasus, Luhukay belum dapat membuka lebih banyak lantaran lasus tersebut masih dalam tahap penyelidikan.

“Sementara rogres masih berjalan di tahap penyelidikan, nanti kalau ada perkembangan  lanjut akan kita sampaikan lagi,” tandasnya.

Baca Juga: Dewan Desak Kejati Usut Kasus 15 Paket Dikbud

Sebelumnya, Penyidik Satreskrim Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease mulai melakukan penyelidikan atas laporan dugaan pencabulan anak dibawah umur yang dilakukan oleh sekertaris dinas Pariwisata Maluku, Salmin Saleh.

Penyelidikan dilakukan setelah keluarga korban melaporkan kasus tersebut, Sabtu (7/9) yang ter register dalam LP/B/327/IX/2024/SPKT/Resta Ambon/Polda Maluku.

“Benar laporannya sudah masuk dan saat ini kita sementara melakukan penyelidikan, hari ini anggota ke TKP untuk mengambil rekaman CCTV,” jelas Kasat Reskrim Polresta Ambon, AKP La Belly yang dikonfirmasi redaksi wartawan di Mapolresta Ambon, Senin (9/9).

Selain mengambil rekaman CCTV, La Belly mengaku pihaknya juga telah menggarap keterangan sejumlah saksi guna memperkuat petunjuk penyelidikan.

“Jadi selain mengambil CCTV kita ke TKP untuk cari saksi-saksi yang bisa diminta keterangan sebagai petunjuk,” ujarnya.

FPPI Desak Copot

Diduga lakukan pelecehan seksual terhadap siswi magang di Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Sekertaris Dinas Parawisata Provinsi Maluku harus dicopot.

Ketua DPD Forum Pemberdayaan Perempuan Indonesia (FPPI) Pro­vinsi Maluku, Vonny Litamahuputty kepada Siwalima di Ambon, Selasa (10/9) mendesak, Penjabat Gubernur Maluku, Sadli Ie dapat mengambil sikap berupa sanksi tegas kepada yang bersangkutan.

“Pemberian sanksi tegas berupa penonaktifannya dari jabatan selaku Sekdis, karena korban juga telah melapor peristiwa itu. Selain itu dengan sanksi tegas itu, juga akan menguatkan proses pemulihan korban, meneguhkan keberanian korban-korban lain pada peristiwa serupa agar juga mau melaporkan kasusnya, dan juga menjadi pen­cegah kekerasan seksual berulang terjadi,”ujarnya.

Sebagai pihak yang juga konsen terhadap peristiwa-peristiwa ter­sebut, Litamahuputty mengatakan, pelaporan kasus kekerasan seksual, masih menjadi fenomena “gunung es” yang sebenarnya lebih banyak yang tidak dilaporkan atau diadukan karena ada rasa ketakutan dan sebagainya. Untuk itu, patut diapresiasi juga bagi korban-korban yang memberanikan diri untuk melapor.

“Kami tentu akan mendukung korban yang telah berani bersuara, kami juga akan mendukung sepenuhnya keluarga korban untuk terus mengawal proses hukum yang telah berlangsung saat ini,”ujarnya.

Diketahui para aktivis perempuan di Maluku, mengapresiasi dan mendukung upaya korban untuk memperjuangkan keadilannya melalui mekanisme hukum yang tersedia, baik pidana maupun administrasi.

Selain itu, FPPI juga mendukung dan merekomendasikan kepolisian untuk melakukan penyidikan kasus ini secara transparan dan profe­sional, serta bekerja sama dengan lembaga layanan pemulihan korban, dan juga mengajak Kementerian/Lembaga untuk turut mendukung pengembangan kebijakan dan mekanisme pencegahan dan pena­nganan kekerasan seksual ditempat kerja, juga dan memberikan sanksi tegas kepada pelaku dan jaminan hak korban, juga optimalkan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA).

“Pengadaan UPTD untuk menangani kasus kekerasan seksual telah dimandatkan dalam UU TPKS, itu berarti anggaran harus disiapkan pemerintah untuk infrastruktur, misalnya, pemerintah daerah juga perlu menyiapkan SDM, tempat dan mekanisme layanan, meningkatkan kapasitas SDM-nya, kemudian membuat mekanisme layanan, kemudian juga memastikan infrastruktur yang ada,”ujarnya.

Dia menambahkan, bahwa kasus kekerasan seksual memang dapat diproses secara hukum. Namun infrastruktur layanan yang belum memadai, membuat pemenuhan hak korban belum optimal.

Padahal selama ini, P2TP2A dan UPTD PPA sudah ada, namun belum maksimal.

“Kecuali karena keterpanggilan perempuan-perempuan hebat yang ada di P2TP2A dan lembaga layanan serta aktivis perempuan yang konsern terhadap masalah keke­rasan terhadap anak dan perem­puan. Karena itu FPPI mempercayai komitmen dari seluruh pihak untuk sama-sama menghadirkan pela­yanan yang optimal bagi korban. Dan saya mau bilang, please stop perilaku cabul, terutama bagi oknum-oknum pejabat di daerah ini,”pintanya. (S-25)