Restorasi Narasi Kebangsaan
SEBAGAI bangsa, sesungguhnya kita tengah kehilangan narasi. Kehilangan meminjam istilah Bagus Mulyadi–akan letaknya di dalam kosmos kehidupan ini. Tentang identitas, eksistensi, dan arti keberadaannya di tengah-tengah tata pergaulan dunia sekarang ini. Tentang posisinya dalam pertanyaan: jika Indonesia hilang hari ini, adakah dunia akan merasa kehilangan? Adakah yang menyayangkan kejadiannya? Adakah Indonesia hanya sebatas tanah tempat kita berpijak?
Sebelum masa pergerakan, kita memiliki narasi kebesaran Sriwijaya sebagai center of excellence ajaran spiritual. Di masa Majapahit, kita memiliki narasi sebagai empire yang menguasai wilayah Asia Tenggara dengan tata kelola persemakmuran yang dijalankannya. Di masa pergerakan, kita memiliki narasi berupa perjuangan menuju kemerdekaan hingga melahirkan jargon ‘Merdeka atau Mati!’. Kemerdekaan tidak hanya menjadi cita-cita, melainkan narasi yang membimbing kesadaran anak-anak bangsa yang terdidik.
Di masa pascakemerdekaan kita tetap memiliki narasi yang kuat, yakni revolusi nasional: bahwa setelah merdeka, pekerjaan kita belumlah selesai. Lebih dari itu, pekerjaan kita sebagai bangsa justru barulah dimulai. Sebab, neokolonialisme dan neoimperialisme tidak pernah berhenti menanamkan pengaruh di negeri ini, meski Indonesia telah meraih kemerdekaan.
Bahkan di masa Orde Baru berkuasa, bangsa ini tidak kehilangan narasi besarnya. Soeharto mencetuskan narasi tentang ‘pembangunan nasional’ yang di dalamnya ada repelita atau rencana pembangunan lima tahun hingga nantinya bangsa ini memasuki era yang diistilahkan dengan ‘era tinggal landas’. Semua itu merupakan narasi yang membimbing kesadaran bangsa ini bahwa dia tidak hanya eksis, tetapi juga turut berdialektika di antara bangsa-bangsa lain di dunia.
Walhasil, sejak dulu kita begitu besar, begitu istimewa. Baik sejarahnya, letak geografisnya, luas wilayah, kekayaan alam, dan seterusnya.Akan tetapi, bagaimana dengan hari ini? Narasi apa yang menjadi penanda bagi kita sebagai sebuah bangsa saat ini?
Baca Juga: Menjaga Asa Mandatori Sertifikasi Produk HalalKeistimewaan atau kebesaran tanpa narasi hanyalah pepesan kosong yang kerap menjadi bahan tertawaan orang. Amerika mungkin bukan negara adikuasa benar, tapi narasinya tentang the great nation senantiasa mereka kobarkan lewat berbagai rupa instrumen dan cerita. Demikian juga Tiongkok dengan penetrasi segala jenis produknya di pasar dunia; atau Rusia dengan diplomasi harga dirinya terhadap dominasi Barat; atau India yang terus menunjukkan diri sebagai bangsa yang dikenal sebagai produsen SDM dengan kualitas CEO dunia.
Adakah kita di pusaran pusat dunia saat ini? Adakah kita disebut negara demokrasi terbesar mungkin? Atau muslim world paling berpengaruh di dunia? Laboratorium kebebasan? Pusat kebudayaan tentang persatuan di tengah keberagaman (Bhineka Tunggal Ika)? Rasanya tidak.
Seorang pakar bertutur bahwa bangsa yang besar artinya istimewa. Istimewa artinya terpilih: terpilih untuk melakukan something meaning dan berpengaruh secara signifikan terhadap yang lain. Rasanya, belum lama terjadi, ketika kita adalah bangsa yang pernah menjadi pemimpin sekaligus memberi inspirasi besar bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika. Dan itu terjadi baru 70 tahun yang lalu ketika Deklarasi Bandung dicanangkan pada tahun 1955.
Apakah narasi itu? Adalah sebuah cerita besar atau cita utopia yang senantiasa didengungkan baik oleh pendengung maupun pendongeng; baik oleh penyair hingga tukang sisir tentang sesuatu hal tertentu. Ia semacam imaji pemandu sekaligus identitas tentang siapa kita dan apa arti pentingnya dalam hidup ini. Pendeknya, narasi adalah penjaga eksistensi meski jika sebuah diri sudah tiada lagi. Mereka lestari dalam babad-babad, syair, tambo, dan hikayat-hikayat yang hidup di tengah kehidupan bermasyarakat; sebagaimana cerita Sriwijaya, Majapahit, hingga kebesaran cita-cita seorang Sukarno dulu. Itulah narasi.
Sebagai bangsa dan negara, ternyata Indonesia adalah bumi yang menyimpan 50% lebih panas dunia. Ternyata Indonesia adalah bumi dengan hutan tropis, lahan gambut, dan terumbu karang terbesar di dunia. Ternyata ilmu tentang bumi bermula di tanah Jawa. Ternyata masyarakat Yogya sudah akrab bergaul dengan geologi sejak abad ke-16 silam. Ternyata obat-obatan masa depan tersembunyi di lepas pantai Halmahera. Dan di era di mana AI sudah semakin dominan dan ketika genomics setiap manusia sudah terdata maka di saat itulah power akan berada pada bangsa dengan diversity paling banyak. Dan semua itu ada di kita, Indonesia.
Pertanyaannya, akan kita olah dalam narasi seperti apa segala kekayaan dan keberlimpahan itu?
Sebagai bangsa, kita punya semuanya. Indonesia memiliki semuanya; kecuali cerita tentang arti, nilai, dan tujuan keberadaannya di dalam hidup ini. Kita punya cita-cita tentang negara yang adil dan makmur. Namun, dalam narasi seperti apa cita-cita itu kita bawakan? Kita punya segala kekayaan yang negara lain tak miliki. Akan tetapi, dalam cerita seperti apa segala anugerah itu akan kita tunjukkan kepada dunia?
Adakah kita hanya akan menjadi bangsa yang asyik masyuk dipandang sebagai bangsa penghasil bahan-bahan mentah belaka? Adakah kita hanya terobsesi akan berbondong-bondongnya investasi yang datang sambil kita tak pernah mampu menciptakan iklim usaha yang nyaman bagi segenap investor? Adakah kita ingin sekadar dikenal sebagai bangsa yang begitu ramah dan toleran tapi di saat bersamaan sejumlah peristiwa banal dan kasar terus-menerus terjadi?
Adakah kita bangga disebut negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara sambil diam-diam tak pernah paham apa demokrasi itu sesungguhnya? Atau adakah kita begitu tersanjung karena dikenal sebagai negara muslim terbesar sambil kerap gagal menunjukkan kesadaran mental dan spiritual yang luhur dan beradab?
Di dalam narasi, terkandung selalu adanya harapan. Di dalam harapan, tersimpan selalu semangat untuk menjalani hidup. Itulah mengapa setiap ideologi senantiasa memiliki utopianya masing-masing. Sebab utopia adalah energi yang membawa daya hidup dan imaji pada setiap penganutnya. Dan tidak ada yang paling ampuh dalam membawakan sebuah utopia selain narasi.
Mengapa ajaran-ajaran agama mampu bertahan hingga bermilenium lamanya? Karena, pertama-tama, ia dibawakan lewat narasi; lewat cerita-cerita. Kitab suci bahkan didominasi dengan beragam kisah di dalamnya.
Sebagaimana cerita pada umumnya, narasi memiliki tiga elemen penting: adanya para lakon, adanya alur atau plot cerita, serta pesan moral atau nilai yang ingin disampaikan. Kini, cerita seperti apa yang akan mainkan, dan lakon seperti apa yang akan kita perankan. Adakah kita akan benar-benar menjadi bangsa dengan kualitas ‘Garuda’ atau bangsa ‘Garuda’ dengan kualitas burung emprit belaka.
Menjelang 80 tahun Indonesia merdeka, sudah saatnya bangsa ini menemukan kembali narasi yang menghidupinya. Narasi yang akan membuat bangsa ini menyadari bahwa dia adalah bangsa yang sarat dengan narasi keagungan dan senantiasa aktif berkiprah membangun peradaban dunia.
Sekarang, what’s next? What is to be done? Tidak ada pilihan lain kecuali kita mesti mulai menyusun kembali cerita kebesaran bangsa ini, baik dari masa lalu dan terutama bagi masa depan kita. Inilah saatnya kita mencanangkan restorasi narasi kebangsaan. Sebab, narasi yang lemah akan melahirkan bangsa yang lemah pula.
Narasi yang lemah akan menunjukkan bahwa kita tidak paham akan sejarah, nilai, dan tentang siapa diri kita sendiri. Tidak ada jalur utama yang mampu membangun narasi itu selain jalur politik (kekuasaan) disertai kerja-kerja kebudayaan. Dan pada siapa lagi kini kita bisa berharap selain kepada pemimpin nasional kita, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto.
Di bawah kepemimpinannyalah, sebagai bangsa, kita berharap akan lahir narasi yang mampu membimbing kesadaran bangsa ini demi mulianya kehidupan berbangsa dan bernegara, serta demi tunainya tujuan dan cita-cita dari berdirinya Republik Indonesia ini. Oleh: Willy Aditya (Politisi Partai NasDem, Ketua Komis XIII DPR)
Tinggalkan Balasan