SAAT ini sedang trending berita meninggalnya peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS) anestesi di salah satu pusat pendidikan di Semarang sehingga langsung menimbulkan reaksi beragam, baik dari pemerintah, kalangan dokter spesialis, peserta PPDS, maupun masyarakat luas. Semua saling memberikan pendapat, dari yang emosional sampai yang berusaha untuk menyelesaikan masalah.

Adapun tulisan ini tidak untuk mencari siapa yang paling benar dan siapa yang paling salah. Tulisan ini mencoba untuk melihat segala sesuatunya secara proporsional tanpa menggeneralisasikan keadaan. Kebetulan saya seorang spesialis anestesi, konsultan ICU, dan doktor dalam bidang anestesi. Jadi lengkap pengalaman saya dalam menjalani pendidikan anestesi.

Kenapa masalah perundungan dan ketahanan mental berkaitan erat, mungkin ada beberapa faktor yang sebaiknya diperhatikan sebelum menyimpulkan atau menghakimi pihak mana pun dalam kejadian ini.

Pertama, sebagaimana kita ketahui, tugas seorang dokter ialah menjadi perantara Tuhan YME menyelamatkan nyawa pasien-pasiennya. Maka, pedoman yang digunakan ialah tidak boleh melakukan kesalahan sekecil apa pun yang bisa membahayakan jiwa pasien. Hal ini menyebabkan rasa tanggung jawab seorang dokter harus paripurna, tidak boleh terlambat, harus seteliti mungkin, seberapa pun beratnya harus dijalani untuk menyelamatkan pasien.

Seorang dokter membutuhkan mental baja, baik dalam menempuh pendidikan maupun setelah menyelesaikan pendidikannya. Dalam perkembangannya, kemelekatan stempel mental baja ini mulai melebar ke mana-mana. Termasuk, menyentuh hal-hal nonpendidikan yang akhirnya menimbulkan kejadian-kejadian perundungan yang ramai dibicarakan saat ini. Penyimpangan inilah yang seharusnya ditertibkan dan dihilangkan. Bukan disiplinnya, bukan tanggung jawabnya, bukan mental bajanya.

Baca Juga: Kembalikan Konsitusi Sebagai Hukum Tertinggi

Hal selanjutnya ialah batas yang jelas antara perundungan dan tindakan disiplin. Jangan sampai perundungan menjadi kebablasan. Misalnya seorang residen peserta didik spesialis terlambat, dimarahi, diberi sanksi, lalu dicap sebagai perundungan. Apa kita mau dirawat sama dokter yang tukang ngaret? Atau konsultasi dengan dokter yang tidak punya tata krama? Kan tidak juga.

Sebaliknya, jangan karena merasa semua dokter bermental baja terus diperlakukan semena-mena, diminta setoran atau pungli untuk semua kegiatan nonpendidikan, jalan-jalan, atau pemaksaan seksual, itu juga salah. Jadi berikan batasan yang jelas, mana yang merupakan kegiatan pendidikan dan mana yang bukan kegiatan pendidikan.

Kalau disiplin dalam hal pendidikan dan pasien itu hal yang positif sesuai porsinya. Tetapi kalau sampai melebar ke belanja daisabu sampai kredit kendaraan, jelas itu tidak benar. Bagaimana seorang spesialis bisa melayani dengan tulus tanpa memikirkan untung rugi, kalau selama pendidikan orangtuanya sudah jual tanah, jual rumah, jual ternak, ditambah harus mengeluarkan biaya tidak sedikit selama pendidikan.

Hal ketiga mengenai karakter setiap generasi yang berbeda-beda. Generasi baby boomer berbeda dengan generasi X, berbeda pula dengan generasi milenial dan generasi Z serta generasi alpha. Saat ini, yang menjadi residen kebanyakan ialah generasi milenial dan generasi Z.

Generasi milenial merupakan anak generasi X yang tentunya secara mental lebih kuat ketimbang generasi Z, yang merupakan anak generasi milenial. Generasi Z terkenal dengan inovasinya, kecerdasannya, melek teknologi. Tetapi, karena semua relatif mudah didapatkan, daya juangnya juga bisa tidak sekeras generasi sebelumnya.

Sebetulnya, dalam pendidikan spesialis garda terdepan ialah seleksi masuk. Sebaiknya sertakan kesehatan mental dalam setiap seleksi masuk. Jangan hanya berpijak pada rekomendasi rekan sejawat atau keluarga sejawat, kiriman tubel dipaksa­-kan diterima. Ditelaah juga kesehatan mentalnya serta persepsi terhadap ujian dan tantangan.

Persepsi orang berbeda-beda. Demikian pula ketahanan mental setiap orang juga bervariasi. Bila ada peserta didik yang tidak kuat, semua pihak duduk bersama, apa yang bisa diusahakan supaya lanjut. Kalau tidak bisa lanjut, apa yang bisa dilakukan supaya peserta bisa beralih ke bidang lain yang lebih sesuai sehingga pendidikan tetap bisa berjalan dengan baik.

Konsultasi kejiwaan

Berikutnya, adakan tempat untuk konsultasi kejiwaan bagi peserta pendidikan, sekali lagi karena persepsi setiap orang berbeda-beda. Contohnya, ada yang dijudesin biasa saja tidak peduli, seperti saya misalnya. Tetapi ada juga orang yang kalau dipelototin sedikit saja langsung merasa dunia runtuh menimpanya.

Bagi para peserta didik terutama spesialisasi, termasuk anestesi, yang sehari-hari bertarung nyawa mengerjakan pasien-pasien ASA 1 sampai ASA sekian, sediakanlah kesempatan untuk konsultasi kepada psikiater bila perlu. Ingat, konsultasi ke psikiater bukan berarti gila loh, tapi sayang sama diri sendiri. Sudah umum di luar negeri, setiap departemen menyediakan psikiater untuk tempat mencerahkan isi hati. Coba deh googling angka bunuh diri di luar negeri, paling tinggi pada spesialisasi apa. Jadi, sudah saatnya ada pelayanan kesehatan jiwa untuk para residen kita.

Terakhir ialah hal yang sebaiknya dilakukan untuk menjadi lebih baik, yakni minum obat. Obat itu pahit, tapi menyembuhkan. Artinya ialah, yang sudah baik ditingkatkan, yang salah ya diperbaiki, tidak usah menyalahkan, toh semua sudah terjadi.

Saya sangat berduka atas kehilangan rekan sejawat anestesi saya, tetapi tentunya saya juga berharap rekan-rekan sejawat saya yang lain dapat melanjutkan pendidikan kembali dengan baik.

Setiap kejadian itu ada hikmahnya. Kejadian ini dijadikan pelajaran untuk menjadi lebih baik. Saya percaya semua pihak akan melakukan usaha semaksimal mungkin untuk memperbaiki sistem pendidikan spesialis di negeri tercinta ini. Oleh: Th Monica Ketua Pusat Pengembangan, Inovasi & Kerja Sama Fakultas Kedokteran, Universitas Kristen Maranatha.(*)