PILKADA serentak 2024 di Indonesia telah menjadi sorotan utama dalam ranah politik dan publik sebagai momentum penting bagi pesta demokrasi di negeri ini. Namun, di balik euforia demokrasi yang sedang berlangsung, ada tantangan yang serius terkait dengan integritas dan transparansi dalam pengelolaan dana zakat.

Awal tahun ini, menjelang Pemilihan Umum Presiden 2024, Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas RI) Noor Achmad mengingatkan agar dana zakat, infak, dan sedekah (ZIS) tidak digunakan untuk kepentingan pemilu atau politik praktis. Baznas RI bahkan mengeluarkan surat edaran (SE) ke seluruh Baznas wilayah dan lembaga amil zakat (LAZ) seluruh Indonesia yang berisi larangan mempergunakan dana ZIS untuk kepentingan politik praktis.

Kini, menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan diadakan serentak pada November tahun ini, kekhawatiran penggunaan dana ZIS kembali mencuat. Kasus-kasus penyelewengan dana zakat yang terungkap baru-baru ini mengingatkan kita akan risiko yang mengintai, terutama saat mendekati periode pemungutan suara dalam pilkada.

Secara struktur, kepengurusan LAZ dan Baznas di kabupaten/kota dipilih oleh pemerintah daerah setempat. Kondisi itu membuat peluang konflik kepentingan, bahkan penyalahgunaan dana ZIS demi efek elektoral dan kekuasaan menjadi terbuka lebar. Hal itu tidak hanya membuka kelemahan dalam pengelolaan dana zakat di tingkat lokal, tetapi juga menunjukkan celah besar dalam pengawasan dan manajemen dana sosial keagamaan di Indonesia.

Sebenarnya, dalam Undang-Undang No 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat sudah mencerminkan komitmen untuk menciptakan sistem yang transparan dan akuntabel dalam pengelolaan dana ZIS dengan memberikan mandat kepada berbagai pihak seperti Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), lembaga amil zakat (LAZ), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), serta Kementerian Agama RI Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf untuk bekerja sama secara intensif. Tujuannya ialah untuk memastikan bahwa penyelenggaraan pilkada berlangsung dengan kualitas, kejujuran, dan akuntabilitas yang tinggi.

Baca Juga: Kamala Harris Memilih Jalur Sulit di Pilpres AS

Dengan menggunakan asas perlindungan hukum preventif, undang-undang tersebut bertujuan mencegah penyalahgunaan dana yang telah dihimpun oleh lembaga amil zakat. Namun, tantangan besar tetap ada dalam memastikan bahwa pengawasan terhadap lembaga-lembaga pengumpul zakat atau unit pengumpul zakat dan sesuai dengan regulasi yang ada.

Perlindungan hukum preventif yang digariskan dalam undang-undang meliputi pembinaan dan pengawasan serta keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut. Itu merupakan langkah penting karena pengawasan yang efektif memerlukan kolaborasi antara lembaga pengelola zakat dan masyarakat untuk mencapai transparansi dan akuntabilitas yang maksimal. Masyarakat yang aktif terlibat dalam pengawasan dapat menjadi garis pertahanan pertama terhadap potensi penyalahgunaan.

Namun, pengawasan yang dilakukan haruslah berbasis hukum dan tidak sewenang-wenang. Penting untuk memastikan bahwa pengawasan tidak hanya dilakukan sebagai formalitas, tetapi juga benar-benar sesuai dengan regulasi yang berlaku. Hal itu memerlukan adanya standar yang jelas dan prosedur yang ketat dalam pelaksanaan pengawasan. Fungsi pengawasan tidak hanya sebatas pemantauan, tetapi juga membandingkan pelaksanaan dengan standar yang telah ditetapkan. Tujuannya ialah untuk memperkuat rasa tanggung jawab dan mencegah penyimpangan serta memperbaiki kesalahan dalam pelaksanaan pekerjaan.

Langkah konkret yang bisa diambil antara lain ialah penguatan koordinasi lintas lembaga untuk memastikan bahwa dana zakat, infak, dan sedekah dialokasikan sesuai dengan amanat syariat dan regulasi yang berlaku. Salah satu inisiatif yang dapat dipertimbangkan ialah pembentukan Unit Pengumpul Zakat (UPZ) di Bawaslu, sejalan dengan peran Baznas dalam mengelola pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat secara nasional sesuai dengan ketentuan UU No 23 Tahun 2011 Pasal 31 ayat 2.

Selain pembentukan UPZ, langkah penting lainnya ialah memperkuat sistem pengawasan dan audit. Baznas dan Bawaslu dapat bekerja sama dalam membentuk tim audit keuangan yang terdiri atas akuntan publik. Tim itu akan bertugas melakukan audit rutin terhadap laporan pelaksanaan pengelolaan dana zakat, infak, sedekah, serta dana sosial keagamaan lainnya. Audit harus dilakukan secara berkala dan transparan dengan mengacu pada prinsip syariah dan regulasi yang diatur dalam Pasal 75 ayat 1 UU No 23 Tahun 2011. Selain itu, perlu dikembangkan sistem monitoring yang memungkinkan pemantauan pendistribusian dana zakat dari muzakki ke mustahik melalui platform daring yang dapat diakses oleh masyarakat umum.

Untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat, pengawasan harus dilakukan baik secara kelembagaan maupun partisipatif. Pengawasan kelembagaan memerlukan evaluasi yang konsisten terhadap kinerja lembaga zakat, sementara pengawasan partisipatif melibatkan masyarakat dalam proses pemantauan dan evaluasi. Kedua jenis pengawasan itubsaling melengkapi dan penting untuk memastikan bahwa dana zakat digunakan secara efektif sesuai dengan tujuannya.

Tahapan pengawasan melibatkan dua langkah penting. Pada tahap pertama, pengawasan bertujuan memastikan bahwa pelaksanaan kerja sesuai dengan instruksi dan prosedur yang telah ditetapkan serta mengidentifikasi kelemahan dan kesulitan yang dihadapi. Pada tahap kedua, fokus pengawasan beralih kepada pencarian tindakan perbaikan untuk mencegah terjadinya masalah serupa pada masa depan. Dengan pendekatan tern, diharapkan lembaga amil zakat dapat mengelola dana dengan lebih baik dan masyarakat dapat memiliki kepercayaan penuh terhadap lembaga tersebut.

Secara keseluruhan, pengawasan yang ketat dan berbasis hukum dalam pengelolaan zakat ialah kunci untuk mencegah penyalahgunaan dan memastikan bahwa dana zakat benar-benar sampai kepada yang membutuhkan. Dengan peran aktif masyarakat dan standar pengawasan yang jelas, lembaga amil zakat dapat menjalankan fungsi mereka dengan lebih baik dan efektif.

Integrasi pengelolaan dana zakat dengan prinsip 3A (aman syar’i, aman regulasi, Aman NKRI) memerlukan partisipasi aktif dari berbagai pihak, terma­suk lembaga negara, kemente­rian/lembaga pemerintah non­-kementerian, BUMN, perusahaan swasta nasional dan asing, serta perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dalam membentuk UPZ.

Kementerian Agama RI, mela­-lui Direktorat Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, telah menun­jukkan komitmen yang tinggi dalam mengatur dan mengawasi lembaga zakat di Indonesia melalui berbagai program inovasi seperti program pengembangan ekonomi umat dalam mendu­kung revitalisasi KUA, kampung zakat, inkubasi wakaf produktif, dan Launching Program Kota Wakaf.

Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam di Kementerian Agama RI memiliki peran sentral dalam meningkatkan partisipasi umat dalam pengelolaan zakat dan wakaf. Melalui Rencana Strategi Kementerian Agama Tahun 2020-2024, Kementerian Agama telah merumuskan berbagai inisiatif strategis untuk memperkuat tata kelola zakat dan wakaf di Indonesia.

Program Lebaran Yatim: Berbagi Cinta Berlimpah Berkah yang diadakan pada 16 Juli 2024 di Jakarta ialah contoh nyata bagaimana Kementerian Agama berkolaborasi dengan berbagai pihak terkait, termasuk Baznas RI, LAZ, dan lembaga zakat lainnya untuk memperkuat infrastruktur pengelolaan dana zakat dan wakaf.

Kegiatan Lebaran Yatim tidak hanya berfungsi sebagai acara keagamaan, tetapi juga sebagai platform untuk memperkuat sinergi dan kolaborasi antara Kementerian Agama, lembaga zakat, pemerintah, BUMN, swasta, serta masyarakat umum. Dengan dukungan langsung dari Menteri Agama RI Bapak KH Yaqut Cholil Qoumas, kegiatan itu memberikan momentum penting untuk menggalang dukungan bersama dalam meningkatkan kesejahteraan umat melalui pengelolaan dana zakat yang lebih efektif dan efisien.

Meskipun telah ada langkah-langkah signifikan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana zakat, tantangan besar masih menanti. Kompleksitas pengelolaan dana di tingkat lokal, risiko penyalahgunaan untuk kepentingan politik, dan kebutuhan akan pengawasan yang lebih ketat menjadi agenda krusial yang harus ditangani bersama. Langkah-langkah preventif seperti pembentukan UPZ, audit rutin, pengembangan sistem monitoring, serta peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan zakat ialah langkah awal yang strategis.

Pilkada serentak 2024 bukan sekadar tentang proses demokrasi politik, melainkan juga ujian bagi integritas dan transpa­ransi dalam pengelolaan dana sosial keagamaan, khususnya zakat. Inisiatif pemerintah melalui Kementerian Agama dan berba­gai lembaga terkait untuk mem­perkuat koordinasi, kolaborasi, dan pengawasan dalam penge­lolaan zakat dan wakaf sangat penting untuk membangun kepercayaan masyarakat dan memastikan penggunaan dana yang terkumpul secara efektif dan efisien.

Dengan langkah-langkah konkret dan komitmen yang kuat dari semua pihak terkait, diharap­kan bahwa Pilkada serentak 2024 dapat berlangsung dengan jujur, adil dan akuntabel, serta memberi­kan manfaat yang nyata bagi kemajuan demokrasi dan kesejah­teraan umat di Indonesia. Oleh: Muhibuddin Kasubdit Edukasi, Inovasi, dan Kerja Sama Zakat Wakaf Kemenag RI.(*)