Tahun Tantangan Politik
MENGARUNGI 2023 sebagai tahun tantangan politik membutuhkan modal sosial memadai, agar kita tidak tergulung perseteruan. Meniti di antara kebutuhan untuk mendinamisasi politik dan untuk memelihara integrasi bangsa, kita tidak bisa mengorbankan salah satunya. Kesadaran tentang waktu dan orientasi pada demokrasi, membantu penyusunan antisipasi agar optimisme kita terpelihara. Gerak dinamis Perjalanan waktu terus mengarah ke depan, dalam langkah yang tidak mungkin bisa dihalangi. Kita sudah meninggalkan 2022 dan memasuki 2023. Hidup dalam lingkup hari ini, kita dapat menoleh masa lalu untuk memetik banyak pelajaran, sedangkan terhadap masa depan, kita dapat menyiapkan langkah-langkah antisipasi demi meminimalkan ketidakpastian. Waktu, sebut Sean Power (2021), memainkan suatu peran dalam penjelasan tentang bagaimana peristiwa terjadi di dunia. Setiap pengetahuan kita tentang proses kausal di dalamnya, lanjut Power, melibatkan pemahaman kita tentang waktu.
Kita mampu mendedah persoalan hanya dalam kerangka tatanan temporal, yaitu ketika hal-hal terjadi silih berganti dan sebagiannya berkelindan. Melewati tahun-tahun penuh kecemasan dalam deraan covid-19, kita bersyukur bahwa kita belajar semakin baik jika dibandingkan dengan sebelumnya untuk dapat menanggulangi pandemi. Jika tidak ingin kembali mengalami kemunduran, melalaikan kewaspadaan terang bukan suatu pilihan. Adalah melegakan bahwa situasi kini lebih terkendali dan kita menjadi lebih leluasa untuk bergerak. Gerak merupakan suatu impuls penting yang menunjukkan kecenderungan kehendak untuk aktif. Ia mengindikasikan berjalannya fungsi-fungsi pokok suatu sistem untuk menjadi lebih produktif. Dalam diam, sebaliknya, pendulum perubahan tidak beranjak untuk memacu dinamika berkelanjutan. Stagnasi menandakan kegagalan fungsi suatu sistem yang berpeluang mengarah jalan pengakhiran. Dalam konteks politik nasional, selama 2022 kita mendapati gerak dinamis yang energinya bersumber dari perbedaan kepentingan-kepentingan baik pada tataran elite maupun massa. Perbedaan tersebut menciptakan perkubuan, yang merupakan normalitas demokrasi. Tanpa perbedaan, politik kubu tunggal akan melahirkan tatanan totalistis yang justru membelenggu perkembangan sosial. Meskipun demikian, tidak lantas berarti bahwa kita dapat memaklumi penajaman perbedaan dalam suatu polarisasi yang konfliktual. Tugas politik demokratis antara lain ialah untuk memoderasi perbedaan lewat deliberasi dialogis menuju konsensus yang tidak selalu bulat utuh. Deliberasi, mengandaikan kemampuan untuk mengekspresikan gagasan, dan kesediaan untuk saling memahami.
Tanpa gagasan, politik sekadar menjadi etalase untuk mengunjukkan citra personal para politikus, tanpa pemahaman silang, politik hanya diliputi permusuhan. Negativitas keduanya tidak mungkin dijadikan pijakan untuk mendinamisasi politik. Demi menghindari kemandekan politik, apalagi pengakhirannya, kita membutuhkan elemen-elemen penggerak yang juga mampu menjaga asa. Strategi antisipasi Tahapan pemilu telah dimulai sejak Juni dan intensitas tegangan politik berkecenderungan akan meningkat. Berkaca pemilu lalu, pengelolaan perbedaan kepentingan dan pilihan politik dapat menghindarkan kita dari benturan mengeras antarpemilih. Memberdayakan modal sosial sebagai bagian langkah antisipatif, akan membuat kita siap menghadapi tantangan mendatang. Pertama, kita perlu menegaskan ulang identitas Bhinneka Tunggal Ika sebagai bagian strategi pemeliharaan kohesi sosial.
Politisasi identitas untuk memantik kebencian antarkelompok patut dijadikan sebagai musuh bersama sehingga kekuatan politik tidak tertarik untuk menjadikannya sebagai insentif pemenangan pemilu. Selayaknya, pemilu menjadi sarana penguat integrasi bangsa. Kedua, keterhubungan warga dengan jaringan-jaringan sosial memperkuat daya di antara mereka dan menumbuhkan kepercayaan silang. Manakala pertautan di antara warga menjadi kuat, mereka memiliki posisi tawar lebih baik untuk mengontrol kekuasaan politik, sedangkan ketika kepercayaan silang itu tumbuh, tindakan politik berpotensi untuk mendorong secara efektif perubahan sosial. Ketiga, generasi baru politik dengan sensitivitas etis mereka semestinya memberi warna dominan. Bukan saja karena dari sisi jumlah kalangan muda akan menjadi yang mayoritas pada pemilu mendatang, melainkan juga karena mereka dibesarkan dan tumbuh di tengah alam demokrasi. Orientasi etis mereka kiranya dapat memberi kontribusi signifikan bagi suatu pemilu yang bebas dan adil. Keempat, penting bagi segenap warga untuk menemukan isu-isu bersama yang dapat didesakkan sebagai agenda kekuasaan.
Dengan kohesivitas dan posisi tawar lebih baik warga, tidak ada dasar bagi elite untuk mengabaikan suara rakyat. Perluasan akses terhadap public goods dapat dijadikan prioritas, selain juga isu-isu lain yang menopang langkah politik bagi perwujudan kebaikan bersama. Orang tidak perlu terobsesi dengan stabilisasi tatanan sehingga mengorbankan dinamika politik. Tidak pula patut bagi mereka untuk memanfaatkan cara-cara culas dan mendegradasi etika politik sekadar demi kemenangan elektoral. Dengan sejumlah modal di atas, kita memiliki cukup alasan untuk mengempiskan pesimisme dan mengembungkan optimisme menyambut tantangan 2023. Kesadaran dan orientasi tentang waktu membantu kita untuk memahami persoalan, terutama dalam bingkai kausalitas. Namun, pada akhirnya, dibutuhkan strategi tepat untuk menghadapi tantangan politik. Kita dapat menabung langkah antisipatif yang meskipun tidak dapat menjawab seluruh pertanyaan, membuat kita mampu menulis secara lebih mandiri tentang arah masa depan kita. Oleh: Arif SusantoAnalis Politik Exposit Strategic, Senior Fellow Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia.
Baca Juga: Globalisasi dan Hukum Kepailitan di Indonesia
Tinggalkan Balasan