Polemik Cairkan Sisa Dana RS Haulussy

Borok pengerjaan proyek gedung E di RS Haulussy, kembali tercium dengan beredarnya surat permintaan pencairan anggaran sisa pekerjaan.
Surat permintaan pencairan sisa anggaran pekerjaan tersebut telah beredar sejak Senin (24/3) lalu.
Dalam surat siluman yang belum diketahui siapa pembuatnya secara jelas, berisikan permintaan sisa pembayaran Rp3.629.034.000.00 dari paket pekerjaan pembangunan kamar operasi RS dengan nilai kontrak Rp9.072.587.000.00.
Proyek lanjutan itu bersumber dari DAU Earmark, memang baru terealisasi sebesar 5.443.553.000.00 dari total nilai kontrak 9.072.587.000.00 makanya sisa pembayaran 3.629.034.000.00.
Surat tersebut dibikin oleh oknum tertentu memgatasnamakan Direktur RS Haulussy. Sehingga diduga surat itu dibuat oleh oknum tentu yang memiliki keterkaitan dengan proyek pekerjaan kamar operasi.
Baca Juga: Desakan Usut Anggaran Pemeliharaan Rumjab GubernurFatalnya lagi surat permintaan pencairan sisa anggaran pekerjaan tersebut, tidak ditujukan kepada Hendrik Lewerissa sebagai Gubernur Maluku, melainkan hanya ditujukan kepada Wakil Gubernur Abdullah Vanath dan Sekretaris Daerah Sadli Ie.
Seharusnya ika ingin meminta pencairan sisa anggaran pekerjaan, maka surat tersebut harus ditujukan langsung kepada Gubernur bukan ke Wakil Gubernur, apalagi sekda.
Karena itu wajar jika ada yang menduga, ada upaya kongkalikong terkait dengan pembayaran anggaran sisa pekerjaan gedung E di RS Haulussy tanpa diketahui Gubernur Maluku sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.
Entah siapa oknum yang membuat surat bodong ini, karena jika dibuat oleh Direktur RS Haulussy maka tentu saja surat akan ditujukan kepada Gubernur Maluku.
Terdapat surat bodong ini, maka Gubernur sebagai Kuasa Pengguna Anggaran memiliki kewenangan untuk mengusutnya untuk memberikan peringatan keras kepada oknum-oknum yang bertindak melanggar aturan.
Publik berharap, praktek-praktek kotor yang bisa menimbulkan dugaan tindak pidana korupsi seharusnya tidak dilakukan, terhadap gedung E RS Haulussy yang sampai saat ini terbengkalai, gubernur harus mengambil tindakan tegas, bila perlu meminta Inspektorat melakukan audit dan jika ada indikasi ke tindak pidana korupsi, maka berikan rekomendasi kepada aparat penegak hukum baik kejaksaan maupun kepolisian untuk menyelidiki.
Proses penyelidikan ini dilakukan agar ada efek jera, termasuk tidak memakai perusahaan-perusahaan yang melaksanakan proyek tidak tuntas, bila perlu di black list.
Karena terbengkalainya proyek gedung E RS Haulussy itu indikasi kuat adanya dugaan tindak pidana korupsi, sehingga perlu diusut oleh aparat penegak hukum.
Dan untuk memastikan indikasi adanya kerugian keuangan negara yang terjadi menurut Supusepa, harus dilakukan audit investigatif baik secara internal oleh Inspektorat maupun eksternal dengan melibatkan BPK atau BPKP.
Hasil audit investigatif tersebut dapat menjadi pintu masuk bagi jaksa atau polisi untuk mengusut adanya indikasi korupsi dan mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab secara pidana. (*)
Tinggalkan Balasan