Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan empat putusan atas perkara pengujian ambang batas minimal pencalonan presiden (presidential nomination threshold) meliputi (i) perkara No.62/PUU-XXII/2024 dengan pemohon Enika Maya Oktavia, dkk; (ii) perkara No.87/PUU-XXII/2024 dengan pemohon Dr Dian Fitri Sabrina sebagai pemohon I, Prof Dr Muhammad sebagai pemohon II, S Muchtadin Al Attas sebagai pemohon III, dan Dr Muhammad Saad sebagai pemohon IV.

Berikutnya, (iii) perkara No.101/PUU-XXII/2024 dengan Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang dalam hal ini diwakili oleh Hadar Nafis Gumay selaku Direktur Eksekutif sebagai pemohon I dan Titi Anggraini sebagai pemohon II; serta (iv) perkara No.129/PUU-XXI/2023 dengan pemohon Gugum Ridho Putra.

Sejarah dan arah baru demokrasi Indonesia ditorehkan oleh MK. Melalui Putusan No.62/PUU-XXII/2024 yang merupakan pengujian ke-34 atas Pasal 222 UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum, MK menyatakan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 222 UU 7/2017 mengatur bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud perolehan kursi DPR atau perolehan suara sah ialah merujuk pada hasil pemilu anggota DPR terakhir, baik untuk partai politik yang mempunyai kursi di DPR maupun yang tidak mempunyai kursi di DPR.

Baca Juga: Refleksi Akhir Tahun dan Tantangan Kepemimpinan PGRI ke Depan

MK mengabulkan seluruh permohonan perkara No.62/PUU-XXII/2024. Sementara itu, tiga perkara lainnya tidak dapat diterima karena kehilangan objek akibat sudah dikabulkannya permohonan perkara No.62/PUU-XXII/2024 yang memiliki esensi atau substansi hampir sama dengan permohonan para pemohon lainnya.

Syarat ambang batas minimal dalam pencapresan memang tidak lazim digunakan oleh negara-negara dengan sistem presidensial. Ambang batas pencalonan presiden tidak dianut di mayoritas negara. Meski ada, angka ambang batasnya tidak sebesar Indonesia.

Di Turki, untuk mencalonkan presiden, harus memenuhi salah satu dari dua syarat berikut: (i) dicalonkan oleh partai politik atau koalisi partai politik yang memiliki minimal 5% dari total suara sah nasional dalam pemilihan parlemen sebelumnya; atau (ii) kandidat independen dapat mencalonkan diri jika berhasil mengumpulkan setidaknya 100 ribu tanda tangan dari pemilih terdaftar.

Sementara itu, Irlandia member­lakukan syarat pencalonan presiden yang harus didukung oleh 20 kursi di Dail Eireann (Dewan Perwakilan) atau empat anggota Seanad Eireann (Senat), atau dukungan sekurang-kurangnya empat dari 31 Dewan Daerah (Local Authorities).

Dengan demikian, pilihan ambang batas yang digunakan Irlandia sangatlah beragam dan tidak terfokus pada kekuatan partai politik karena melibatkan pilihan dukungan dari kursi parlemen, Senat, atau Dewan Daerah. Tidak seperti Indonesia yang hanya terfokus pada kepemilikan kursi atau suara hasil pemilu DPR.

Upaya kolektif

Antara 2017-2024, total ada 36 pengujian atas Pasal 222 UU 7/2017 yang masuk ke MK. Saya bersama Direktur Eksekutif Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay total tiga kali menguji Pasal 222 UU 7/2017. Selain perkara No.101/PUU-XXII/2024, kami juga melakukan pengujian melalui perkara No.71/PUU-XV/2017 dan No.49/PUU-XVI/2018. Argumentasi yang dibangun tidak jauh berbeda dengan argumentasi MK saat mengabul­kan penghapusan ambang batas. Hanya, permo­honan kami dan 28 permohonan sebelumnya belum mampu menggoyahkan ‘iman’ MK.

Ketika kembali menguji ambang batas, selain merujuk hasil evaluasi Pemilu 2024, kami juga mendasarkan pada posisi pendirian hukum MK dalam sejumlah putusan pengujian UU Pemilu dan UU Pilkada yang di antaranya memerintahkan pembentuk undang-undang untuk merekonstruksi pengaturan ambang batas. Contohnya, Putusan MK No.116/PUU-XXI/2023 tentang ambang batas parlemen (parliamentary threshold). MK menyatakan perlunya tinjauan ulang atas konsep ambang batas parlemen dalam Pasal 414 UU 7/2017.

MK menilai penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai secara nyata telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu. Hal itu akibat banyaknya suara pemilih yang terbuang karena tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.

MK memang pernah mengubah pendirian hukum mereka. Misal, pada perkara pemilu serentak, pengumuman hasil hitung cepat pemilu, ambang batas parlemen, ambang batas pencalonan kepala daerah, dan perselisihan hasil pilkada. Meski demikian, tetap saja di luar bayangan dan perkiraan, MK akan melangkah seprogresif itu setelah 30 kali mementahkan pengujian ambang batas pencalonan presiden.

Sebelum perkara No.62/PUU-XXII/2024 diputus, terdapat 24 perkara yang sudah dinyatakan MK tidak dapat diterima dan 6 perkara ditolak. Sementara itu, dua perkara ditarik kembali oleh pemohon.

Selain itu, saat ambang batas pencalonan presiden (dengan ambang batas minimal yang sama) masih diatur dalam Pasal 9 UU 42/2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, sejumlah gugatan juga sudah masuk MK meminta pembatalan ketentuan tersebut. Antara lain oleh Saurip Kadi untuk perkara No.51/PUU-VI/2008; Partai Bulan Bintang untuk perkara No.52/PUU-VI/2008; Hanura, PDP, PIS, Partai Buruh, PPRN, dan Republikan untuk perkara No.59/PUU-VI/2008, dan Effendi Gazali untuk perkara No.14/PUU-XI/2013.

Di sisi lain, dalam sejarah pengujian syarat pencalonan presiden, melalui perkara No.56/PUU-VI/2008, MK juga pernah memiliki tiga hakim konstitusi yang berpandangan bahwa seharusnya pasangan calon perseorangan juga diberi ruang untuk mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden selain yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Mereka ialah Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan M Akil Mochtar.

Banyaknya gugatan terhadap ambang batas pencalonan presiden akhirnya ikut menjadi pertimbangan MK untuk meninjau kembali konstitusionalitasnya. Dalam putusannya, MK menyebut fakta tersebut dapat dimaknai sebagai gambaran aspirasi pemilih, orga­-nisasi masyarakat, politisi, dan partai politik yang secara gigih dan terus-menerus mempersoalkan dan menguji keabsahan konsti­-tusionalitas ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden.

Karena itu, bisa disebut keber­hasilan uji materi ambang batas pencalonan presiden kali ini tidak lepas dari upaya kolektif pemohon-pemohon sebelumnya yang per­mo­honan mereka dinyatakan MK tidak dapat diterima ataupun dito­lak. Mereka yang tetap gigih dan kukuh berjuang menggugah MK meskipun selalu ditolak. Bayang­kan jika mereka menyerah dan berhenti melakukan upaya hukum ke MK, bisa jadi tidak akan pernah ada Putusan MK No.62/PUU-XXII/2024 seperti saat ini.

Konfigurasi hakim

Rekonfigurasi hakim dalam me­mutus perkara diyakini ikut ber­kontribusi mengubah pendirian hukum MK. Dalam Putusan No.62/PUU-XXII/2024, terdapat dua ha­kim konstitusi, yaitu Ridwan Man­syur dan Arsul Sani, yang belum pernah ikut memutus perkara am­bang batas pencalonan presiden karena baru bertugas di MK pada 9 Desember 2023 dan 18 Januari 2024.

Hakim Arief Hidayat, Enny Nur­baningsih, dan M Guntur H Ham­zah ialah tiga hakim yang berubah pendirian hukumnya dalam memu­tus perkara ambang batas. Dalam putusan sebelumnya, mereka menilai ambang batas pencalonan presiden ialah kewenangan pem­bentuk undang-undang.

Dua hakim lain, Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh, me­nyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Mereka berpen­dirian MK seharusnya menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dan oleh ka­renanya permohonan para pemo­hon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard).

Alasannya, MK dalam putusan-putusan tentang ambang batas sebelumnya telah menegaskan bahwa pihak yang memiliki kedu­dukan hukum untuk mengajukan per­mohonan ialah: (i) partai politik atau gabungan partai politik pe­serta pemilu dan (ii) perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih dan didukung oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan diri atau dicalonkan sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden atau menyer­takan partai politik pendukung un­tuk secara bersama-sama menga­jukan permohonan.

Sementara itu, hakim Suhartoyo dan Saldi Isra menjadi dua hakim MK yang sejak awal berpandangan bahwa ketentuan ambang batas pencalonan presiden ialah inkon­stitusional dan harus dihapuskan dari persyaratan pencalonan di pil­pres. Suhartoyo dan Saldi Isra konsisten memberikan dissenting opinion dalam semua putusan MK yang menolak pengujian Pasal 222 UU 7/2017 antara 2017-2023.

Sebelumnya, konfigurasi putu­san MK selalu 7-2 untuk yang me­nolak permohonan. Kali ini, setelah tujuh tahun lebih, duet ‘dynamic duo’ Suhartoyo dan Saldi Isra se­kali­gus sebagai Ketua dan Wakil Ketua MK berhasil membalikkan situasi dengan komposisi 7-2 untuk hakim yang mengabulkan permohonan.

Perintah Mahkamah

Ambang batas pencalonan pre­si­den selama ini dinilai MK se­bagai kewenangan hukum pem­bentuk undang-undang (legal policy) sehingga selalu dinyatakan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Melalui putusan ter­barunya, MK tidak hanya mengubah pendirian hukum soal kedudukan hukum (legal standing) pemohon, tapi juga pendirian hukumnya secara fundamental menyangkut inkonstitusionalitas ambang batas pencalonan presiden.

MK menyatakan bahwa ambang batas minimal persentase pengusu­lan pasangan calon yang diatur dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tapi juga melanggar moralitas, rasio­nalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata ber­tentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Karena itu, terdapat alasan kuat dan mendasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya.

Perubahan pendirian MK dilatar­belakangi oleh pertimbangan, an­tara lain bahwa pengusulan pasa­ngan calon di pilpres mesti dipahami, dimaknai, dan diposisikan sebagai hak konstitusional (constitutional rights) dari partai politik peserta pemilu. MK menilai, secara faktual, keberadaan norma ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon ternyata tidak terkait langsung dengan upaya melakukan penyederhanaan jumlah partai politik peserta pemilu sebagaimana pernah didalilkan MK.

Penggunaan ambang batas minimal disebut MK telah menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu, yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon di pilpres. MK juga menyatakan penetapan besaran atau persentase ambang batas dalam Pasal 222 UU 7/2017 tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat.

MK menilai penentuan besaran atau persentase tersebut lebih meng­untungkan partai politik besar atau setidak-tidaknya memberi keuntu­ngan bagi partai politik peserta pemi­lu yang memiliki kursi di DPR. Sulit bagi partai politik yang meru­muskan besaran atau persentase ambang batas untuk tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest).

Karena itu, MK menganggap perlu untuk menempatkan sekali­gus memberikan prioritas pada ja­minan pemenuhan hak konstitu­sional pemilih untuk mendapatkan pasangan calon yang lebih bera­gam melalui kontestasi yang fair dan terbuka yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebagai­mana ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

MK menangkap adanya kecen­derungan untuk selalu mengu­payakan agar pilpres hanya diikuti dua calon yang jika terus dibiarkan bisa saja pilpres hanya akan diikuti calon tunggal. Kecenderungan tersebut sudah terjadi di pilkada yang semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong. Sebagai pelindung hak konstitu­sional warga negara, bagi MK, pemenuhan hak politik warga negara berupa hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) jauh lebih penting ketimbang kehendak untuk menyederhanakan partai politik dalam rangka menopang penguatan sistem presidensial.

Menggunakan ambang batas pe­ngusulan pasangan calon presiden berdasarkan persentase perolehan suara atau kursi DPR dianggap MK memaksakan logika sistem parle­menter dalam praktik sistem presi­densial. Apabila diletakkan dalam salah satu gagasan besar peru­bahan UUD 1945, yaitu dalam rang­ka memurnikan sistem presiden­sial, cara pandang itu tidak sejalan dengan semangat awal dilakukan perubahan UUD 1945, yaitu me­ny­em­­purnakan dasar penyeleng­ga­raan negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pemba­gian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi, dan sa­ling imbang (checks and balances).

Pertimbangan-pertimbangan di atas meneguhkan MK untuk menyatakan inkonstitusionalitas ambang batas minimal pencalonan presiden. Pemohon perkara No.62/PUU-XXII/2024 hadir pada momentum yang tepat. Bersambut dengan arah pergerakan politik mutakhir Indonesia yang sudah sangat ‘menggelisahkan’ MK.

Selain menghapus ambang batas, MK juga memberikan judicial orders atau perintah pengadilan kepada pembentuk UU agar dalam revisi UU 7/2017 dapat melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) dengan mem­perhatikan beberapa hal. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kedua, pengusulan pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasa­ngan calon, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabu­ngan partai politik sehingga me­nyebabkan terbatasnya pasangan calon serta terbatasnya pilihan pemilih. Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak meng­usulkan pasangan calon dikenai sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud, termasuk perubahan UU 7/2017, melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaraan pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Menjaga pengadilan

Meski sangat lama untuk bisa membuat MK siuman dan ‘bertobat’, putusan MK harus disyukuri dan dirayakan. Kado awal tahun yang indah bagi masa depan demokrasi Indonesia yang inklusif, terbuka, dan kompetitif. Bak musim semi setelah sekian lama kebekuan musim dingin menyelimuti pilpres akibat dominasi koalisi gemuk serta keterbatasan pilihan berbuah polarisasi masyarakat.

Mari kita jaga pencapaian itu sem­bari terus mengingatkan tentang pen­tingnya pengadilan yang inde­penden sebagai elemen inti penjaga konstitusi dan demokrasi. Jangan ada intervensi atau upaya untuk mengerdilkan pengadilan. MK harus terus dikawal agar selalu berjalan di rel demokrasi konstitusional.

Publik harus mengawal revisi UU Pemilu dan UU Pilkada yang masuk Prolegnas 2025 memuat substansi lutusan MK secara utuh dan konsisten. Mesti dipastikan asas dan prinsip pemilu demo­kratis diatur dengan baik. Jaga terus stamina dan fokus kita sebab penghapusan ambang batas minimal pencalonan bukan panasea bagi semua penyakit pemilu dan demokrasi Indonesia.

Pemilu kredibel membutuhkan partai politik yang terus berbenah untuk memastikan berjalannya demokrasi internal partai agar berfungsi baik sebagai instrumen demokrasi. Juga mensyaratkan adanya penyelenggara pemilu yang profesional, mandiri, dan berintegritas. Tanpa itu semua, penghapusan ambang batas tidak akan berarti banyak. Titi Anggraini (Pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Pembina Perludem)