AMBON, Siwalimanews – Tiga pejabat Politeknik Negeri Ambon dituntut bervariasi oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Ambon dalam persidangan di Pengadilan Tipikor, Rabu (17/7).

Tiga pejabat Poltek yaitu, terdakwa Fentje Salhuteru dituntut 2 tahun pen­jara, Wakil Direktur Bidang Umum dan Keuangan, Wilma Anggliani Ferdinan­dus dan Christina Siwalette yang me­rupakan PPK dituntut 1,6 tahun penjara.

Para terdakwa ini dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi anggaran Daftar Isian Pelaksa­naan Anggaran (DIPA) untuk belanja barang dan jasa pada Politeknik (Poltek) Negeri Ambon Tahun 2022 sebesar Rp 72 miliar.

Selain itu, ketiga pejabat Poltek Ambon ini dituntut tanpa membayar uang pengganti, sebab secara keseluruhan nilai kerugian negara tersebut telah dikembalikan tetapi membayar denda sebesar Rp50 juta, subsider 6 bulan penjara.

Tuntutan JPU tersebut dibacakan dalam persidangan yang diketuai hakim Wilson Shriver  didampingi dua hakim anggota, Agustina Lamabelawa dan Agus Hairulah.

Baca Juga: Jaksa Tuntut Mantan Kadis Infokom 4 Tahun Penjara

Dalam Tuntutannya yang dibacakan tim JPU Kejari Ambon itu, menyatakan ketiganya telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama, sebagaimana diatur dan diancam dalam pasal 3 juncto pasal Pasal 18 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Un­dang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat ke 1 KUHPidana.

Usai mendengar tuntutan JPU, Hakim kemudian menutup persida­ngan dan akan  dilanjutkan pada 31 Juli mendatang dengan agenda pembelaan.

Peran Dibeberkan

Sebelumnya, JPU dalam dakwa­annya menyatakan, awalnya ter­dakwa Fentje Salhuteru (Pejabat Penandatanganan Surat Perintah Pembayaran), diduga melakukan tindak pidana korupsi dengan modus operandi bersama terdakwa Wilma Enggliani Ferdinandus alias Ema dan Saksi Christina Siwalette, dengan sepengetahuan terdakwa Fentje Salhuteru membuat kebijakan terhadap beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh lima penyedia atas paket pekerjaan.

Politeknik Negeri Ambon Tahun Anggaran 2022, membuat kegiatan pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai dengan nilai yang diperta­nggungjawabkan sehingga meng­akibatkan adanya selisih pemba­yaran dan sisa dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dan melakukan Proses pembayaran kepada Penyedia Barang/Jasa dan Pelaksana Kegiatan di internal Politeknik Negeri Ambon tidak sesuai ketentuan.

Menurut JPU perbuatan tersebut merupakan tindakan memperkaya diri sendiri yaitu terdakwa Fentje Salhuteru, dan memperkaya orang lain yakni Wilma Enggliani Fer­dinandus alias Ema dan Saksi Christina Siwalette, atau setidak-tidaknya telah memperkaya diri orang lain atau suatu korporasi, yang dapat merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara.

Berdasarkan Laporan hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penggunaan DIPA untuk Belanja Barang dan Belanja Modal pada Politeknik Negeri Ambon Tahun Anggaran 2022 Nomor PE.03.03/R/SP-148/PW25/5/2024 tanggal 12 Januari 2024 yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Yunaedi selaku Kepala Perwakilan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Maluku (BPKP) dengan nilai keru­gian Keuangan Negara sebesar Rp. 866,337,951,00.

Perbuatan tersebut dilakukan oleh para terdakwa dengan cara-cara yaitu, pada Tahun 2022 Politeknik Negeri Ambon menerima Anggaran Rutin dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi yang masuk dalam DIPA Politeknik Negeri Ambon sesuai Revisi terakhir Nomor: 023.18.2.677617/2022 tang­gal 06 Desember 2022 sebesar Rp. 72.701.339.000. yang bersumber dari: APBN Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebesar Rp 61,976,517,000 dan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp. 10.724.822.000.

Dimana rincian alokasi anggaran kegiatan pada Politeknik Negeri Ambon yang bersumber dari APBN Kementerian Pendidikan, Kebuda­yaan, Riset dan Teknologi dan PNBP yang masuk pada DIPA Poltek realisasi belanja barang dan belanja modal sebesar Rp. 25,407,273,184,00 itu ada kegiatan belanja barang berupa belanja bahan, belanja ba­rang non operasional lainnya.

Selanjutnya belanja barang ope­rasional lainnya, belanja hari-hari perkantoran dan belanja modal berupa belanja sarana prasarana pembelajaran dan belanja sarana 0endukung pembelajaran sebesar Rp. 8,284,380,638,000, yang terdiri dari pemilihan/penunjukan enam penyedia barang/Jasa yaitu CV. Sejahtera Abadi, CV. Aboy Innovation Technology, CV. Empat Permata, CV. Kwimba, CV. Surya Abadi Pratama, dan Toko Fajar Gemilang Mandiri dilaksanakan sebanyak 308 paket dengan total nilai kontrak/kwitansi sebesar Rp. 8.241.336. 638,00,

Kemudian terdakwa Milma mem­buat Surat Pernyataan Tanggung­jawab Mutlak dan meminta puluhan pegawai Poltek untuk menandata­ngani Surat Pernyataan Tanggung­jawab Mutlak tersebut padahal, anggaran kegiatan yang diserahkan ke masing-masing pelaksana kegia­tan tidak sesuai dengan Surat Per­nyataan Tanggung Jawab Mutlak yang ditandatanganinya bahkan masih dengan dalih adanya pemo­tongan Fee 3% dan potongan pajak.

Kemudian terdakwa Wilma Enggi­lani Ferdinandus alias Ema mema­ngkas lebih dari nilai perhitungan fee 3% dan potongan pajak terhadap beberapa kegiatan yang dilaksana­kan oleh beberapa pelaksana ke­giatan sehingga terdapat selisih pembayaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sebesar Rp. 254,426 651.

Dari selisih pembayaran atas kegiatan yang anggarannya dise­rah­kan tidak sesuai dengan Surat Pernyataan tanggung Jawab Mutlak yang ditandatangani oleh pelaksana kegiatan pada Politeknik Negeri Ambon/yang dipangkas oleh Ter­dakwa Wilma Enggliani Ferdinandus alias Ema tersebut diatas sebesar Rp. 254,426,651. Terdakwa Wilma Enggliani Ferdinandus alias Ema tidak dapat mempertanggung­ja­wabkan penggunaannya.

Tak hanya itu, untuk beberapa kegiatan yang dilaksanakan oleh sejumlah saksi ternyata ada kegia­tan yang pembelanjaannya tidak sesuai dengan dana yang diterima dan ada beberapa kegiatan yang tidak dilaksanakan oleh Pelaksana Kegiatan sehingga terdapat sisa dana yang tidak dapat dipertang­gungjawabkan sebesar Rp. 235, 515,866. dengan uraiannya sebagai berikut: Sisa dana yang tidak atas 8 kegiatan dengan total anggaran sebesar Rp. 252,000.000, tersebut seharusnya dikerjakan oleh CV. Empat Permata namun dalam pe­laksanaannya diambil alih oleh Saksi Christina Siwalette dan atas peng­ambilalihan paket-paket kegiatan tersebut saksi Christina Siwalette kemudian memberikan fee 3% dari masing-masing kegiatan kepada Benhard Limba selaku Direktur CV. Empat Permata sehingga tersisa anggaran sebesar Rp. 218,884,910 dan dari anggaran tersebut atas kebijakan terdakwa Fentje melalui Memo Nomor 145 tanggal 19 Desember 2022 pada Saksi Christina Siwalette dikeluarkan Rp. 80,000.000 untuk menambah kekurangan uang wisuda, sehingga terhadap kegiatan tersebut terdapat selisih Dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan penggunaannya oleh Saksi Christina Siwalette sebesar Rp. 218, 884,910.

Dengan demikian untuk memper­tanggungjawabkan penggunaan anggaran dan untuk menutupi bahwa kegiatan seolah-olah dilak­sanakan oleh penyedia/pihak ketiga.

Terdakwa Wilma Enggliani Fer­dinandus alias Ema Selaku Pejabat Pembuat Komitmen Rutin dan Saksi Christina Siwalette. selaku Pejabat Pembuat Komitmen Kegiatan Pengadaan Barang dan jasa (PPK PBJ) dengan sepengetahuan Saksi Fentje Salhuteru membuat Kwitansi/ Bukti pembayaran dengan melam­pirkan Berita Acara pemeriksaan Barang dan Tanda Terima Barang yang kemudian ditandatangani bersama Terdakwa Wilma Enggliani Ferdinandus alias Ema dan Saksi Christina Siwalette, Penyedia dan Penerima Barang.

Bahwa dari pelaksanaan kegiatan Belanja Rutin berupa Belanja bahan, Belanja Barang Non Operasional Lainnya, Belanja Barang Operasio­nal lainnya dan belanja Hari-hari Perkantoran dan Belanja Modal berupa Belanja Sarana Prasarana Pembelajaran dan Belanja Sarana Pendukung Pembelajaran sebesar Rp. 8,284,380,638,000, ditemukan adanya selisih pembayaran yang tidak dapat dipertanggungjawab­kan sebesar Rp. 254,426,651, sisa dana ke­giatan yang tidak dapat diper­tanggungjawabkan sebesar Rp. 463,200,784,00 dan terdapat pem­berian fee 3% kepada Penyedia/Pihak Ketiga sebesar Rp. 148,710, 516,00 sehingga secara keseluruhan berjumlah sebesar Rp. 866.337. 951.00 dimana ketiga terdakwa melakukan Proses pembayaran kepada Pelaksana Kegiatan di internal Politeknik Negeri Ambon tidak sesuai ketentuan dan adanya pem­belanjaan oleh pelaksana kegiatan yang tidak sesuai dengan anggaran yang diterima maupun adanya ke­giatan yang tidak dilaksanakan me­ngakibatkan adanya selisih pembayaran dan adanya sisa dana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga bertentangan dengan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Pasal 3 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatuhan.

Selanjutnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 18 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

Akibat perbuatan terdakwa Wilma Enggliani Ferdinandus alias Ema bersama-sama Saksi Fentje Salhuteru dan Saksi Christina Siwalette menimbulkan kerugian keuangan negara dalam pengelolaan anggaran DIPA untuk Belanja Barang dan belanja Modal pada Politeknik Negeri Ambon Tahun Anggaran 2022 sebesar Rp. 866,337,951,00 sebagaimana Laporan nasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Penggunaan DIPA untuk Belanja Barang dan Belanja Model pada Politeknik Negeri Ambon Tahun Anggaran 2022 Nomor: PE.03.03/R/SP-148/PW25/5/2024 tanggal 12 Januari 2024 yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Yunaedi selaku Kepala Perwakilan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Perwakilan Provinsi Maluku (BPKP), atau setidak- tidaknya sekitar jumlah itu.

Kata JPU terhadap adanya kerugian Keuangan Negara sebesar Rp866,337,951,00 tersebut telah dilakukan pengembalian sejumlah Rp 605,735,000. (S-26)