AMBON, Siwalimanews – Ribun pedagang kuliner malam yang tersebar di lima kecamatan di Kota Ambon menjerit. Pasalnya, tarif retribusi yang diberlakukan Pemerintah Kota Ambon mencekik leher alias terlalu tinggi.

Bagaimana tidak, tarif retribusi yang diberlakukan oleh Pemkot Ambon sebagaimana tertuang dalam Surat Pemberitahuan Dinas Perindustrian Kota Ambon Nomor : 56/608/Indag yang ditandatangani Kepala Dinas dan Perindustrian Kota Ambon JP Loppies, memasang tarif sebesar Rp 40 ribu-100 ribu rupiah per hari sesuai ukuran tenda.

Jika hal itu jelas diberlakukan dan dilaksanakan pihak pemkot, maka sehari pendapatan daerah dari penarikan retribusi ke ribuan pedagang mencapai puluhan juta rupiah.

Tarif retribusi ini, tidak hanya berlaku bagi pedagang kuliner, tapi juga pedagang kaki lima yang tersebar di lima kecamatan, yakni Kecamatan Teluk Ambon, Kecamatan Teluk Ambon Baguala, Kecamatan Sirimau, Kecamatan Nusaniwe dan Kecamatan Leitimur Selatan.

Bukan hanya tarif retribusi pedagang kuliner, tapi PKL pun mengeluh. Dalam Surat Pemberitahuan pihak Disperindag Kota Ambon itu merujuk kepada Peraturan Daerah Kota Ambon Nomor 1 Tahun 2004 tentang pajak daerah dan retribusi daerah.

Baca Juga: Polres Buru Kembali Tangkap Pelaku Persetubuhan Anak Kandung

Disebutkan dalam surat tersebut, besaran tarif tetribusi disesuikan dengan luasan badan jalan dan aset daerah berupa lahan yang disewakan kepada pedagang kuliner dan kaki lima. Contoh, perhitungan tarif pedagang yang menggunakan badan jalan seluas 5m x lebar 4m x Rp 2000 = Rp40 ribu.

Ibu Asnath, penjual nasi kuning yang ditemui di kawasan Teluk Ambon mengelukan besaran tarif tersebut, karena pendapatan yang bersangkutan per hari Rp100 ribu sampai Rp150 ribu, bahkan kadang juga Rp100 ribu per harinya.

“Pendapatan kami segini, setiap harinya kami bayar Pemkot Rp40 ribu, tenda kami juga kecil tarif ditagih tinggi, kita kerja hanya untuk bayar pajak ke pemkot,” tuturnya.

Menariknya, dalam sehari, pemkot tidak hanya menarik retribusi dari pedagang kuliner dan PKL, tapi ada juga retribusi lainnya, yakni retribusi persampahan/kebersihan dari petugas Dinas Lingkungan Hidup dan Persampahan Kota Ambon. Retribusi tersebut per hari Rp5000.

“Bayangkan saja sehari kami bayar ke pemkot itu Rp 45 ribu, tapi oto sampah tidak pernah datang di lokasi kami berjualan, kami juga angkut sampah buang di tempatnya. Kalo ada 10 pedagang ya sudah berapa banyak retribusi yang kami bayar ke pemkot di lokasi tempat saya berjualan ini. Di Teluk Ambon banyak pedagang ratusan, bahkan bisa ribuan,” jelas Ibu Asnath pilu.

Hal lainnya yang diungkapkan ibu Asnath, petugas retribusi itu berganti-ganti orang, kadang suka mengancam mau robohkan tenda, tidak sopan menagih dan menagih pun di atas jam 22.00 WIT, menggunakan sepeda motor, bahkan juga tidak menyerahkan struk atau karcis pembayaran sebagai bukti.

“Mereka itu tidak sopan datang-datang dengan meteran, lalu banting meter ukur, ancam pedagang jangan banyak bicara, kalau tidak tenda dirobohkan. Sadisnya dong suka kasih karcis suka seng, tidak berikan ke katong penjual. Ya, katong cari hidup katong pasrah saja,” keluhnya.

Tak hanya ibu Ansnath penjual nasi kuning, namun Ibu Waty penjual kuliner ayam goreng pun merasakan hal yang sama. Ibu Waty menuturkan belakangan ini aksi para penagih retribusi sangat mengecewakan, lantaran tidak sopan dan terkesan memaksakan.

“Dong itu kalo datang batagih maunya cepat-cepat, mungkin takut orang liat dong. Katong bilang, sio ayam nih laku cuman beberapa potong, dong seng mau tau dengan keadaan. Jadi karcis retribusi kuliner atau PKL itu akang bersamaan dengan karcis reribusi persampahan dan kebersihan,” ungkap ibu Waty.

Sementara itu, salah satu pegawai di lingkup Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Ambon membeberkan, kalau ada sindikat di lingkungan dinas tersebut, yang bertugas meraup keuntungan dari diberlakukannya Perda Nomor 1 tahun 2024.

“Itu ada sindikat, dulu komplotan ini ada, tapi ketahuan dong stop, sekarang su mulai kombali,” kata dia dengan logat Ambon yang kental.

Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Kota Ambon, JP Lopies yang dihubungi melalui telepon selulernya Selasa (18/2) guna mengkonfirmasi hal tersebut tidak berhasil, lantaran telepon selulernya di luar service area.

Baik ibu Asnath maupun ibu Waty meminta kepada Pj Walikota Ambon Dominggus Kaya ataupun Walikota terpilih Bodewin Wattimena, agar kebijakan-kebijakan pemerintah kota lebih pro kepada rakyat.

“Kabijakan boleh-boleh saja, asalkan pro rakyat, kasihan kami rakyat kecil,” imbuhnya. (S-25)