Takdir Mahmoud Abbas Pasca Perang Gaza
SETELAH negosiasi tak langsung selama berbulan-bulan, dimediasi Qatar, Mesir, dan AS di Doha, gencatan senjata Israel dan Hamas dicapai. Kendati PM Israel Benjamin Netanyahu mengatakan gencatan senjata tiga fase itu tidak berarti Israel akan mengakhiri perang, hal itu sulit dilakukan.
Pernyataan Netanyahu tak lebih dari upayanya menjaga kelangsungan hidup koalisi pemerintahannya yang terancam ambruk bila dua partai pimpinan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich mundur dari koalisi.
Terkait dengan Gaza pascaperang, muncul pertanyaan siapa yang akan memerintah enklave itu? Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan Otoritas Palestina (OP) di bawah Presiden Mahmoud Abbas akan mengambil alih Gaza dengan dukungan negara-negara Arab. Gagasan itu ditolak Netanyahu. Ia menghendaki entitas baru Palestina non-OP dan non-Hamas yang akan berkuasa di Gaza. Uni Emirat Arab mendukung posisi Israel dengan menawarkan Mohammad Dahlan asal Gaza yang mengasingkan diri di UEA karena berselisih paham dengan Abbas.
Baca juga :
Karena menyadari skenario Israel-UEA itu, sejak Desember Abbas mengerahkan pasukan keamanan nasional untuk menghadapi kelompok-kelompok bersenjata Palestina yang sedang melawan militer Israel (IDF) di Tepi Barat. Berikut, pada 1 Januari 2025, Abbas juga memerintahkan penutupan kantor jaringan media Al Jazeera. Yang dilakukan OP sama persis dengan apa yang dilakukan pemerintahan Netanyahu. Tak mengherankan Hamas mengecam keras kebijakan Abbas.
Baca Juga: Maluku Meraih Mimpi: Pemimpin Baru, Harapan BaruSejak pecah perang Hamas-Israel pada 7 Oktober 2023, pemukim ilegal bersenjata di Tepi Barat dengan kawalan IDF melancarkan serangan-serangan terhadap warga Palestina guna merampas tanah mereka. Pada Juli 2024, tak lama setelah Mahkamah Internasional (ICJ) menyatakan pendudukan Israel di Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur dan Gaza ialah ilegal, ICJ memerintahkan rezim Zionis membongkar permukiman Yahudi di wilayah itu serta memberikan kompensasi kepada warga Palestina yang terusir dari tanah mereka. Mengapa Abbas terkesan bekerja sama dengan Israel ketika popularitasnya di kalangan Palestina meredup?
Abbas melakukan itu, selain untuk membuyarkan skenario UEA-Israel, juga sebagai antisipasi terhadap pergantian pemerintahan AS dari Joe Biden kepada Donald Trump pada 20 Januari. Pada periode pertama pemerintahannya (2017-2021), Trump meluncurkan konsep perdamaian Israel-Palestina yang disebutnya sebagai ‘perdamaian abad ini’. Namun, konsep itu melecehkan dan merugikan perjuangan Palestina sehingga Abbas menyebutnya sebagai ‘tamparan abad ini’. Dengan memerangi kelompok bersenjata Palestina, Abbas ingin Trump melihat OP yang didominasi faksi Fatah tetap relevan sebagai mitra yang kredibel bagi penyelesaian isu Palestina.
Baca juga :
Hal itu disebabkan Hamas, yang dilabeli sebagai organisasi teroris oleh Israel, AS, dan Uni Eropa, tak mungkin dijadikan mitra perundingan untuk masa depan Palestina. Abbas menutup kantor Al Jazeera karena bersikap kritis terhadap OP. Memang Qatar, pemilik Al Jazeera, bersama Turki membentuk ‘poros perubahan’ yang mendukung Ikhwanul Muslimin dengan Hamas ialah bagian mereka. Pada saat bersamaan, Hamas juga bagian dari ‘poros perlawanan’ pimpinan Iran.
Antiperjuangan bersenjata
Abbas lahir di Safet, Palestina, pada 1935. Pada 1948 saat Israel memproklamasikan kemerdekaan yang diikuti pembumihangusan 530-an desa Palestina, dikenal sebagai ‘Nakba’ atau ‘Malapetaka’, Abbas hijrah ke Suriah. Di sana ia menyelesaikan pendidikan menengah hingga memperoleh gelar sarjana hukum dari Universitas Damaskus.
Abbas menyelesaikan pendidikan pascasarjana dari Universitas Patrice Lumumba di Moskow, Rusia, dengan tesis The Other Side: The Secret Relationship Between Nazism and Zionism. Kendati tesis itu menyamakan Nazisme dan Zionisme, sejak awal Abbas tak percaya pada perjuangan bersenjata melawan rezim Zionis Israel yang didukung AS dan negara-negara kuat Eropa.
Karena itu, kendati sudah bersahabat dengan Yasser Arafat sejak awal 1960-an ketika menjadi pegawai di Kementerian Pendidikan di Qatar, Abbas tidak diperhitungkan di antara tokoh Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pimpinan Arafat. Ia baru menjadi anggota Komite Eksekutif PLO pada 1983, setahun setelah PLO terusir dari Libanon oleh invasi Israel, dan relevansi perjuangan bersenjata Palestina mulai dipertanyakan.
Baca juga :
Setelah menerima pandangan Abbas untuk beralih pada perjuangan politik, pada 1988 untuk pertama kalinya PLO mengakui eksistensi Israel dengan konsekuensi mengakui teritorium Palestina hanya meliputi Tepi Barat, Gaza, dan Jerusalem Timur sesuai dengan Resolusi DK PBB 242, 338, 181, dan 194.
Abbas pun ditunjuk Arafat melakukan kontak rahasia dengan pejabat Israel. Pada 1991, PLO terpuruk akibat kekalahan Irak pimpinan Presiden Saddam Husein yang didukung mereka dalam Perang Kuwait. Namun, PLO ikut serta dalam Konferensi Madrid pada 1991 untuk perdamaian komprehensif Arab-Israel yang diinisiasi Presiden AS George Bush. Kendati konferensi itu gagal mencapai tujuannya, Abbas tetap dipercaya Arafat menjabat koordinator urusan perundingan.
Pada 1993, dunia dikejutkan lahirnya Kesepakatan Oslo antara PLO yang diarsiteki Abbas dan pemerintahan Partai Buruh Israel pimpinan PM Yitzhak Rabin. Kesepakatan itu memproyeksikan Palestina akan memperoleh kemerdekaan pada 1998 melalui perundingan. Kesepakatan Oslo ditentang Hamas yang bukan anggota PLO. Selain menolak eksistensi Israel, Hamas tidak percaya kesepakatan yang terlalu menguntungkan Israel itu akan berujung pada pendirian negara Palestina.
Di Israel, penentangan juga datang dari Partai Likud pimpinan Netanyahu. Pada 1995, Rabin dibunuh dan perundingan macet. Bagaimanapun, hasil perundingan awal telah melahirkan OP yang berkedudukan di Tepi Barat. Perundingan antara Arafat dan PM Israel Ehud Barak dari Partai Buruh dilanjutkan di Camp David, AS, pada 2000.
Sayang, perundingan berhari-hari dengan mediator Presiden AS Bill Clinton tidak membuahkan hasil. Arafat tak bisa menerima tawaran Barak yang hanya memberi Palestina wilayah Gaza dan sebagian Tepi Barat tanpa Jerusalem Timur. Berikut, Pales-tina tidak boleh memiliki angkatan bersenjata, perbatasan mereka dikendalikan Israel, dan 5,9 juta pengungsi Palestina kehilangan hak pulang ke kam-pung halaman mereka di Israel.
Delegitimasi Abbas
Kegagalan perundingan itu memicu intifadah kedua yang didukung Arafat, tapi ditentang Abbas. Arafat meninggal pada 2004 dan Abbas menggantikannya sebagai Presiden OP, Ketua PLO, dan Ketua Fatah.
Pada 2014 Netanyahu menghentikan total proses perundingan. Bahkan, ia mendelegitimasi OP dengan berbagai cara. Misalnya, pembangunan permukiman Yahudi di wilayah pendudukan digencarkan dan menekan Abbas memerangi kelompok perlawanan Palestina.
Belum lagi upaya mengusir OP dan Abbas dari Ramallah agar Kesepakatan Oslo kehilangan relevansinya. Dengan semua itu, OP terpuruk. Abbas dilihat sebagai kacung Israel. Apalagi, hasil Pemilu Palestina 2006 dengan Hamas keluar sebagai pemenang ditolak Abbas dengan sokongan Israel dan AS.
Konflik militer Hamas-Fatah yang menyertainya mengakibatkan OP terusir dari Gaza. Sementara itu, kehidupan di Tepi Barat tidak menjadi lebih baik bersamaan dengan hilangnya harapan akan berdirinya negara Palestina. Sebaliknya, Hamas dan Jihad Islam yang melancarkan perjuangan bersenjata melawan Israel justru makin populer, bukan hanya di Gaza, melainkan juga di Tepi Barat dan Jerusalem Timur.
Bagaimanapun, legitimasi OP diakui dunia internasional dan perjuangan diplomasi Abbas bukan tidak ada hasil. Berkat perjuangan tak kenal lelah, pada 2012 Palestina memperoleh status negara pengamat nonanggota di PBB. Pada 10 Mei 2024 Majelis Umum PBB menyetujui resolusi yang mendukung upaya Palestina menjadi anggota penuh. Palestina juga akan mendapatkan beberapa hak dan keistimewaan tambahan mulai September 2024, yang mencakup kursi di antara anggota PBB di ruang sidang meskipun tanpa hak suara.
Sementara itu, Trump mendesak Netanyahu untuk mengakhiri perang Gaza sebelum ia dilantik. Ia pun mengutus Steve Witkoff, utusan khusus Timur Tengah, ke Doha untuk bergabung dengan tim perunding dari pemerintahan Presiden Joe Biden.
Dengan demikian, gencatan senjata Hamas-Israel didukung Biden dan Trump. Namun, belum jelas, apakah Trump juga akan mendukung pemerintahan OP di Gaza yang ditolak Netanyahu? Juga, apakah Trump akan mendukung gagasan two-state solution berbasis Kesepakatan Oslo atau resolusi-resolusi DK PBB?
Mengingat kini resistensi Arab terhadap Israel meningkat, berdirinya negara Palestina telah menjadi konsensus internasional, dan Trump menginginkan stabilitas Timteng, bisa jadi Trump akan mengakomodasi aspirasi Arab yang berpihak pada Abbas untuk menyelesaikan isu Palestina melalui perundingan.
Kalau demikian, kiprah politik dan diplomasi Abbas tak sia-sia meskipun kemerdekaan Palestina masih akan memakan waktu lama karena penentangan kelompok kanan Israel belum akan berakhir. (*) oleh: Smith Alhadar (Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES)
Tinggalkan Balasan