AMBON, Siwalimanews – Surat DPRD perihal peng­ajuan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Dae­rah Perubahan, yang dikirim ke Pemprov Maluku, hingga kini tak digubris.

Padahal surat tersebut, su­dah dikirim sejak 22 September 2022 lalu. dimana sesuai batas waktu yang ditetapkan Kemendagri, setiap provinsi diharuskan mengajukan AP­BDP paling terlambat 30 September 2022.

Secara aturan, kejadian yang baru pernah terjadi da­lam birokrasi Pemrov Maluku, memang tidak melanggar re­gulasi, tetapi lazimnya hal itu harus dilakukan, karena ba­nyak kepentingan masyarakat serta pelayanan publik terako­modir di situ.

DPRD diharapkan untuk tidak hanya diam, karena ada begitu banyak hak konstitusi dewan yang bisa ditempuh, agar tidak dianggap sebelah mata oleh Pemprov Maluku.

Sesuai konstitusi, DPRD bi­sa melakukan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pen­dapat dan lainnya kepada pemerin­tah yang tidak berpihak ke rakyat­nya.

Baca Juga: Pemprov Dikecam, Ruas Jalan Nusalaut Nyaris Putus

Menanggapi hal ini, akademisi Fisip Unpatti, Victor Ruhunlela menyayangkan sikap lemah DPRD Provinsi Maluku dalam melakukan fungsi-fungsi pemerintah yang mengakibatkan tidak adanya Peru­bahan APBD Tahun 2022.

Dijelaskan, APBD Perubahan merupakan suatu produk kebijakan pemerintah daerah yang harus dike­tahui oleh DPRD, minimal dikonsul­tasikan sebab proses konsultasi itu penting dalam memastikan kepenti­ngan masyarakat yang mendesak diakomodir.

“Kalau tidak lapor lalu siapa yang mau periksa akang, kalau terjadi masalah siapa yang harus bertang­gungjawab dan tidak mungkin DPRD cuci tangan kalau misalnya masyarakat mempersoalkan. Jadi proses konsultasi itu penting se­hingga pemerintah daerah harus melakukan konsultasi agar benar-benar DPRD tidak kaget ketika terjadi masalah,” ujar Ruhunlela kepada Siwalima melalalui telepon selulernya, Rabu (2/11).

Menurutnya, walaupun aturan tidak mewajibkan dilakukan peru­bahan APBD tetapi sangat lucu, jika DPRD kemudian berdalih jika tidak adanya APBD Perubahan merupa­kan suatu kelaziman.

Tidak adanya APBD Perubahan mungkin saja akibat dari ketidaksiap­an pemprov dalam menyiapkan do­kumen, tetapi waktu yang ditentu­kan oleh Mendagri hingga 30 September bukan berarti tidak melaku­kan proses konsultasi dengan DPRD.

Pemprov, kata Ruhunlela, mesti­nya mengutamakan hal-hal yang prinsipil ini jika dibandingkan de­ngan kegiatan yang lain, dan per­soalan yang terjadi menunjukkan jajaran Pemprov baik staf ahli mau­pun Bapeda sangat lemah dalam me­lihat persoalan yang selalu terjadi.

Selain itu, ketidakmampuan DPRD dihadapan Gubernur membuat DPRD tidak melakukan fungsi dengan baik, akhirnya Prmprov  pun terkesan cuek-cuek saja dengan se­tiap agenda pemerintahan yang penting.

“Jangan-jangan karena pemerin­tah ini merupakan orang PDIP dan Ketua DPRD orang PDIP juga maka Pemprov melanggar aturan yang mestinya dilakukan dan DPRD, membiarkan saja apa yang ingin dilakukan Pemprov,” ucap Ruhun­lela.

Padahal kata Ruhunlela, DPRD memiliki kewenangan untuk sejak awal memanggil serta mempertanya­kan sejauh mana kesiapan Pemprov dalam menyelesaikan dokumen perubahan APBD, mengingat deadline yang diberikan Kemendagri sebab yang disalahkan bukan saja Pemda tetapi juga DPRD apalagi kalau DPRD diam saja dengan persoalan ini.

Dia mengakui, jika diamati dengan baik ada hal yang terjadi antara DPRD dan pemerintah dimana DPRD mengalami penurunan fungsi pengawasan terhadap pemerintah.

Bahkan dalam pemerintahan kali ini, DPRD tidak punya keberanian apa-apa dalam melakukan fungsi-fungsi pengawasan terhadap peme­rintah daerah artinya apapun yang dilakukan Pemprov  tidak pernah diawasi.

Hal ini dibuktikan dengan selama ini dalam pemerintahan periode ini tidak ada publikasi terkait adanya proses tarik menarik oleh DPRD terhadap Pemprov..

“Panggil kepala dinas saja tidak datang dan ini menunjukkan DPRD tidak mampu melakukan fungsi-fungsi yang sebenarnya. Tidak bisa salahkan pemerintah sebab ada cara lain yang dapat dilakukan ketika panggilan tidak diindahkan artinya harus dipaksakan,” tegasnya.

Ruhunlela menegaskan, DPRD dalam kewenangannya harus memanggil kepala daerah terhadap setiap kebijakan, tapi bagaimana mau gunakan hak interpelasi se­dangkan untuk memanggil Gubernur saja DPRD tidak punya nyali ba­gaimana menggunakan fungsi yang lain.

“Sederhana saja kalau mereka punya keberanian kadis membang­kang saja mereka tidak bisa bikin apa-apa apalagi menggunakan hak interpelasi jadi DPRD tumpul,” cetusnya.

Untuk diketahui, dalam menjalan­kan fungsinya, DPRD bisa saja menggunakan hak konstitusinya yakni, hak Interpelasi, hak angket maupun hak menyatakan pendapat.

Hak interpelasi, adalah hak DPRD untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Hak angket, adalah hak DPRD   untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehi­dupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan per­undang-undangan

Hak menyatakan pendapat, adalah hak DPRD untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan Guber­nur atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaian­nya atau sebagai tindak lanjut pe­laksanaan hak interpelasi dan hak angket.

Desakan Interpelasi

Sebelumnya, anggota DPRD Maluku Alimudin Kolatlena kecam sikap pimpinan organisasi perang­kat daerah Pemprov Maluku, yang sering mangkir dari panggilan DPRD.

Betapa tidak, undangan untuk rapat bersama lembaga legislatif gunakan membicarakan kepentingan rakyat, namun tidak pernah indah­kan.

DPRD sudah beberapa kali me­ngundang Sekretaris daerah Malu­ku, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Direktur Rumah Sakit Umum Daerah dr Haulussy Ambon, Kepala Badan Kepegawaian Daerah dan Dinas terkait lainnya, namun mangkir, bahkan diancam panggil paksapun tidak diindahkan. Karena itu pimpinan DPRD didesak gunakan hak interpelasi.

Desakan ini diungkapkan Alimu­din Kolatlena kepada wartawan di Baileo Rakyat Karang Panjang, Selasa (25/10) atas tindakan pem­bangkangan yang dilakukan Pem­prov  terhadap setiap agenda peme­rintahan yang dilakukan DPRD.

Dijelaskan, berdasarkan tata tertib maka upaya pemanggilan paksa dapat dilakukan DPRD jika Pemprov  terkesan membangkang ketika dipanggil secara patut, termasuk DPRD dapat menggunakan hak interpelasi terhadap pemerintah daerah.

“Sebagai anggota DPRD kita minta pimpinan DPRD untuk menindaklanjuti dengan mekanisme yang berjalan di DPRD, kalau diundang berturut-turut selama tiga kali tidak diindahkan, maka pang­gilan paksa atau juga mekanismenya kita interpelasi gubernur,” ujar Kolatlena.

Kolatlena menegaskan, harus dilakukan pimpinan DPRD secara kelembagaan agar ada kewibawaan lembaga yang dijaga, sebab jika tidak, maka akan menjadi kebiasaan dimana eksekutif akan mempermain­kan setiap panggilan DPRD.

“Ini baru pernah terjadi dan tidak boleh dibiarkan maka harus menem­puh mekanisme kelembagaan, kalau tidak pernah hadir berturut-turut maka tidak ada itikat baik dari gu­bernur dan jajaran untuk mengelola pemerintahan,” kesal Kolatlena.

Menurutnya, bagaimana Provinsi Maluku hendak didorong untuk maju dan berkembang jika setiap kali panggilan yang dilakukan DPRD tidak dihiraukan oleh gubernur dan jajaran birokrasi pemerintah daerah.

Apalagi, dalam berbagai kesem­patan baik dalam paripurna maupun momentum lain, gubernur selalu menekankan bahwa DPRD adalah mitra dan unsur pemerintah, yang harus dijaga harmonis dan sinergis untuk bahu membahu membangun daerah.

Namun, fakta yang terjadi bertolak belakang dengan apa yang disam­paikan Gubernur terbukti dengan tidak dihiraukan keputusan politik Lembaga DPRD oleh setiap OPD.(S-20)