Ambon, Siwalimanews – Setelah dilantik oleh Presiden Prabowo Subianto, Gubernur Maluku Hendrik Le­we­rissa diharapkan bisa serius memperha­tikan kondisi Bank Maluku. Yang jadi fokus guber­nur baru adalah penem­pat­an orang yang kapa­bel untuk melakukan pem­benahan total terha­dap bank pelat merah tersebut.

Demikian diungkap­kan, akademisi Hukum Unidar, Rauf Pellu saat diwawancarai Siwalima melalui telepon seluler­nya, Kamis (23/1).

Rauf bilang, perhatian serius gubernur terpiluh ini sangat dibutuhkan ka­re­na, pengelolaan Bank Maluku-Malut selama be­­­be­rapa tahun bela­ka­ngan ini sering menim­bulkan pole­mik.

“Beberapa polemik yang terjadi mulai dari pemberian remunerasi tanpa keputusan RUPS, hingga polemik pembe­rian bonus jumbo kepada direksi dan komisaris yang dikeluhkan karyawan.

“Memang kalau kita telusuri be­berapa tahun belakangan ini me­mang ada masalah serius yang ter­jadi dan butuh perbaikan,” ujar Rauf.

Baca Juga: Korupsi BRI Mandek, PAMA Serunduk Kejati Maluku

Kata dia, tata kelola Bank Maluku-Malut saat ini membutuhkan inter­vensi gubernur baru sebagai peme­gang saham mayoritas untuk merombak manajemen Bank.

Jika perombakan manajemen Bank Maluku-Malut tidak segera dilaku­kan, lanjut Rauf, maka bisa saja kedepannya akan terjadi masalah-masalah serupa.

“Gubernur baru harus tegas terhadap manajemen Bank Maluku-Malut sebab tantangan bank Ma­luku kedepan ini cukup berat,” te­gasnya.

Rauf berharap, gubernur terpilih dapat menempatkan orang yang tepat pada jabatan yang ada sehi­ngga ada perbaikan terhadap manajemen Bank Maluku-Malut.

Selamatkan Bank

Pencopotan direksi menjadi solusi tepat untuk menyelamatkan Bank Maluku-Maluku Utara dari kehan­curan akibat salah pengelolaan. Demikian ditegaskan staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Pattimura, Jeffry Lei­wakabessy, menyikapi bonus jumbo yang diterima direksi dan komisaris bank plat merah itu.

Menurutnya, pemberian penghar­gaan atau remunerasi dalam satu oraganisasi baik pemerintah mau­pun perbankan tentu diatur dalam aturan, artinya tidak boleh dilakukan sesuai kehendak masing-masing.

Kepada Siwalima Rabu (23/1), Jeffry mengaku tidak mengetahu secara detail terkait dengan meka­nisme pemberian bonus atau remu­nerasi, namun dari literatur yang ada mestinya kebijakan ini diputus dalam RUPS sebagai lembaga pengambil kebijakan perbankan tertinggi yang dihadiri para pemegang saham.

Apalagi remunerasi atau bonus tersebut harus juga ditetapkan besarannya dalam RUPS atas dasar perhitungan dalam laporan keua­ngan yang telah didahului dengan proses audit oleh akuntan publik, namun jika faktanya tidak seperti itu maka tentu pemberian remunerasi tersebut merupakan bagian dari ketakutan.

“Kalau saya duga ini bagian dari pola ketakutan dari para direksi menjelang pergantian Gubernur Maluku, makanya mereka mengambil kebijakan sebelum terjadi pergantian gubernur, sebab mereka sudah tahu kalau mereka tidak akan lagi dipakai sebagai direksi,” ujar Jeffry.

Menurutnya, jika direksi tidak takut kehilangan jabatan, mestinya mereka menunggu sampai semua proses berjalan, termasuk pergan­tian gubernur yang dijadwalkan akan berlangsung di bulan Maret men­datang.

Karakter pejabat Bank Maluku-Malut seperti ini kata Jeffry, ha­rusnya diganti sebab sebagai bank kebanggaan masyarakat mestinya dikelola dengan baik, bukan seba­liknya terkesan hanya memen­tingkan diri sendiri.

“Karena itu sudah sangat tepat jika Gubernur Maluku nanti mela­kukan pergantian terhadap direksi dan komisaris yang selama ini memiliki rekam jejak tidak baik,” imbuhnya.

Rugikan Bank

Sedangkan Dekan Fakultas Eko­nomi Universitas Pattimura, Teddy Crhistianto Leasiwal mengungkap­kan, kebijakan pemberian bonus jumbo kepada jajaran direksi mau­pun komisaris Bank Maluku Malut yang dinilai tidak tepat.

Kebijakan tersebut haruslah ber­banding lurus dengan kinerja dan lebih prioritas pada peningkatan modal inti Rp3 triliun dan bukan kepentingan pribadi dan berpotensi rugikan bank.

Kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Rabu (22/1) Teddy bilang, kebijakan pemberian bonus dinilai kurang tepat mengingat tan­tangan besar yang dihadapi bank dalam memenuhi standar minimal modal inti.

“Saat ini, Bank Maluku Malut menghadapi tantangan besar untuk mencapai modal inti yang diwa­jibkan. Saya melihat jika memang benar, maka pemberian penghargaan semacam itu sebagai kebijakan yang kurang tepat. Apalagi saat Bank Maluku Malut masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi modal inti sebesar Rp3 triliun,” ujarnya.

Kata Teddy, kebijakan penghar­gaan semacam itu justru dapat mempersulit bank memenuhi standar minimal, bahkan berpotensi merugi­kan kelangsungan bank itu sendiri.

Menurutnya, Bank Maluku-Malut mestinya mengalihkan fokus pengeluarannya ke program-program yang lebih produktif, seperti permodalan bagi UMKM, kerja sama pada sektor potensial seperti perikanan, pertanian, dan pariwisata, atau inovasi layanan perbankan.

“Hal-hal ini membutuhkan biaya besar, sehingga pengeluaran bank sebaiknya diarahkan pada program yang efektif dan mendukung peng­embangan ekonomi daerah,” ujarnya.

Meski tidak menentang sepe­nuhnya pemberian penghargaan, ia menilai kebijakan tersebut harus mempertimbangkan prioritas dan besaran yang lebih rasional.

Dia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam pemberian re­munerasi atau bonus di Bank Maluku Malut.

Lebih jauh kata Teddy, kebijakan semacam itu juga harus didasarkan pada kinerja yang terukur untuk mengurangi ketidakpuasan di kala­ngan pegawai, dan meningkatkan akuntabilitas manajemen bank.

“Dengan transparansi, seluruh pegawai akan merasa lebih dihargai, dan kepercayaan terhadap pimpinan bank juga akan meningkat,” ujarnya.

Teddy berharap, Bank Maluku-Malut dapat lebih bijak dalam me­ngambil keputusan terkait penge­luaran agar dapat memperkuat kon­disi keuangan dan memberikan manfaat yang maksimal bagi masya­rakat di Maluku dan Maluku Utara.

“Oleh karena itu, saya melihat sebaiknya  kebijakan Bank diarah­kan pada pemenuhan modal inti dari pada kepentingan individu dalam bentuk penghargaan,” ujarnya.

Kecam Bonus Jumbo

Terpisah, aktivis Laskar Anti Ko­rupsi, Roni Aipassa menyayangkan kebijakan pemberian bonus kepada direksi dan komisaris Bank Maluku-Malut yang mencapai miliaran rupiah.

Roni menjelaskan, tidak tepat jika direksi dan komisaris mendapatkan bonus miliaran rupiah ditengah kondisi bank yang harus memenuhi kebutuhan modal inti 3 triliun.

Kalaupun sudah ada kesepakatan dengan bank lain terkait KUB bukan berarti direksi dan komisaris bebas mendapatkan bonus miliaran rupiah.

“Okelah kalau memang KUB itu sudah disepakati tapi ini bukan alasan mereka mendapatkan bonus miliaran rupiah itu apalagi masuk ke rekening pribadi lagi,” kecam Aipassa kepada Siwalima melalui telepon selulernya, Kamis (23/1).

Menurutnya, Bank Maluku-Malut saat ini mengalami kesusahan uang makanya dicari modal tam­bahan melalui KBU, tetapi dike­luarkan lagi miliaran rupiah untuk kepentingan pribadi dan kelom­pok.“Jika saat ini keuangan bank sehat artinya tidak ada masalah berkaitan dengan modal inti maka tidak menjadi soal sepanjang sesuai dengan aturan.

“Luar biasa juga direksi dan komisaris Bank Maluku -Malut ini memangnya kinerja mereka apa sampai mendapatkan bonus sebesar itu. KUB saja nyaris tidak terjadi,” ucap Aipassa.

Direksi dan komisaris lanjut Aipassa jangan hanya memikirkan kepentingan pribadi hari ini tetapi kepentingan bank jangka panjang juga harus dipikirkan. Aipassa pun memintakan pemegang saham melakukan evaluasi terhadap direksi dan komisaris bahkan jika diper­lukan seluruh direksi dan komisaris diberhentikan saja.

“Orang-orang seperti ini harus dievaluasi atau jika perlu diberhen­tikan saja, sebab mereka hanya memikirkan kepentingan pribadi dibandingkan kepentingan bank dan karyawan. Tidak layak seperti ini,” tegasnya

Protes Bonus

Diberitakan sebelumnya, di tengah situasi yang tidak menentu menyangkut KUB yang belum jelas, jajaran direksi dan komisaris masih mengeluarkan Rp10 miliar lebih untuk dinikmati bersama di awal tahun ini.

Seluruh penghargaan tersebut, malah sudah ditransfer masuk ke rekening masing-masing pejabat, Selasa (14/1), dengan rincian, direk­tur utama memperoleh Rp1.200. 000.000, sedangkan tiga direktur lain, masing-masing direktur pema­saran, direktur kepatuhan dan direk­tur umum mendapat Rp1.080. 000. 000. “Di jajaran pengawas, komisaris utama memperoleh Rp972.000.000 sedangkan dua komisaris lainnya masing-masing mendapat 874.800. 000.

Berdasarkan sejumlah fakta, rea­lisasi pemberian remunerasi variabel yang dilakukan, sama sekali tidak sepadan dengan kinerja mereka dan bertentangan dengan rekomendasi Otoritas Jasa Keuangan, serta me­langgar prinsip tata kelola peru­sahaan yang baik.

Rekomendasi OJK secara tegas menyatakan bahwa pemberian remunerasi variabel harus dilakukan setelah penetapan laporan keua- ngan setelah diaudit oleh kantor akuntan publik, baik laporan keua­ngan semester maupun tahunan. Selain itu, remunerasi variabel ter­sebut, semestinya mendapat perse­tujuan dalam rapat umum pemegang saham, sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Undang Undang Perseroan Ter­batas No. 40 Tahun 2007, Pasal 96 menyebutkan, gaji, tunjangan, dan remunerasi lain bagi direksi harus ditentukan berdasarkan keputusan RUPS. Hal ini juga berlaku untuk komisaris sebagaimana diatur dalam Pasal 113, dimana besaran dan bentuk remunerasi harus mendapat persetujuan pemegang saham melalui RUPS.

Pemberian remunerasi variabel ini telah memicu ketidak puasan dan protes dari internal Bank Maluku-Malut sendiri. Pasalnya telah terjadi ketimpangan dalam besaran pem­bayaran pegawai hanya mene­rima 50% dari remunerasi variabel, sementara besaran penghargaan untuk direksi dan komisaris dinilai terlalu besar dan tidak memiliki standar perhitungan yang jelas berdasarkan kinerja.

Salah satu pegawai Bank Maluku-Malut, kepada Siwalima, Kamis (16/1) lalu mengaku sangat kaget de­ngan remunerasi variabel yang diterima direksi dan komisaris.

Pegawai yang minta namanya tidak ditulis ini mengaku, sebagian besar karyawan protes atas kebijakam direksi dan komisaris yang hanya mengutamakan penda­patan mereka.

Dia bilang, semestinya yang men­jadi tolak ukur dalam perhitungan kinerja direksi dan komisaris adalah kehadiran mereka, dimana sorotan utama adalah tingkat kehadiran direksi yang dinilai sangat rendah.

Dia lalu mencontohkan, kehadiran Direktur Pemasaran Yeti Likur, di kantor hanya selama 52 hari dalam dalam tahun 2024, atau rata-rata 1 hingga 2 hari per minggu.

Bank Sehat

Direktur Utama Bank Maluku-Malut, Syahrisal Imbrar yang kepada Siwalima mengaku, pembe­rian penghargaan tersebut itu dise­pakati RUPS dan sesuai dengan Peraturan OJK maupun Undang Undang Nomor 13 Tahun 2023 tentang Ketenagakerjaan.

“Itu benar pemberian penghar­gaan dan ini sesuai RUPS maupun POJK serta UU tentang Ketenaga­kerjaan,” jelas dia melalui telepon selulernya, Kamis (17/1).

Menurut dia, pemberian penghar­gaan tersebut sudah sesuai POJK dan jika tidak diberikan, itu mela­nggar hak asasi.

Nilainya bisa mencapai itu karena dihitung satu kali gaji dikali 12 bulan dan itu berlaku semua untuk per­bankan. Ini juga sesuai dengan PJOK,  jika tidak diberikan itu tentu melanggar hak asasi manusia,” ujarnya.

Dia mengklaim, kinerja Bank Maluku-Malut saat ini tumbuh sehat hal ini dibuktikan dengan laba sebelum pajak tahun 2023 sebesar Rp174,5 miliar, laba sebelum pajak (un audited) Tahun 2024 Rp223,2 miliar dimana mengalami peni­ngatkatan 28%. CAR 31,80%, ROA 2,50%, meningkat dibanding Tahun 2023 sebesar 1,85%.

Terpisah, seorang mantan pega­wai Bank Maluku-Malut mengaku pernyataan Sharisal Imbar soal kesehatan bank, adalah upaya mencari pembenaran atas tindakan yang sudah dilakukan.

Menurut dia, tahun 2024 Benar Bank-Maluku Malut berhasil mencapai target keuangan yang ditetapkan. Namun salah satu faktor yang diduga turut berkontribusi terhadap pencapaian ini adalah kebijakan pemangkasan bonus triwulan kepada pegawai, yang memungkinkan bank untuk mengu­rangi biaya operasional.

“Kebijakan ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan pegawai yang hanya menerima sebagian dari remunerasi yang semestinya. Kebi­jakan ini  menuntut perhatian lebih terhadap kesejahteraan karyawan yang berpotensi menurunkan moti­vasi jangka panjang jika tidak dike­lola dengan bijaksana,” ujarnya ke­pada Siwalima, Selasa (21/1) siang.

Dia bilang, Undang Undang No­mor 13 Tahun 2023 tentang Kete­nagakerjaan tidak secara spesifik mengatur tentang pembayaran bonus kepada direksi, namun mengatur prinsip-prinsip dasar mengenai hak dan kewajiban pekerja serta hu­bungan industrial secara umum.

“Dalam konteks pembayaran bonus kepada direksi, UU ini mene­kankan pentingnya transparansi, keadilan, dan perlindungan hak-hak pekerja dalam suatu perusahaan. Artinya bonus kepada direksi seharusnya tidak mengabaikan kesejahteraan karyawan lainnya, mengingat regulasi terkait upah dan hak pekerja yang adil juga diatur dalam undang-undang ini,” im­buhnya. (S-20)