Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang merupakan mandat dari Pemerintah Pusat untuk sekolah tingkat SD Negeri dan SMP Negeri tidak boleh melenceng dari tujuan dasarnya yaitu, untuk mengurangi biaya pendidikan yang harus ditanggung oleh orang tua siswa.

Mandat dari Pemerintah Pusat tersebut harus dikelola dengan baik dan sesuai aturan serta harus bisa dipertanggungjawabkan. Prinsip transparansi anggaran dan pengelolaan harus dikedepankan.

Bantuan dana BOS diaturan dalam Pasal 2 angka 2 Permendikbudristek 63/2023 yaitu, alokasi khusus non fisik untuk mendukung biaya operasional nonpersonalia bagi satuan pendidikan. Dana BOS terdiri dari, Regular yaitu dana BOS yang digunakan untuk membiayai kegiatan operasional rutin satuan pendidikan dalam menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah.

Selanjutnya, dana BOS Kinerja yaitu, dana BOS yang digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan dasar dan pendidikan menengah yang dinilai berkinerja baik.

Berdasarkan lampiran 1 huruf C Permendikbud 76/2014 secara khusus program BOS bertujuan untuk membebaskan punguran bagi seluruh peserta didik SD/SDLB Negeri dan SMP/SMPLB/SD-SMP SATAP/SMPT Negeri terhadap biaya operasional sekolah, membebaskan pungutan seluruh peserta didik miskin dari seluruh pungutan dalam bentuk apapun, baik di sekolah negeri dan swasta, serta meringankan biaya operasional sekolah bagi peserta didik di sekolah swasta termasuk SD/SMP Satu Atas (SATAP) dan Tempat Kegiatan Belajar Mendiri.

Baca Juga: Kampanye Damai & Pilkada Berkualitas

Lalu apa sanksi bagi sekolah/pejabat dalam hal ini kepala sekolah serta komite sekolah yang melakukan tindakan tidak sesuai dengan apa yang telah diperuntukkan bagi dana BOS tersebut?.

Maka mengacu pada lampiran I Permendikbud 76/2014 dalam Bab VIII hurug B maka sanksi yang diberikan bisa berupa penetapan sanksi kepegawaian sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku berupa pemberhentian penurunan pangkat dan mutasi kerja.

Sedangkan bisa penerapan proses hukum yaitu mulai penyelidikan, penyidikan dan proses peradilan bagi pihak yang diduga atau terbukti melakukan penyimpangan dana BOS.

Penerapan proses hukum itu yang kemudian menjeret tiga guru di SMP Negeri 9 Ambon tersangka kasus dugaan dana BOS tahun 2020-2023 yaitu, LP, YP dan ML.  Penetapan tersangka itu dilakukan setelah tim penyidik Kejaksaan Negeri Ambon menemukan adanya bukti-bukti terjadi dugaan tindak pidana korupsi.

Para tersangka diduga mengelola dana BOS tersebut, dengan tidak melibatkan unsur atau tim dana BOS SMPN 9 Ambon. Tim penyidik juga menemukan dana BOS sebesar

Rp1.770.258.000 yang diserahkan oleh bendahara ke LP justru dikelola sendiri oleh LP.

Dia menyebutkan, bendahara YP mengelola anggaran sebesar Rp1.69.108.000. Sementara ML mengelola Rp2.531.951.915.

Tim juga menemukan, sejumlah bukti-bukti dugaan korupsi dana BOS berupa, sebagaian nota dibuat sendiri dengan menggunakan stempel palsu atas nama beberapa toko. Kemudian laporan fiktif dan anggaran kegiatan yang diduga di mark-up.

Atas perbuatan ketiga tersangka ini, negara mengalami kerugian sebesar Rp1.282.612.477.

Walau proses hukum ini masih berproses di kejaksaan dan harus tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah, namun disisi lain publik tentu menyayangkan pengelolaan dana BOS yang salah dan bertentangan dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.

Jika aparat penegak hukum menemukan adanya bukti-bukti terjadi dugaan tindak pidana korupsi penggunaan dana BOS, maka konsekuensi hukumnya harus ditanggung oleh oknum-oknum yang salah mengelola dana tersebut.

Tindakan yang terjadi di SMPN 9 Ambon ini harus menjadi perhatian serius lembaga pendidikan lainnya, agar dalam mengelola dana BOS haruslah sesuai dengan aturan, transparan serta melibatkan tim termasuk komite bukan dikelola sendiri oleh kepala sekolah dan bendahara atau oknum-oknum lainnya. (*)