DI tengah optimisme sebagian pihak bahwa Indonesia tidak akan masuk pada perangkap resesi global, kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air dilaporkan sedang tidak baik-baik saja. Menjelang akhir tahun 2022, sejumlah perusahaan dilaporkan terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam jumlah besar. Situasi pasar yang tidak kondusif, ditambah inflasi, menyebabkan pemasaran sejumlah produk meng­alami penurunan. Bahkan, tidak sedikit perusahaan yang harus menutup usahanya karena kolaps.

Di Indonesia, gelombang PHK pekerja terutama terjadi pada sektor usaha rintisan atau start-up dan usaha manufaktur. Bahkan, ancaman pengurangan pekerja juga sudah mulai terlihat di sejumlah industri padat karya. Di berbagai daerah, tidak sedikit serikat pekerja yang mengungkapkan, bahwa banyak anggotanya yang sudah mulai berkurang hari kerjanya, dan bahkan tidak sedikit yang akhirnya dirumahkan. Di berbagai industri garmen, tekstil, sepatu, dan lain-lain, tidak sedikit pekerja telah dirumahkan sebulan lebih. Di Provinsi Jawa Barat dilaporkan per Oktober 2022 sebanyak 55 ribu pekerja telah terkena PHK dan sebanyak 18 perusahaan tutup (Media Indonesia, 3 November 2022).

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2022, jumlah pengangguran di Indonesia sebetulnya sudah mulai turun, yakni berkurang 350 ribu dari 8,75 juta pada Februari 2021 menjadi 8,4 juta pada Februari 2022. Namun demikian, menjelang ancaman resesi global di tahun 2023 nanti, jumlah pengangguran diperkirakan akan kembali naik. Gelombang PHK yang dilakukan sejumlah perusahaan akan membuat kondisi ketenagakerjaan mengalami krisis. Bukan tidak mungkin, angka pengangguran akan bertambah ratusan ribu korban PHK.

Faktor penyebab

Secara umum, perlambatan kondisi pasar global akibat resesi dan penurunan daya beli masyarakat jelas menjadi faktor yang memengaruhi perkembangan kondisi ketenagakerjaan di Tanah Air. Saat ini, di berbagai daerah dilaporkan sejumlah perusahaan bukan hanya mengurangi kapasitas produksi, tetapi telah pula melakukan pengurangan jam kerja karyawan.

Baca Juga: Tantangan Komunikasi Publik Membumikan Presidensi G-20 Indonesia

Tidak sedikit perusahaan sudah meliburkan pekerjanya pada Sabtu-Minggu, dan bahkan ada juga perusahaan yang kini hanya kerja 4-5 hari seminggu, hingga mematikan 1 hingga 2 lini produksinya. Ancaman terjadinya gelombang PHK tampaknya sudah ada di hadapan kita.

Sejumlah faktor yang mendorong terjadinya gelombang PHK yang makin masif adalah, pertama, berkaitan dengan proses efisiensi kerja yang distimulasi oleh perkembangan dan penggunaan teknologi dalam proses produksi. Di era persaingan usaha yang makin kompetitif, sejumlah perusahaan mau tidak mau harus melakukan penghematan melalui transfer pemanfaatan teknologi, yang ujung-ujungnya berdampak atau memaksa adanya efisiensi karyawan. Dibandingkan pekerja yang berisiko menganggu kelancaran proses produksi karena terkadang melakukan aksi demo, penggunaan teknologi bukan saja dinilai lebih efisiensi, tetapi juga lebih menjamin kepastian kelangsungan produksi.

Kedua, karena belum adanya jaminan kerja yang pasti. Dalam banyak kasus, perlindungan terhadap hak-hak pekerja seringkali masih lemah. Banyak pekerja yang statusnya adalah first jobber, dan bukan merupakan pekerja tetap, sehingga pada saat perusahaan melakukan efisiensi, maka mereka kerap menjadi korban pertama yang rentan di-PHK.

Di sejumlah usaha rintisan, sering terjadi perusahaan melakukan rekruitmen pekerja dalam jumlah besar dalam tempo cepat. Sementara,  ketika pasar goyah, dengan cepat pula mereka melakukan pengurangan karyawan tanpa jaminan kompensasi yang memadai. Sebuah perusahaan yang sudah harus tutup sebelum lima tahun, maka harapan pekerja untuk menjadi karyawan tetap akan hilang.

Ketiga, karena perkembangan jenis usaha yang lebih banyak mengandalkan funding, tanpa kapan tahu harus bisa menghasilkan keuntungan demi kelangsungan hidup perusahaan. Di berbagai perusahaan start up, sudah menjadi rahasia umum, mereka kebanyakan mengandalkan pada suntikan modal dari para investor, sementara ketika harus mencari keuntungan ternyata fondasi yang dibangun sangatlah rapuh. Fenomena PHK karyawan di usaha start up akan terus terjadi sepanjang mereka tidak mengandalkan pada kemampuan menembus pasar.

Di Indonesia, sejumlah perusahaan start up yang telah melakukan PHK, di antaranya ialah Shopee, LINE, Xendit dan Tanihub yang telah melakukan PHK sebagian kar­yawannya, dan Fabelio yang menyatakan pailit. Semen­tara itu, Mobile Premiere League, start up E-sports asal India yang melebarkan sayapnya di Tanah Air ini, dilaporkan telah mengumumkan PHK kepada sekitar 100 karyawan, dan memutuskan untuk keluar dari pasar Indonesia. Ke depan, tidak mustahil akan ada banyak perusahaan lain yang melakukan hal yang sama.

Ketidakmampuan menghadapi efek domino pelambatan ekonomi global, jadi salah satu alasan pemicu terjadinya PHK. Kondisi perekonomian dan pasar global yang tidak menentu, menyebabkan kondisi ketenagakerjaan di Indonesia bukan tidak mungkin akan masuk pada situasi kegelapan yang tidak menentu. Peter Saunders (2002) menyatakan, ketika angka pengangguran tinggi, hal itu akan menjadi faktor yang meningkatkan risiko meluasnya kemiskinan dan berkontribusi pada ketimpangan.

Mencegah PHK

Untuk mencegah agar gelombang PHK massal tidak terjadi di Indonesia harus diakui bukan hal yang mudah. Kalau merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Indonesia, sebetulnya indikator ekonomi Indonesia seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, transaksi berjalan, neraca pembayaran Indonesia (NPI), hingga ekspor impor masih tergolong baik. Namun demikian, harus diakui bahwa nilai tukar Rupiah terus melemah dan daya beli masyarakat juga cenderung turun.

Mencegah agar resesi global tidak menyeret Indonesia, tidak bisa tidak daya beli masyarakat harus tetap bisa dijaga. Berbeda dengan kondisi di awal pandemi covid-19, di mana sebagian besar masya­rakat masih me­miliki tabungan untuk menyambung hidup, saat ini ke­mampuan ke arah itu makin menipis. Alih-alih memi­liki tabungan, bagi masyarakat miskin yang terkena PHK bisa dipastikan mereka akan kolaps karena tidak ada lagi sisa-sisa penyangga ekonomi yang dimiliki.

Mencegah agar masyarakat miskin tidak menjadi korban PHK mutlak dilakukan. Gelombang PHK, niscaya akan dapat dikurangi jika kondisi pasar dan daya beli masyarakat tetap tinggi. Selain mengandalkan pada kucuran dana belanja besar-besaran dari APBN dan APBD, untuk menjaga agar permintaan dalam negeri tidak berkurang, dan dunia usaha tetap bergerak untuk berinvestasi, tidak ada pilihan lain kecuali membangun reputasi dan jaminan stabilitas yang konsisten. Oleh: Bagong Suyanto Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga (*)