KESELURUHAN rangkaian agenda pemilihan umum (pemilu) serentak 2024 hampir usai. Sebanyak 580 anggota DPR periode 2024-2029 hasil Pemilu 2024 telah dilantik dan diambil sumpah/janji pada 1 Oktober lalu. Untuk pasangan calon presiden dan wakil presiden terpilih, akan dilakukan pada 20 Oktober mendatang.

Dalam suatu siklus pemilu, setelah periode elektoral selesai, akan dilanjutkan dengan pascaperiode elektoral yang akan diisi dengan aktivitas kajian, evaluasi, menyusun proposal perbaikan kebijakan, serta menyiapkan berbagai strategi untuk penguatan kapasitas kelembagaan demokrasi.

Oleh karena itu, sangat penting bagi semua pihak untuk tidak serta-merta melupakan berbagai dinamika dan peristiwa yang terjadi saat pemilu sgerentak 2024 agar perbaikan dan penyempurnaan tata kelola pemilu dapat dilakukan secara tepat dan menyeluruh. Mulai pembenahan aturan (rule making), pelaksanaan aturan (rule application), sampai dengan penyelesaian atas berbagai masalah hukum yang terjadi (rule adjudication).

Hal itu menjadi semakin relevan mengingat jelang pelantikan calon terpilih anggota DPR dan DPRD hasil Pemilu 2024 terdapat sejumlah caleg yang dipecat dari keanggotaan partai oleh partai politik tempat mereka bernaung. Akibatnya, si caleg tidak lagi memenuhi syarat untuk menjadi anggota DPR/DPRD dan dilakukan pergantian.

Implikasi dari pemecatan caleg terpilih oleh beberapa partai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sampai enam kali mengubah keputusan KPU terkait dengan penetapan calon terpilih anggota DPR dalam Pemilu 2024.

Baca Juga: Tantangan Kesehatan Pemerintahan Prabowo

Kebanyakan pemecatan caleg terpilih dilakukan pimpinan partai dengan dalih menegakkan disiplin internal dan ketentuan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART) partai. Namun, tak sedikit suara sumbang yang menyebut bahwa hal itu terjadi karena elite partai punya calon favorit dan kerabat yang gagal terpilih sehingga segala cara dilakukan untuk tetap menempatkan jagoan mereka duduk di kursi parlemen, termasuk dengan cara ‘main kayu’ dan membegal kursi DPR/DPRD milik caleg terpilih yang telah memperoleh suara terbanyak.

Suara terbanyak

Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 mengatur bahwa ‘pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali’.

Ketentuan itu menekankan bahwa dalam suatu penyelenggaraan pemilu, artikulasi hak pilih, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih, harus diselenggarakan melalui suatu pemilihan yang bukan hanya periodik atau berkala dengan regularitas waktu yang terjadwal, tetapi juga harus terselenggara secara autentik atau murni (genuine).

Pemilu yang murni (genuine) diterjemahkan sebagai suatu pemilihan yang terselenggara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil atau luber dan jurdil. Maka itu, periodic and genuine elections menjadi bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan satu sama lain.

Pasal 168 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum mengatur bahwa ‘pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka’.

Selanjutnya, Pasal 422 UU 7/2017 menyebut bahwa ‘penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik peserta pemilu didasarkan pada perolehan kursi partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan suara terbanyak yang diperoleh masing-masing calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di satu daerah pemilihan yang tercantum pada surat suara’.

Ketentuan Pasal 422 UU 7/2017 tersebut merupakan pengaturan lebih lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi No.22-24/PUU-VI/2008 yang pada halaman 105 pertimbangan hukumnya menyebut bahwa ‘dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang ialah berdasarkan suara terbanyak. Maka itu, penentuan calon terpilih harus pula didasarkan pada siapa pun calon anggota legislatif yang mendapat suara terbanyak secara berurutan dan bukan atas dasar nomor urut terkecil yang telah ditetapkan’.

Dengan kata lain, setiap pemilihan tidak lagi menggunakan standar ganda, yaitu menggunakan nomor urut dan perolehan suara tiap-tiap caleg. Memberlakukan ketentuan yang memberikan hak kepada calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihan mereka dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.

Penentuan calon terpilih anggota DPR/DPRD yang didasarkan pada caleg yang memperoleh suara terbanyak telah diberlakukan secara konsisten pasca-Putusan MK No.22-24/PUU-VI/2008 sejak Pemilu Anggota DPR dan DPRD 2009, 2014, 2019, sampai dengan 2024.

Selain itu, Pasal 241 ayat (1) dan (2) UU 7/2017 mengatur bahwa ‘partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota secara demokratis dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal partai politik peserta pemilu’.

Artinya, Pasal 241 UU 2/2017 secara fundamental mensyaratkan partai politik untuk menentukan siapa atau siapa-siapa saja calon anggota legislatif yang akan diusungnya pada pemilu anggota DPR/DPRD.

Pengusungan calon oleh partai politik dilakukan berdasarkan mekanisme yang demokratis dan tentu saja sejalan dengan prosedur internal di tiap-tiap partai. Karena itu, siapa pun calon anggota legislatif yang didaftarkan partai politik sebagai caleg ke KPU yang kemudian terpilih menjadi anggota DPR/DPRD karena memperoleh suara terbanyak, haruslah dihormati, dilindungi, dan dijaga sepenuhnya oleh setiap partai politik peserta pemilu.

Siapa pun kader yang masuk daftar caleg dari partai politik dan masuk surat suara pemilu DPR/DPRD, mereka harus diposisikan sebagai figur kader terbaik yang telah diseleksi dan disaring sedemikian rupa oleh partai.

Kesemuanya tentu sudah berjuang secara maksimal dalam memenangkan kursi untuk partai tempat mereka bernaung melalui perolehan suara yang berhasil mereka kumpulkan setelah melakukan serangkaian aktivitas kampanye selama pemilu DPR/DPRD berlangsung.

Berdasarkan ketentuan Pasal 241 jo Pasal 168 ayat (2) dan Pasal 422 UU 7/2017 tersebut, semua caleg yang ada dalam daftar calon yang diusung partai politik pada setiap daerah pemilihan ialah kader yang sudah bekerja keras dan berkeringat untuk partai. Perbedaannya hanya terletak pada: ada yang mendapatkan dukungan dan suara terbanyak dan ada yang mendapatkan suara lebih sedikit sehingga tidak memperoleh kursi untuk duduk di parlemen.

Suara dan coblosan pemilih di surat suaralah yang menentukan dan menghantarkan seorang caleg menjadi calon terpilih.

Dalam sistem proporsional terbuka dengan suara terbanyak yang berlaku saat ini, perolehan kursi akan jatuh kepada caleg yang mana sepenuhnya ditentukan oleh siapa pun yang dikehendaki pemilih berbasikan perolehan suara terbanyak. Tugas partai politik ialah mencalonkan kader-kader terbaik mereka dan menghormati siapa pun yang diputuskan oleh pemilih sebagai caleg dengan suara terbanyak.

Suara terbanyak ialah dasar penentuan calon terpilih yang akan menduduki kursi DPR/DPRD yang didapat partai politik sebagai peserta pemilu sebagaimana diatur Pasal 422 UU 7/2017.

Akal-akalan

Dalam sistem proporsional daftar terbuka yang berlaku pada pemilu anggota DPR/DPRD, pemilih yang mencoblos nomor urut dan/atau tanda gambar partai saja dengan tanpa mencoblos caleg, suaranya dihitung tetap sah atau sebagai suara sah (valid votes). Suara tersebut akan menjadi bagian dari perolehan suara sah partai politik peserta pemilu yang akan digunakan sebagai basis penghitungan perolehan kursi partai berdasarkan formula elektoral sainte lague.

Perolehan suara sah partai politik merupakan hasil penjumlahan antara perolehan suara pemilih yang langsung mencoblos caleg yang dicalonkan partai ditambah dan jumlah suara pemilih yang hanya mencoblos tanda gambar dan/atau nomor urut partai tersebut.

Perolehan suara caleg di suatu partai digunakan untuk menentukan siapa caleg yang akan mengisi perolehan kursi yang didapat oleh partai tersebut, berbasiskan perolehan suara terbanyak/tertinggi.

Sangat terang benderang pengaturan dalam UU 7/2017 maupun Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 mengharuskan semua pihak, khususnya partai politik, untuk menghormati suara rakyat yang sudah diberikan langsung di bilik suara.

Sistem pemilu di Indonesia yang berlaku saat ini mutlak dilaksanakan dan ditegakkan dengan konsisten.

Tidak boleh dilakukan distorsi hanya karena kepentingan elite yang tidak sejalan dengan suara rakyat, termasuk dengan akal-akalan membuat perjanjian/kesepakatan antara elite dan caleg DPR/DPRD yang isinya bertentangan atau tidak sejalan dengan operasionalisasi sistem pemilu proporsional daftar terbuka yang berlaku dalam UU Pemilu.

Apalagi kalau perjanjian atau kesepakatan tersebut sama sekali tidak mencerminkan kehendak bebas atau keadaan merdeka dari calon anggota legislatif dalam membuat keputusan.

Hal itu bertentangan dengan asas pemilu bebas, jujur, dan adil sebagaimana dijamin oleh Pasal 22E ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 2 dan Pasal 3 UU 7/2017.

Sudah seharusnya KPU konsisten menetapkan caleg terpilih sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh suara rakyat sebagaimana berlaku dalam aturan main sistem pemilu saat ini. Caleg suara terbanyaklah yang akan menjadi calon terpilih dan dilantik menjadi anggota DPR/DPRD.

Setiap penggantian calon terpilih harus dilakukan sejalan dengan nilai, asas, dan prinsip dalam demokrasi. Menjunjung tinggi keterbukaan, transparansi, akuntabilitas, kejujuran, dan keadilan dengan tetap menghor­mati kemurnian suara dan kedaulatan rakyat sebagaimana prinsip kerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu.

KPU tidak boleh bertindak sepihak, apalagi berpihak dengan hanya menindaklanjuti penggantian calon terpilih secara serta-merta (taken for granted) tanpa adanya proses yang proporsional, akuntabel, dan berkeadilan.

KPU seharusnya memastikan bahwa setiap upaya mengganti caleg terpilih oleh partai politik benar-benar dilakukan berdasar tertib hukum, demokratis, dan terbuka sesuai dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, dan/atau peraturan internal setiap partai politik peserta pemilu.

Langkah tersebut sejatinya sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 241 UU 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang mengatur bahwa ‘dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’.

Norma dalam UU MD3 tersebut harus dimaknai sebagai komitmen dan upaya negara dalam melindungi suara rakyat dengan memberikan kesempa­tan kepada anggota DPR/DPRD yang hendak dilakukan penggantian antarwaktu (PAW) untuk melakukan upaya hukum dan memperjuangkan haknya secara berkeadilan.

Maka itu, sudah seharusnya ketentuan UU Pemilu dan PKPU terkait dengan penggantian calon terpilih mutatis mutandis dengan pengaturan penggantian antarwaktu dalam UU MD3.

Perubahan sistem

Jika memang partai politik ingin melakukan evaluasi atas sistem pemilu yang berlaku saat ini, hal itu sudah dimungkinkan untuk dilakukan melalui proses perubahan UU Pemilu.

Hal itu telah pula ditegaskan MK melalui Putusan No 114/PUU-XX/2022 yang menyebut bahwa ‘sistem pemilu merupakan legal policy atau kebijakan hukum dari pembentuk undang-undang’.

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa dengan menggunakan original intent dan penafsiran sistematis terhadap Pasal 22E ayat (3) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, sistem pemilu proporsional dengan daftar terbuka lebih dekat kepada sistem pemilu yang diinginkan oleh UUD 1945.

Namun, karena secara konseptual dan praktik, sistem pemilu apa pun yang dipilih pembentuk undang-undang, baik sistem proporsional dengan daftar terbuka maupun dengan daftar tertutup bahkan sistem distrik sekalipun tetap memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sebagai pilihan pembentuk undang-undang, menurut MK tetap terbuka kemungkinan untuk disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan pemilu.

Jika ke depan akan dilakukan perbaikan terhadap sistem yang berlaku saat ini, MK mensyaratkan pembentuk undang-undang harus mempertimbangkan beberapa hal berikut, yaitu: (1) tidak terlalu sering melakukan perubahan sehingga dapat diwujudkan kepastian dan kemapanan atas pilihan suatu sistem pemilu.

Kemudian, (2) kemungkinan untuk melakukan perubahan harus tetap ditempatkan dalam rangka menyempurnakan sistem pemilu yang sedang berlaku, terutama untuk menutup kelemahan yang ditemukan dalam penyelenggaraan pemilu.

Lalu (3) kemungkinan perubahan harus dilakukan lebih awal sebelum tahapan penyelenggaraan pemilu dimulai sehingga tersedia waktu yang cukup untuk melakukan simulasi sebelum perubahan benar-benar efektif dilaksanakan.

Selain itu, (4) kemungkinan perubahan tetap harus menjaga keseimbangan dan ketersambungan antara peran partai politik sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 dan prinsip kedaulatan rakyat sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Terakhir, (5) apabila dilakukan perubahan tetap, melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

MK juga mengingatkan dalam menentukan sistem pemilu, menutup ruang bagi pemilih untuk dapat menentukan pilihan mereka sehingga keterpilihan calon ditentukan sepenuhnya oleh partai politik. Hal demikian akan mengingkari makna kedaulatan rakyat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Sebaliknya, bila keterpilihan calon ditentukan sepenuhnya oleh pemilih, hal tersebut akan mengingkari peran partai politik sebagai peserta pemilihan umum yang berwenang mengusulkan calon anggota DPR dan DPRD sebagaimana diatur dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945.

Titik temu

Bila demikian pertimbangan MK, mengapa kita tidak mulai memikirkan titik temu melalui sistem pemilu campuran? Sistem pemilu campuran berusaha menggabungkan dampak positif atau kelebihan dari sistem pemilu proporsional atau sistem pemilu pluralitas/mayoritas.

Terdapat dua varian dari sistem campuran, yakni mixed-member proportional (MMP) dan parallel (paralel). Dalam sistem campuran, terdapat daerah pemilihan berwakil jamak (multi-member district) yang memberlakukan sistem proporsional serta daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member district system) yang menerapkan sistem pluralitas first past the post (FPTP).

Pasca-Pemilu 2024, pemilu keenam di era reformasi, sudah saatnya pembentuk undang-undang serius mengevaluasi dan menyajikan proposal reformasi sistem pemilu yang bisa menghadirkan keseimbangan antara suara rakyat dan peran fungsi partai agar sistem pemilu bisa ditegakkan secara konsisten dan bukan sebaliknya diaplikasikan setengah hati.

Namanya saja terbuka, tetapi mun perilaku dan cara kerjanya penuh ketertutupan dan perilaku otoriter. Bukan seperti itu praktik pemilu yang kita kehendaki. Oleh: Titi Anggraini Dosen hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI); Anggota Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) PPA.(*)