DOUGLAS Noël Adams (11 Maret 1952–11 Mei 2001), seorang penulis dan musikus Inggris, pernah menulis perihal memilih pemimpin di sebuah planet, di mana manusia diperintah oleh tuan kadal. Katakanlah planet tersebut adalah negara demokrasi, di mana jumlah manusianya melebihi dari jumlah kadal, tapi anehnya kadal selalu terpilih. Ternyata manusia memilih kadal karena alasan sederhana: “Jika tidak memilih kadal, ‘yang salah’ mungkin akan terpilih,” (Brian Klaas, 2022).

Sinisme tersebut sepertinya relevan di tengah euforianya rakyat Indonesia menyambut Pilkada 2024. Dalam konsep demokrasi, momentum tersebut ditahbiskan sebagai arena daulat rakyat, di mana rakyat dengan supremasi hak demokrasi yang dimiliki akan menentukan dan memilih para pemimpin secara langsung.

Akan tetapi, menunaikan hak demokrasi dengan memilih pemimpin yang benar-benar kapabel tidaklah mudah. Sebab, pemimpin yang baik akan selalu berkerja di setiap masa jabatannya dengan komitmen yang terjaga. Sedangkan, di sisi lain, dengan lensa kognisi sosial yang dimilikinya, rakyat tetap dihantui keterbatasan untuk memprediksi sejauh mana seorang calon pemimpin memelihara komitmen melayani rakyat. Mengingat manusia memiliki kecenderungan destruksi dalam mengelola kekuasaan (Kipnis, 1972).

Terputus dengan rakyat

‘Artefak’ yang paling sederhana bisa disorot dari fenomena korupsi kepala daerah yang makin marak. Indonesia Corruption Watch (ICW) mengungkap ada 61 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi oleh penegak hukum sepanjang 2021 hingga 2023. Jumlah yang sebenarnya tidak sedikit untuk hitungan sebuah negara demokrasi yang pemilihannya dilakukan secara langsung oleh rakyat.

Baca Juga: Urban Farming dan Ketahanan Pangan

Maka, benar yang dibilang Yudi Latif (Kompas, 19/9/2024) bahwa pemaknaan ‘demokrasi’ di kita lagi tidak mengikuti definisi Abraham Lincoln, yakni democracy is government of the people, by the people, and for the people (demokrasi adalah pemerintah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tetapi berubah menjadi government off the people (pemerintahan yang terputus dari rakyat), buy the people (membeli rakyat), dan force the people (menekan rakyat).

Cara-cara manipulatif para petinggi daerah untuk mengekalkan hukum besi power tends to corrupt dengan seluruh fasilitasnya seakan sudah menjadi gerakan peristaltik (ritualitas menelan, menyedot) kekuasaan dengan kemampuan menyiasati dan mengapitalisasi momentum politik.

Kita pernah punya pengalaman buruk di beberapa daerah mengenai habitus kepala daerah yang membuat dirinya terputus dengan rakyat. Ketika menjelang pilkada, misalnya, dana-dana pemerintah sengaja diendapkan di bank-bank milik pemerintah daerah. Bahkan, menurut Kementerian Dalam Negeri kala itu, ‘dana parkiran’ tersebut besarnya bisa mencapai ratusan triliun, yang tentu saja sangat menggiurkan untuk dijadikan lahan bancakan pihak-pihak terutama incumbent yang tengah menyasar kursi kepala daerah. Ada juga kepala daerah petahana yang dengan sengaja menunda-nunda implementasi proyek pembangunan di daerahnya, yang sebenarnya sudah dianggarkan terutama terkait pembangunan infrastruktur, sampai mendekati pilkada agar mereka bisa dengan mudah mengonkretkan ingatan politis rakyat sebagai bagian dari strategi pencitraan meraih simpatik dan dukungan politik demi memenangi kursi kepala daerah.

Ada juga fenomena yang tak kalah mengelisahkan publik terkait birokrasi yang selalu digunakan sebagai mesin politik pengerahan dukungan jelang pilkada khususnya oleh patahana. Birokrasi yang mestinya netral dari berbagai kepentingan partisan dijadikan sebagai kuda tunggangan untuk mendapatkan suara terbanyak.

Istilah ‘mesin birokrasi’ yang dicetuskan sosiolog Jerman Max Weber (1864-1921), yang sejatinya ingin menekankan bahwa birokrasi tak bisa lepas dari pembagian dan spesialisasi kerja layaknya mesin yang memiliki suku cadang, akhirnya dijungkirbalikkan sebagai mesin kepentingan politik para elite semata.

Birokrasi cenderung dijadikan wadah untuk menyeleksi musuh dan kawan politik. Yang dianggap musuh harus siap-siap untuk dialienasi atau terlempar keluar dari posisinya sebagai ‘birokrat tawanan politik’. Sedangkan yang dianggap kawan akan diberikan posisi yang ‘basah’ tanpa lagi mereken kapabilitas dan kompetensinya.

Betapapun demikian, roda demokrasi lokal harus tetap menggelinding untuk menghidupkan dan menjalankan pemerintahan lokal. Rakyat tak cukup hanya meratap dan merutuki nasibnya. Sebaliknya rakyat perlu menjaga demokrasi lokal agar tidak terus dijadikan bancakan oleh para politisi haus kuasa dan birokrat oportunis.

Sebagaimana kata senator kawakan Amerika Serikat Tip O’Neill, all politics is local, demokrasi lokal adalah elemen krusial untuk membangun demokrasi nasional berkualitas yang mampu menyejahterakan dan melindungi rakyat dari buaian sampai kuburan (from craddle to grave).

Kesadaran kritis

Membangun kesadaran kritis untuk mengawal pilkada harus menjadi sebuah keniscayaan politik. Dalam masa kampanye misalnya, parpol, politisi, dan para pendukungnya harus menghadirkan atmosfer kontestasi demokratis yang dewasa secara budaya dan perilaku. Misalnya, tidak memelihara bibit-bibit provokasi, agitasi dengan embel-embel SARA yang merusak kohesivitas bermasyarakat dan berbangsa. Kontestasi politik bukan arena mencari musuh (enemy), melainkan arena menciptakan lawan (adversary) sebagai partner dalam perang atau adu gagasan (Agamben, 2005).

Dalam pilkada, rakyat harus selalu bersiap-siap berhadapan dengan tiga mimpi buruk pemimpin, yakni ketidakjujuran pemimpin, egoisme, dan kecerobohan pemimpin (Reinout E de Vries, 2018). Ini membutuhkan lensa kognisi dan hati yang jernih dan bijaksana untuk menilai kelayakan calon pemimpin.

Dalam banyak kenyataan, mereka yang berapi-api menonjolkan diri, ingin berkuasa dan memerintah, pada dasarnya adalah mereka yang sejatinya paling tidak cocok untuk melakukan hal tersebut. Tak sedikit pemimpin yang di awal selalu mendeklarasi sikap antikorupsi secara meyakinkan, tetapi di tengah perjalanan kekuasaannya, ia pun goyah dan dengan mudah menggadaikan komitmen dan integritasnya itu pada pelbagai persekongkolan dengan para kroni dan pendukungnya.

Karena itu, rakyat perlu menyeleksi secara cerdas dan kritis calon pemimpin mana yang layak untuk mau hidup bersama bau keringat rakyat dan rela berkorban demi rakyat bisa bahagia. Rakyat yang tidak dewasa dan kritis mempertimbangkan pilihannya, karena lebih memilih tergiur pada bau parfum janji dan pemberian politik sesaat yang menipu dari para politisi, adalah bagian dari manusia yang selalu membiarkan para politisi mencari kekuasaan (dengan cara yang liar penuh nafsu) ketimbang mencari orang yang pandai (bijak dan berintegritas) memegang kekuasaan. Dengan begitu, yang terpilih pada akhirnya tetaplah ‘kadal’.Oleh: Umbu TW ParianguDosen FISIP Universitas Nuasa Cendana, Kupang. (*)